Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUBUH Yesus itu hitam. Telanjang, tanpa secarik kain yang biasa menutupi pinggangnya. Kedua tangannya tergantung ke bawah, tidak membentang dan dipaku seperti penggambaran umumnya, tapi kedua tangannya berlubang. Sosok patung kayu itu tak proporsional, tapi menggambarkan dengan jelas tubuh yang kurus. Kepalanya, yang lebih besar dari batang tubuhnya, menengok ke kanan. Mahkota durinya tak melekat di kepala, tapi melayang beberapa sentimeter di atasnya.
Patung itu melekat di sebuah salib besar dari kayu bulat. Di ujung kanan salib itu tergantung sebuah kantong dari anyaman daun sagu dan di ujung kanannya terjuntai sebuah ikat kepala. Sebatang tombak melintang di sana dengan matanya berada di bawah kaki patung. Semua unsur ini adalah bagian penting dari budaya Asmat. Kantong itu, misalkan, menunjukkan status seseorang di masyarakat, bukan sekadar wadah.
Salib unik ini hanya satu-satunya di Indonesia. Dia kini menjadi bagian permanen dari Gereja Asmat di Sawaerma, Agats, Provinsi Papua Barat. Arsitektur bangunan besar dari kayu dan atap daun sagu itu juga menyatu dengan rumah-rumah kayu Asmat yang berdiri di perkampungan tepi Sungai Pomatsj yang besar.
Bangunan itu menggabungkan unsur-unsur gereja dan budaya Asmat. Di situ ada altar kecil dengan sebuah Injil di tengah ruangan. Di salah satu sisi ruang berderet beberapa tiang utama yang menggapai langit-langit. Tiang itu dari kayu bakau bulat dengan ukiran berbentuk manusia di bagian atasnya. Manusia itu memeluk sebuah lengkungan mirip sayap dengan lekukan-lekukan berbentuk manusia. Upacara adat di Asmat pada umumnya untuk menenangkan arwah orang yang sudah meninggal. Tiang utama dipersembahkan kepada arwah semacam ini.
Sisi lain ruang diisi deretan sembilan tungku, tempat pembakaran berbentuk segi empat dan beratap kecil, lengkap dengan abu dan kayunya. Dalam budaya Asmat, tungku adalah unsur terpenting, dan setiap fam mempunyai satu tungku. ”Di sini ada 18 fam. Tapi, karena tidak ada tempat, satu tungku mewakili dua fam,” kata Pastor Vincent Cole, MM, pemimpin gereja itu.
Erick Sakol, kurator Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat di Agats, ibu kota Kabupaten Asmat, menilai bangunan itu sebagai gabungan antara gereja dan jeu, rumah bujang Asmat tempat warga mendapat pendidikan mengenai kehidupan dan kepercayaan mereka. ”Kalau berdasarkan liturgi, gereja semacam ini salah, karena gereja diturunkan dari rumah. Tapi dia dibuat demikian supaya umat merasa memilikinya,” katanya.
Dalam perayaan 40 tahun Keuskupan Agats pada akhir November tahun lalu, Duta Vatikan, Mgr Leopoldo Girreli mengunjungi gereja ini dan menggelar misa pemberkatan Sekolah Dasar Satu Atap Sawaerma, sekolah dengan asrama yang menampung dan memberi beasiswa bagi siswa-siswa pilihan Asmat. Acara itu dihadiri oleh Bupati Asmat, Yuvensius A. Biakai, dan Uskup Agats, Mgr. Aloysius Murwito, OFM. Tidak ada penolakan dari Girreli saat menengok gereja unik itu, yang menandakan bahwa Vatikan juga merestuinya.
Vincent Cole berasal dari Detroit, Michigan, Amerika Serikat. Lelaki kelahiran 19 Januari 1945 itu sudah mengabdi di Sawaerma selama tiga puluh tahun lebih. Dia adalah pastor Paroki Kristus Amore sekaligus sebagai wakil uskup. Perawakannya yang tinggi besar dan berkulit putih terlihat menonjol di antara warga Sawaerma yang rata-rata masih bertelanjang dada, baik perempuan maupun lelaki.
Selama ini Alphonse Sowada, OSC, uskup Agats terdahulu, paling sering disebut sebagai advokat seni dan budaya Asmat. Dia pula yang mendirikan Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat. Tapi komitmen dan energi Vincentlah yang memungkinkan gereja khas Asmat ini berdiri.
Pendirian gereja ini melambangkan perkembangan akhir dari kebijakan misionaris Katolik di sana. Misionaris pertama yang mendarat di sana adalah Gerard A. Zegwaard, MSC, pastor Belanda dari Kongregasi Misionaris Hati Kudus. Pada 1953 dia tiba di Agats, yang kemudian menjadi pos pemerintahan Hindia Belanda pada 1954.
Tidak seperti beberapa kelompok misionaris lain, Zegwaard dan rekan pastornya, yang datang kemudian, berusaha sesedikit mungkin menghapus unsur budaya masyarakat setempat dan mengupayakan pelestariannya. Hal ini menjelaskan mengapa pastor seperti Vincent sangat mengkhawatirkan hilangnya budaya Asmat karena ditelan zaman dan masuknya budaya luar.
”Gereja sebenarnya tidak mendatangkan sesuatu yang baru. Mereka sudah punya nilai-nilai itu. Kalau mereka mau mengerti mengenai sabda Allah atau ajaran Kristus, itu harus berdasarkan latar belakang mereka sendiri. Itulah titik tolaknya dan kini berkembang seperti ini,” kata Vincent.
Selama puluhan tahun Vincent mencoba memahami budaya Asmat dan menemukan bahwa banyak simbol dalam gereja yang tidak berarti apa-apa bagi mereka. Altar, misalnya. ”Apa artinya altar atau meja bagi mereka? Di Sawaerma hanya rumah saya yang ada meja dan satu lagi di pos polisi. Jangan-jangan meja punya simbol negatif bagi mereka: dipanggil polisi dan disuruh duduk di situ,” katanya.
Gereja itu dibangun karena gereja yang lama sudah rusak. Bangunan yang dirancang dan diisi sendiri oleh warga Asmat itu berdiri pada 2004. ”Ada pro dan kontra pada waktu itu, tapi nyatanya bisa diterima,” kata Vincent.
Unsur-unsur budaya Asmat di sana dibikin supaya warga bisa lebih mengerti dan melihat bahwa kepercayaan ini bukan sesuatu yang asing, tapi ada kaitan dengan kehidupan mereka sendiri. ”Jadi, Tuhan mengajak mereka menyempurnakan apa yang sudah mereka miliki, bukan untuk menghilangkannya,” katanya.
Vincent mencontohkan ihwal keberadaan tungku. Tungku bagi orang Asmat adalah suatu tempat yang sangat sakral. Apalagi tungku induk di rumah adat mereka. Di situlah tempat mereka duduk bersama, roh-roh leluhur hadir, memecahkan masalah, dan membahas hal-hal penting. ”Setelah gereja ini didirikan, mereka seperti mendapat pencerahan. ’Oh, jadi begini maksudnya, Pastor,’ kata mereka,” ujarnya.
Bagi orang Asmat, keberadaan tungku itu menyatukan pula kepercayaan mereka. ”Ketika kami berdoa di dekat tungku itu, roh-roh nenek moyang kami ikut berdoa pula,” kata Liborius, orang asli Asmat di Sawaerma.
Kehadiran simbol budaya mereka juga memungkinkan mereka memahami gereja dalam perspektif Asmat. Vincent mengambil contoh tentang mitos sagu. Sebuah batang pohon sagu telah diletakkan di sebelah tungku besar ekaristi di gereja itu.
Dua belas rumpun suku Asmat memiliki ragam cerita tentang asal-usul sagu, tapi intinya sama, yaitu kisah Biwiripits penemu sagu. Dahulu kala hiduplah Biwiripits dan istrinya, Teweraut, bersama saudara-saudaranya. Mereka hanya makan ikan, pucuk dan buah nipah, serta kepiting. Suatu hari Biwiripits bermimpi menemukan pohon palem berduri di tengah hutan. Dia dan istrinya mengolah tepung dari pohon itu dan memakannya. Ternyata tepung itu lezat sekali.
Biwiripits kemudian pergi ke hutan mencari pohon itu beberapa kali. Suatu hari ia menginjak duri pohon. Yakin bahwa itulah pohon impiannya, ia menanam duri itu di lumpur dan esoknya di tempat itu telah tumbuh sebatang pohon sagu. Dia dan Teweraut kemudian menebang dan mengambil tepungnya yang diletakkan dalam noken atau kantongnya. Karena isi noken terlalu berat, Biwiripits terperosok ke dalam lumpur. Istrinya berusaha mengangkatnya, tapi sia-sia. Biwiripits meminta dia pulang.
Esoknya sang istri dan saudara-saudaranya datang, tapi yang mereka temukan hanya pohon-pohon sagu di sekitar tempat Biwiripits terbenam. Sejak itu orang Asmat percaya bahwa Biwiripits telah berubah menjadi pohon sagu.
Vincent membandingkannya dengan upacara ekaristi. ”Kami orang Katolik percaya bahwa melalui ekaristi kami menerima tubuh dan darah Kristus. Dalam mitos sagu ada perlambang tentang pengorbanan. Yesus juga melakukan pengorbanan untuk umat-Nya,” katanya. Pastor Vincent sendiri sehari-hari suka menggali mitos-mitos Asmat. Kini ia sudah mengumpulkan 700 lagu dan 125 mitos Asmat. Kisah Biwiripits hanyalah salah satu di antaranya.
Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo