Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Setahun pandemi, kasus infeksi Indonesia 10 kali lebih besar dari Cina.
Pemerintah dinilai mengabaikan peringatan ancaman wabah sejak Januari-Februari 2020.
Vaksinasi bukan satu-satunya kunci untuk mengakhiri pandemi.
HIDUP mulai berangsur normal bagi Duta Besar Republik Indonesia untuk Cina, Djauhari Oratmangun. “Sekarang bebas ke mana saja, tapi tetap pakai masker,” kata Djauhari saat berada di Fujian, Cina, untuk bersafari bisnis dalam percakapan via Zoom dengan Tempo, Rabu, 10 Maret lalu. Meski warga bebas berpergian, protokol kesehatan tetap diterapkan dan aplikasi pelacak kasus Covid-19, Health Kit, yang wajib dimiliki semua penduduk di Cina, harus berstatus hijau.
Bebas tapi waspada. Begitu Liky Sutikno, Kepala Indonesia Chamber of Commerce in China, menggambarkan situasi kota-kota di Cina. Ia menceritakan kejadian beberapa hari sebelumnya saat ditemukan satu kasus positif di sebuah restoran di Shanghai, kota terbesar di Cina dengan populasi 26 juta jiwa. “Ada dua juta orang yang teridentifikasi melalui aplikasi berada di lokasi itu dalam kurun 48 jam. Mereka diminta tes PCR dan isolasi mandiri,” ucap Liky, yang dua hari sebelum kejadian makan di restoran tersebut.
Kesigapan pemerintah Cina menangani pandemi Covid-19 patut dijadikan contoh. Setahun setelah Covid-19 ditetapkan sebagai pandemi oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 11 Maret 2020, Cina mencatat jumlah korban infeksi yang rendah. Menurut laporan yang diterima Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) sampai 10 Maret 2021, total kasus infeksi di Cina sebanyak 102.152, pasien meninggal 44.848, dan pasien sembuh 96.835. Dalam data Worldometer, Cina berada di peringkat ke-86, terpaut jauh dari Indonesia yang menempati posisi ke-18 karena mencatat 1,4 juta kasus infeksi dan 38 ribu pasien meninggal.
•••
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NUR Musyafak, mahasiswa asal Indonesia, sedang menempuh studi di Cina saat wabah Covid-19 merebak di Kota Wuhan, ibu kota Provinsi Hubei. Nur kuliah di jurusan linguistik Central China Normal University yang berada di Wuhan. “Saya mengetahui awal-mula wabah itu melalui Internet dan percakapan di WeChat,” ujar Nur dalam wawancara via Zoom, Selasa, 9 Maret lalu. WeChat adalah aplikasi percakapan paling populer di Cina.
Menurut Nur, yang juga Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia-Tiongkok (PPIT) Cabang Wuhan, kala itu akhir Desember 2019. Kampus sedang libur dan masyarakat Cina tengah bersiap menyambut Imlek. Sebagian besar mahasiswa memilih berlibur ke luar kota. Sedangkan Nur memutuskan pulang ke Tanah Air. Ia telah memesan tiket pesawat untuk keberangkatan pekan ketiga Januari 2020. “Saya bisa pulang ke Indonesia sebelum Wuhan di-lockdown pada 23 Januari 2020 karena kasusnya bertambah banyak,” tutur Nur, mengingat pengalamannya.
Menurut Duta Besar Djauhari Oratmangun, KBRI, yang tidak memiliki konsulat di Wuhan, beruntung dengan adanya PPIT. “Kami berkontak dengan PPIT dan saluran komunikasi melalui grup WeChat,” katanya. “Setelah itu, KBRI membuat laporan harian ke Kementerian Luar Negeri.” Jalur komunikasi itu pula yang dipakai saat Indonesia memulangkan warga negara Indonesia yang sebagian besar adalah mahasiswa di Wuhan, awal Februari 2020.
Pada Januari 2020, wabah sudah diketahui menyebar ke negara tetangga Indonesia. Thailand melaporkan kasus pertamanya pada 13 Januari 2020. Adapun Singapura mengumumkan kasus infeksi pertama pada 23 Januari dan Malaysia mengumumkan pasien nomor satu pada 25 Januari. Kesamaan dari tiga negara jiran itu adalah kasus positif Covid-19 teridentifikasi pada warga Cina yang sedang berkunjung.
Pada periode yang sama, Indonesia mengaku belum menemukan kasus. Hal ini menjadi tanda tanya kalangan peneliti internasional. Lembaga yang sejak awal memprediksi adanya kasus Covid-19 di Indonesia adalah Harvard T.H. Chan School of Public Health di Boston, Amerika Serikat. Chief Strategist Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Yurdhina Melissa punya keyakinan sama. “Dengan adanya penerbangan tiap hari dari Wuhan ke Indonesia, sudah pasti minggu kedua Januari sudah ada (kasus),” ujarnya, Selasa, 9 Maret lalu.
Pemerintah bukannya tak menyadari bahaya ini. Selain ada laporan rutin dari KBRI di Beijing, lampu kuning datang dari industri penerbangan. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa mengungkapkan, pada Januari itu sudah ada pembahasan di kabinet mengenai dampak pandemi, khususnya setelah muncul laporan turunnya permintaan dari industri penerbangan. “Penurunan bertambah pada Februari sehingga pemerintah memberikan insentif,” ujar Suharso, Kamis, 11 Maret lalu.
Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang Brodjonegoro juga menyebutkan adanya sinyal pada Januari 2020. “Sudah ada pembahasan langkah antisipasi oleh pemerintah kalau sudah ada kasus corona masuk ke Indonesia,” kata Bambang melalui konferensi video, Selasa, 9 Maret lalu. “Nuansa diskusinya supaya tidak masuk ke Indonesia. Ini berkaca dari penanganan kasus SARS yang bisa dilokalisasi.”
Di mata Irma Hidayana, aktivis platform berbagi informasi tentang Covid-19, LaporCovid-19, sikap pemerintah yang tidak mengambil langkah pencegahan meski telah mengetahui potensi bahaya itu merupakan kesalahan. “Di Desember 2019-Januari 2020 itu seharusnya sudah memiliki mitigasi untuk pencegahan dengan menutup perbatasan negara,” ucapnya. “Karena sudah tahu juga ada pesawat tiga kali seminggu ke Bali. Itu potensi pembawa virus.”
Yurdhina Melissa juga tidak melihat adanya langkah preemptive pemerintah ketika seluruh dunia telah mengetahui kabar merebaknya wabah. “Dari awal Januari seluruh dunia tahu ada wabah. Tidak ada langkah-langkah yang diambil untuk mencari, mengetes, atau mengaktifkan kembali jejaring laboratorium yang sudah dipersiapkan setelah kasus H1N1,” tuturnya. H1N1 adalah virus influenza yang menyebabkan pandemi pada 2009.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah Warga Negara Indonesia (WNI) yang dievakuasi dari Wuhan, Hubei, China pada hari kesembilan di Hanggar Pangkalan Udara TNI AU Raden Sadjad, Ranai, Natuna, Kepulauan Riau , Februari 2020./ANTARA/M Risyal Hidayat
Mantan Direktur Penyakit Menular Regional WHO Asia Tenggara, Tjandra Yoga Aditama, mengakui keunikan dan ketidaklaziman pandemi Covid-19. Tim independen WHO, kata Tjandra, dalam laporan pendahuluannya menyatakan negara-negara di dunia, termasuk WHO, terlambat mengetahuinya. “Laporan interim itu menyatakan bahwa memang penyakit itu pada Januari sudah menyebar,” ujarnya, Selasa, 9 Maret lalu.
Antisipasi terhadap virus corona, kata Menteri Bambang, sebenarnya dibahas dalam rapat kabinet 4 Februari 2020. Dalam rapat itu, Bambang menjelaskan, Presiden Joko Widodo menyampaikan langkah-langkah yang diambil pemerintah, seperti melarang turis dari Cina daratan dan memulangkan warga Indonesia yang berada di luar negeri, termasuk dari Wuhan. “Sempat ada pembahasan apakah barang dari Cina juga perlu dilarang. Menteri Kesehatan meyakinkan penularan tidak melalui barang,” ucap Bambang.
Epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono, menilai apa yang dilakukan pemerintah pada Januari dan Februari itu sebagai sikap abai. Ia merujuk pada pernyataan yang disampaikan Menteri Kesehatan kala itu, Terawan Agus Putranto, yang mengatakan virus corona tidak akan masuk ke Indonesia. “Ada sikap antisains dari pejabat kita dan meyakini corona tak akan masuk Indonesia,” tuturnya.
Rapat kabinet 11 Februari 2020 di Istana Bogor juga membahas virus corona. Dalam rapat itu, Presiden Jokowi mengungkap soal adanya 62 orang yang terduga terinfeksi virus corona. Namun, setelah dicek, semuanya negatif. Sumber Tempo yang mengetahui suasana rapat itu mengatakan Menteri Terawan menolak pandangan bahwa virus corona sudah masuk ke Indonesia. Argumentasinya, virus itu memerlukan kondisi cuaca tertentu untuk bertahan dan menyebar.
Terawan, yang digantikan Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara Budi Gunadi Sadikin sebagai Menteri Kesehatan pada 22 Desember 2020, belum bisa dimintai konfirmasi tentang pernyataannya dalam rapat kabinet tersebut. Pesan singkat yang dikirim ke nomor telepon selulernya pada Jumat, 12 Maret lalu, tidak berbalas. Begitu pula saat nomor tersebut dihubungi, tidak ada respons.
•••
MERASA tidak enak badan, Sita Tyasutami memutuskan pergi ke Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok, Jawa Barat, pada 27 Februari 2020. Meski menduga hanya terserang flu biasa, ia akhirnya menjalani rawat inap. Namun, tiga hari kemudian, ia dipindahkan ke Rumah Sakit Pusat Infeksi Prof Dr Sulianti Saroso, Jakarta Utara, karena berdasarkan hasil tes diduga positif terinfeksi virus corona.
Ibu Sita, Maria Darmaningsih, juga dibawa ke RSPI Sulianti Saroso karena alasan yang sama. Sita baru mengetahui dia dan sang ibu positif Covid-19 melalui siaran televisi. Pada Senin, 2 Maret 2020, Presiden Jokowi dan Menteri Kesehatan Terawan menggelar konferensi pers tentang kasus corona. Sambil duduk di sofa, Presiden mengumumkan Sita sebagai pasien nomor 1 dan Maria pasien nomor 2 Covid-19 di Indonesia.
Resmi memiliki kasus virus corona, pemerintah masih gagap menentukan langkah yang harus diambil, apakah melakukan lockdown alias karantina wilayah atau tidak. Menurut Duta Besar Jauhari Oratmangun, lockdown merupakan salah satu hal yang disampaikan KBRI di Beijing tentang poin-poin langkah pemerintah Cina untuk membendung penyebaran Covid-19.
Djauhari menjelaskan, pemerintah Cina mengunci Kota Wuhan dan Provinsi Hubei, daerah yang memiliki populasi 70 juta jiwa. Poin lain adalah membangun rumah sakit darurat, mengalihkan pabrik untuk memproduksi masker secara masif, membentuk tim pengendalian Covid-19, memperpanjang libur Imlek agar orang tetap di rumah, dan membatalkan semua kegiatan yang melibatkan massa, termasuk sidang tahunan Partai Komunis Cina.
Arief Anshori Yusuf dari Universitas Padjadjaran, Bandung, mendukung opsi pengetatan wilayah seperti itu. Arief pernah membuat perbandingan kalkulasi ekonomi antara karantina ketat dan karantina longgar. Dia tidak hanya menghitung soal penurunan ekonomi, tapi juga ongkos ekonomi dari korban meninggal. “Ekonomi bukan hanya soal yang keluar dari dompet kita,” katanya, Jumat, 12 Maret lalu.
Petugas melakukan pengalihan jalur saat penutupan sebagian jalan protokol, terkait meningkatnya kasus positif Covid 19, Tegal, Jawa Tengah, Maret 2020./ANTARA/Oky Lukmansyah
Dalam hasil analisis yang dirilis pada 14 April 2020, ia menyimpulkan intervensi kuat, seperti melalui pembatasan sosial berskala besar yang efektif, dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi 2020 ke angka 1,0 persen jika tanpa stimulus fiskal dan 1,8 persen dengan stimulus fiskal. “Tapi dalam jangka panjang (2019-2030) akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, 5,1-5,2 persen, daripada skenario intervensi minimal,” tulis Arief.
Pertimbangan ekonomi yang ternyata menjadi pertimbangan pemerintah dalam memilih pengetatan yang longgar. Menurut Suharso Monoarfa, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional sempat membuat simulasi lockdown di Pulau Jawa dalam sebulan. Jika hal itu dilakukan, itu akan berdampak tehadap sekitar 18 juta pekerja. Kalau penguncian berlangsung sepuluh pekan, potensi kehilangan pendapatan pekerja sekitar Rp 72 triliun. “Itu yang terkena dampak langsung,” ucapnya.
Adapun dampak tidak langsung yang dirasakan adalah usaha kecil-menengah bakal kehilangan pembeli. “Yang dikhawatirkan, kalau pekerjaan tidak ada, tingkat kerusuhan akan meningkat,” ujar Suharso.
Bambang Brodjonegoro memperkuat alasan Suharso. Menurut dia, penanganan masalah kesehatan masyarakat ini membutuhkan waktu panjang, termasuk untuk vaksinasi. Karena itu, ekonomi tidak bisa didiamkan begitu lama. Bagaimanapun, Bambang melanjutkan, banyak sekali orang yang butuh makan dan kerja. “Bisa saja semua ditanggung negara, tapi negara kaya pun mengalami kesulitan menanggung semuanya. Kalau dipaksakan, kita harus berutang berapa lagi,” tuturnya.
Suharso menambahkan, penguncian akan membuat tingkat konsumsi dalam negeri turun. Ada dua kemungkinan: orang tidak bekerja atau toko tutup. Kalau toko tutup, akibatnya adalah tidak ada yang bekerja, ekonomi tidak berjalan, dan konsumsi mati. “Kita harus berselancar di antara dua: aman dari Covid tapi juga aman ekonomi. Itu kebijakan yang diambil Presiden,” kata Suharso. Akhirnya, Jakarta menjadi daerah pertama menerapkan penguncian yang longgar yang diberi nama pembatasan sosial berskala besar atau PSBB pada 10 April 2020.
Penasihat senior Direktur Jenderal WHO bidang gender dan pemuda, Diah Saminarsih mengatakan, setelah pembatasan diterapkan, idealnya yang juga harus dilakukan adalah 3T alias testing, tracing, dan treatment. “WHO sudah mengeluarkan rencana strategis respon dan kesiapan untuk membantu negara anggota merespon Covid-19 sejak 24 Februari 2020. Termasuk imbauan penerapan 3T sebagai fondasi respon wabah berbasis sains,” ujarnya. Testing tak dilakukan intensif, Diah mengungkapkan, karena sumber daya manusia dan alat yang terbatas. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara lain.
PSBB pun tak berlangsung lama dan diganggu sejumlah pelonggaran karena masa libur dan masih tetap dibolehkannya kegiatan pengumpulan massa, termasuk pemilihan kepala daerah. Direktur Kebijakan CISDI Olivia Herlinda mengatakan negara yang sejak awal berdisiplin menerapkan 3T dan 3M alias mencuci tangan, menjaga jarak, serta memakai masker secara serius dan menerapkan lockdown ketika dibutuhkan terbukti dapat mengontrol pandemi. “Negara seperti Taiwan dan Selandia Baru itu sukses tanpa vaksin,” ucapnya, Rabu, 10 Maret lalu.
Melihat perjalanan pandemi Covid-19 setahun ini, Suharso mengakui adanya kerentanan pada layanan kesehatan primer kita yang bernama pusat kesehatan masyarakat alias puskemas, yang jumlahnya sekitar 10.000 di seluruh Indonesia. “Puskemas kini bukan berfokus ke promotif dan preventif, tapi ikut kuratif,” tutur Suharso. “Tenaga kesehatan yang ideal itu sembilan orang, tapi hanya 31 persen puskesmas yang punya tenaga sebanyak itu.”
Adapun Bambang mengungkapkan, kalau ada hal yang bisa dilakukan untuk mengoreksi keadaan, salah satunya adalah pengetesan yang lebih masif dan tepat sasaran. “Kalau di awal tesnya banyak, barangkali tingkat penyebaran lebih bisa ditangani,” katanya. Selain itu, orang yang positif Covid-19 seharusnya langsung dikarantina atau menjalani isolasi mandiri. “Ditanggung negara lebih baik daripada isolasi tapi tetap bisa menyebarkan virus.”
Olivia mengatakan dua hal yang disebutkan dua anggota kabinet Jokowi itu menunjukkan bahwa masalah sudah diketahui pembuat kebijakan. Sampai sekarang, ujar Olivia, dalam implementasi, keduanya tetap tidak menjadi perhatian utama, apalagi soal layanan kesehatan primer. “Ini terlihat dari anggaran untuk kesehatan dalam Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional ataupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang jauh lebih kecil dibanding anggaran-anggaran lain,” ucapnya.
Arief Anshori Yusuf menyitir Bank Dunia yang dua bulan lalu memproyeksikan ekonomi Indonesia pada 2021-2023 berada di level 4 persen, maksimal 5 persen. Hal ini membuat kita tak bisa mengatasi ketertinggalan akibat pertumbuhan minus pada tahun lalu. Ia menyebutnya sebagai konsekuensi keputusan pada Maret-April 2020 yang tanpa pengetatan. “Lihat India dan Filipina, kasusnya turun drastis (dengan pengetatan). Itu membuat prospek pertumbuhan ekonominya jadi lebih tinggi.”
Liputan Khusus Satu Tahun Pandemi
Penanggung Jawab: Dody Hidayat
Koordinator: Nur Alfiyah
Penulis: Abdul Manan, Dody Hidayat, Hussein Abri Dongoran, Linda Trianita, Mahardika Satria Hadi, Nur Alfiyah
Penyumbang Bahan: Anwar Siswadi (Bandung), Dini Pramita, Kukuh S. Wibowo (Surabaya), Yogi Eka Sahputra (Batam)
Penyunting: Bagja Hidayat, Dody Hidayat, Sapto Yunus
Penyunting Bahasa: Iyan Bastian, Hardian Putra Pratama, Edy Sembodo
Periset Foto: Jati Mahatmaji (Koordinator), Ratih Purnama, Gunawan Wicaksono
Penata Letak: Munzir Fadly
Digital: Riyan R. Akbar, Rio Ari Seno, Imam Riyadi
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo