Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIPLAK-TIPLUK suara tifa terdengar dari dalam ruangan itu. Di sana beberapa lelaki muda tampak asyik mengangkat gendang panjang khas Asmat itu, memukul-mukul, lalu mengembalikannya ke tempatnya semula. Mereka lalu pindah ke bagian tumpukan tifa yang lain dan mengulang hal yang sama. Beberapa lelaki lain tampak berkeliling mengamati beberapa patung yang berjejer di ruangan itu.
Tak jauh dari mereka, seorang lelaki tua menjulurkan tangannya, memasukkan selembar uang seribu rupiah kumal ke mulut buaya besar yang sudah diawetkan. Di lidah buaya itu berserakan beberapa lembar uang kertas, tembakau, dua batang rokok, dan benda-benda kecil lain. ”Ini buaya yang beberapa waktu lalu pernah makan orang,” katanya. ”Uang ini untuk mohon keselamatan.”
Mereka adalah orang Asmat yang berkunjung ke Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat di Agats, ibu kota Kabupaten Asmat, akhir November tahun lalu. Inilah satu-satunya tempat mereka dapat menyaksikan semua artefak sejarah dan budayanya, yang sebagian sudah tak akan mereka temukan lagi sekarang. Orang Asmat senang memukul tifa dan bernyanyi, sehingga puluhan tifa terbaik yang dikoleksi museum itu selalu menarik minat mereka untuk berkunjung.
Museum ini terbuka untuk umum dan gratis. Erick Sakol, kurator museum, memperkirakan ada seribu wisatawan domestik, termasuk warga Asmat, yang datang tiap tahun ke sana. ”Wisatawan mancanegara yang berkunjung ada 500 sampai 600 orang per tahun,” kata lelaki yang sudah 36 tahun bekerja di sana itu.
Inilah salah satu tempat di Asmat yang selalu dikunjungi wisatawan. Letaknya strategis, tepat di tengah kota dan hanya 15 menit berjalan kaki dari pelabuhan. Namun bisnis pariwisata di sini masih tersendat-sendat karena kurangnya sarana dan prasarana pendukungnya. Transportasi, misalnya. Untuk mencapai Agats, orang hanya bisa naik pesawat atau kapal laut. Kapal yang tersedia hanya milik PT Pelni, yang mendarat di pelabuhan Agats sekitar sepuluh hari sekali, yang dilayani KM Kelimutu dari Ambon dan KM Tatamailau dari Denpasar. Jalur udara dapat ditempuh dengan pesawat kecil berpenumpang sekitar 10 orang milik Merpati, Trigana Air, atau AMA, maskapai milik misi Katolik.
Dua-tiga kali seminggu pesawat ini berangkat dari Timika atau Merauke ke Ewer, kampung terdekat yang bisa didarati pesawat. Lalu Anda harus melanjutkan dengan menumpang perahu bermotor ke Agats. Namun semua rencana perjalanan Anda akan batal bila cuaca buruk. Ombak yang tinggi atau hujan dan badai akan membuat Agats terisolasi. Kecelakaan kapal atau perahu beberapa kali terjadi di kawasan ini.
Museum ini lahir dari kecemasan akan punahnya budaya Asmat. Seni patung dan ukir adalah bagian tak terpisahkan dari adat. Setiap upacara adat disertai pembuatan patung atau ukiran tertentu, termasuk untuk perang dan pemenggalan kepala musuh. Untuk mencegah perang antarsuku, pemerintah melarang upacara dan pembuatan ukiran untuk tujuan ritual pada 1963. Belakangan pemerintah mencabut sebagian larangan itu setelah misi Katolik dari Ordo Salib Suci dan Organisasi Perburuhan Internasional menyarankan agar karya seni Asmat dijual saja.
Namun banyak upacara tertentu tak digelar lagi dan pelan-pelan pengetahuan seni dan budaya Asmat dapat hilang. Untuk melestarikannya Alphonse Sowada, uskup Agats terdahulu, dan Pastor Frank Trenkenshuh menggagas pendirian museum ini pada 17 Agustus 1973 dengan dukungan misi Katolik dari Ordo Salib Suci dari Hastings, Nebraska, Amerika Serikat. John D. Rockefeller III Foundation menyumbang US$ 20 ribu dan Asia Foundation membangunkan perpustakaan.
Saat dibuka, museum itu hanya punya satu ruang pamer. Ruang lain dipakai untuk kantor, gudang, perpustakaan, dan ruang fumigasi, tempat pengasapan untuk benda yang diserang serangga. Belakangan, karena banyak barang di gudang rusak, Keuskupan Agats memutuskan untuk memamerkan semua koleksi. Pada 1994 semua ruang, kecuali kantor, dibongkar dan menjadi ruang pamer.
Menurut Erick, tiadanya ruang fumigasi membuat usaha untuk merawat koleksi jadi lebih sukar. Bila ada patung yang diserang rayap, misalnya, ia kini harus menyemprotnya dengan Baygon cair, lalu menutupnya dengan plastik dan memeramnya paling tidak selama sepuluh hari.
Museum itu berbentuk ”Y” dengan pintu masuk pada bagian tengah, sehingga bila berdiri di depan pintu pengunjung akan melihat sayap kiri dan kanan yang melintang dan satu ruang panjang menjorok ke belakang. Pada mulanya museum itu memiliki 1.200 koleksi, yang jenisnya dipetakan dalam Asmat Images (1985), yang disusun Tobias Scheebaum. ”Tapi kini jumlahnya tinggal 669 potong,” kata Erick. Sebagian koleksi itu rusak atau disumbangkan ke museum lain.
Koleksi museum dibagi dua kelompok. Pertama, karya asli atau untuk upacara adat, yang merupakan 90 persen dari seluruh koleksi. Kedua, karya modern, yang merupakan karya para juara festival seni tahunan yang digelar sejak 1991. ”Koleksi yang terus bertambah adalah koleksi modern,” kata Erick.
Koleksi yang paling berharga tetaplah benda-benda kuno yang kini sudah langka, seperti kapak batu dengan gagang kayu berukir. Ada pula kalung dari tulang rahang kepala musuh. Kalung ini sudah tak ada lagi sejak pemerintah melarang pemenggalan kepala dan kanibalisme.
Sejak 1981, museum menggelar festival tahunan yang mengundang para seniman Asmat yang sudah diseleksi terlebih dahulu di daerahnya masing-masing. Sekitar 200 peserta akan berlomba dalam enam kategori dalam festival yang diadakan di Agats setiap Oktober itu, yakni patung kecil (ukuran hingga 30 sentimeter), patung sedang (30-50 sentimeter), patung besar (50-100 sentimeter), panel, patung cerita, dan patung tradisional berupa peralatan seperti tombak dan perisai yang diukir.
Pada mulanya museum mengoleksi semua karya juara dan pemenang harapan. Namun, mengingat keterbatasan ruang, museum kini hanya mengoleksi karya para juara di tiap kategori. ”Karya para seniman Asmat kini makin berkembang. Banyak mitos diangkat dalam patung-patung cerita,” kata Erick.
Seniman yang terkenal antara lain Adam Saimas, pematung dari Yepem yang meninggal pada Agustus 2010; Herman Omordo, pengukir panel dari Er; dan Primus Oambi, pematung dari Agats. Karya mereka sangat dihargai dan beberapa kali dipamerkan dalam pameran budaya Asmat di Amerika Serikat dan Eropa.
Namun tak semua pihak menghargai karya orang Asmat. Sudah banyak laporan tentang penipuan terhadap para seniman. Patung kayu mereka kadang hanya ditukar sebungkus nasi dan rokok di kedai. ”Orang Asmat, yang sebagian besar tak bersekolah dan buta huruf, kadang merelakan saja karena mereka lapar,” ujar Erick.
Karya mereka biasanya mendapat harga yang pantas bila ikut serta dalam pelelangan karya seni yang digelar museum dan keuskupan. Dalam pelelangan di Agats pada akhir November lalu para seniman menjajakan karyanya. Patung atau ukiran kecil dihargai sekitar Rp 500 ribu dan yang berukuran besar bisa mencapai Rp 3 juta.
Namun Erick menyayangkan banyaknya ukiran palsu Asmat, yang dibuat orang bukan Asmat. Seniman-seniman palsu itu menjualnya sebagai sekadar cendera mata dengan harga murah untuk para turis,” katanya.
Museum itu diurus Erick bersama asistennya, John Ohoi Wirin. Erick adalah lelaki kelahiran Pulau Kei, Maluku, pada 1951. Dia lulusan Sekolah Pendidikan Guru Merauke pada 1972 dan sempat jadi guru honorer di Kampung Ayam, Asmat. Keterampilannya dalam menggambar menarik perhatian seorang pastor, yang kemudian, atas persetujuan Alphonse Sowada, merekrutnya untuk asisten kurator museum. Sejak 1974, ia mendampingi kurator Abraham Kuruwaip dan penggantinya, Yufen Biakai.
Pada 2001, ia menjadi kurator. Kini hanya dia dan John yang mengurusi museum besar yang dikelola dengan dana abadi dari deposito senilai Rp 1 miliar yang dikumpulkan Keuskupan Agats dari para dermawan. Erick bertanggung jawab pada pemeliharaan koleksi dan John pada pendataannya. ”Pernah ada tiga kali datang calon pegawai, tapi semuanya tidak betah dan akhirnya mundur. Mereka rupanya kurang cinta pada kebudayaan Asmat,” kata Erick.
Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo