Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sekolah-sekolah di Atas Lumpur

Masalah pendidikan masih mengganjal di kawasan Asmat. Tingkat buta hurufnya masih sangat tinggi.

7 Februari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI masih pagi ketika jembatan besar di pusat Kota Agats sudah penuh dilalui anak-anak berseragam sekolah pada akhir November tahun lalu. Jembatan beton selebar dua meter itu adalah jalan utama di kota dan sering dijuluki jalan tol oleh warga setempat.

Jalan tersebut tersambung dengan jembatan-jembatan kayu kecil yang menghubungkan semua rumah, kantor, dan pusat keramaian, seperti pasar dan pelabuhan.

Kota di hilir Sungai Atsewtsy itu berdiri di atas lumpur dan rawa, sehingga semua bangunan harus berbentuk panggung dengan tiang setinggi sekitar satu meter. Bila air surut, hanya jembatan itu tempat orang dan motor listrik, yang lagi menjadi tren di sana, yang dapat melewati. Bila pasang, air sungai akan mencapai ke tengah kota, sehingga perahu-perahu kecil dapat berlabuh di samping rumah.

Antonius J. Ndatipits dan Longginus Passe berada di antara pelajar itu. Siswa Kelas XI SMAK Yan Smith Agats itu dua dari sedikit orang Asmat yang punya kesempatan bersekolah hingga ke jenjang sekolah lanjutan.

”Saya bisa bersekolah karena dibantu beasiswa dari Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Asmat,” kata Antonius, yang menduduki posisi keempat terbaik di kelasnya.

Menurut data pemerintah setempat, Kabupaten Asmat memiliki 104 sekolah dasar, sembilan SMP, dan tiga SMA. Tingkat buta hurufnya masih sangat tinggi. Pada 2007, penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis hanya 31,2 persen. Anak-anak juga rata-rata hanya bersekolah hingga kelas 4 SD.

Yang bisa meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi umumnya warga pendatang. ”Banyak anak Asmat yang tak bisa melanjutkan sekolah karena tak punya biaya atau usianya sudah terlalu dewasa,” kata Suster Korina Ngoe, OSC, Ketua Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK) Yan Smith.

Siswa juga berguguran di tengah jalan. Korina mencontohkan SD YPPK Komor. Dari 30 siswa yang masuk di kelas 1, hanya tinggal 6 siswa waktu di kelas 6 pada 2006. Di SD YPPK Agats, dari 70 siswa yang masuk, tinggal 50 siswa di kelas 3 pada 2010.

Waktu sekolah di SD Inpres Beriten, Longginus sekelas dengan 19 anak Asmat lainnya. Tapi, saat duduk di kelas enam, hanya enam orang yang tersisa dan tiga di antaranya, termasuk dirinya, yang dapat ikut ujian akhir. ”Saya sedih, karena kami dulu sama-sama sekolah dari kelas satu,” katanya.

Masalah dalam pendidikan ini sebenarnya sudah jelas, tapi pemecahannya tidak mudah. Pastor Vincent Cole di Sawaerma menuturkan, selama bertugas sejak awal 1980-an, dia menghadiri rapat tahunan mengenai pendidikan di Keuskupan Agats. ”Saya lihat notulensinya dan isinya hampir sama: orang tua tidak mendukung, guru malas mengajar, guru pergi dari tempat tugas, anak dibawa ke hutan. Belum ada perubahan. Pendidikan betul-betul belum jadi milik mereka,” katanya.

Hidup anak-anak Asmat bergantung pada orang tuanya, yang umumnya bekerja sebagai nelayan, berkebun, dan mencari sagu serta gaharu di hutan. Mencari sagu, makanan pokok mereka, adalah kebiasaan rutin orang Asmat. Kapan pun sagu habis, mereka akan bersampan ke hutan-hutan untuk mencarinya selama beberapa hari hingga beberapa pekan.

”Di luar sekolah saya bantu keluarga menjaga kios,” kata Antonius. ”Tapi beberapa teman saya berkali-kali harus izin tak masuk sekolah karena mencari sagu bersama orang tuanya. Setidaknya mereka izin tiga hari.”

Pendidikan Longginus di atas hampir berantakan ketika dia tak bisa masuk SMA karena ketiadaan biaya, tapi terselamatkan setelah mendapat bantuan biaya dari BRI Agats dan beasiswa pemerintah. Meski yatim-piatu, dia masih bisa bersekolah lancar karena bapak angkatnya kini adalah sekretaris desa.

Longginus berasal dari Yaosakor, sekitar tiga jam perjalanan dari Agats dengan naik perahu bermotor. Tapi, ”Saya membantu Bapak berjualan ikan asin di pasar Agats untuk beli buku dan pensil,” kata siswa yang menduduki peringkat kedua di kelasnya itu.

Untuk mengatasi ini, Uskup Agats, Aloysius Murwito, melalui YPPK, mendirikan SMA Katolik Yan Smith di Agats. Sekolah berasrama ini diprioritaskan bagi anak Asmat dan mendapat dukungan pendanaan dari pemerintah kabupaten. Semua biaya sudah ditanggung sekolah yang diresmikan Duta Vatikan, Leopoldo Girreli, tahun lalu. SD Satu Atap Sawaerma juga memakai konsep serupa. ”Bagaimana anak bisa sekolah, misalkan, bila mereka datang dengan perut masih lapar,” kata Korina.

Setelah masalah siswa diselesaikan, tinggal lagi masalah guru. Korina mengaku tak mudah mendapatkan guru yang mau mengajar di kawasan Asmat yang terpencil ini. Uskup Aloysius lantas mendatangkan guru dari beberapa lembaga pendidikan yang jadi mitranya, seperti Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan PGSD Soegijapranata Bawen. ”Mereka dipilih karena memiliki motivasi yang kuat untuk mengabdi,” kata Aloysius.

l l l

Tantangan bagi pendidik di sana memang berat. Kisah Pastor Yan Smith, yang bertugas sejak 1960 di sana, bisa menjadi salah satu legenda. Pada 28 Januari 1965, dia ditembak mati oleh seseorang di pelabuhan Agats karena menolak menutup sekolah yang didirikannya di Pantai Kasuari. Sejak itu tanggal kematiannya diperingati sebagai hari tokoh pendidik dan pelindung sekolah itu.

Banyak calon guru yang masih berpandangan bahwa orang-orang Asmat itu pemarah dan bila anaknya tak naik kelas, orang tuanya mengamuk. Tapi Suster Martina Mamus, OSU, Kepala SMA Katolik Yan Smith, mengaku tak pernah mengalaminya.

Penampilan orang Asmat, kata suster dari Flores ini, memang kadang bisa disalahtafsirkan. Dia menuturkan pernah didatangi serombongan orang Asmat yang berpakaian adat dan membawa panah dan tombak ke sekolahnya. Semua guru khawatir akan terjadi apa-apa, tapi Martina memberanikan diri menemui mereka. ”Hai, Bapak-bapak, ada apa datang kemari?” tanyanya. ”Tidak suster, kami mau antar ini,” kata pemimpin kelompok itu seraya menyerahkan sebatang ranting dan daunnya.

Rupanya mereka hendak mengundang Martina menghadiri upacara pembukaan jeu (rumah bujang) di Ewer. Daun adalah sistem kalender Asmat. Untuk tahu kapan acara berlangsung, yang diundang hanya perlu memetik daunnya satu per satu. Bila tinggal satu daun terakhir, berarti itulah hari pelaksanaan upacara. Martina pun menghadiri undangan itu. ”Saya bangga bisa duduk bersama mereka di jeu dan menjadi satu-satunya perempuan di acara itu,” katanya.

Vincent masih meragukan kemajuan yang bisa dicapai sekolah ini bila sistem yang digunakan masih sama. Dia pernah membayangkan untuk membangun sebuah sekolah eksperimen yang mengadaptasi budaya setempat, misalnya memanfaatkan sistem pendidikan adat di jeu. Y.B. Mangunwijaya, budayawan Yogyakarta, berencana meneliti pendidikan di sana setelah diundang Vincent. Sayang, sang budayawan keburu meninggal pada 1999 sebelum melihat nasib anak-anak Asmat.

Namun Martina tetap optimistis terhadap masa depan anak-anak Asmat. ”Mereka belum kelihatan maju, tapi mau berusaha bersaing dengan anak-anak dari luar. Paling tidak mereka bisa melihat bahwa sekolah ini penting,” katanya.

Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus