Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI bawah sorot lampu kuning yang membelah panggung Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah, Solo, Rabu petang, 10 Maret lalu, Trisya Novita Lolorie membuka pementasan Dadalar dengan berjalan mundur. Tiap satu langkah, dia berhenti sejenak sambil menarik napas perlahan. Sesampai di sudut belakang, penari berkostum merah marun itu berjalan kembali ke depan dengan tempo yang sama lambatnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah tiba di titik awal, Trisya mengulang perjalanan maju-mundurnya dengan sedikit tambahan gerak pergelangan tangan, seperti kebyak, meski tanpa selendang. Dari sudut belakang panggung, Yezyuruni Forinti berjalan menghampiri Trisya. Setelah berhadapan, Trisya dan Uny—panggilan akrab Yezyuruni—mulai menari dengan gerakan lembut yang seirama. Kehadiran musik di tengah pertunjukan tidak banyak mengubah ritme kedua penari itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yezyuruni Forinti, koreografer muda asal Jailolo, Halmahera Barat, Maluku Utara, merasakan lagi kegairahan khas yang jarang ia temukan dalam pementasan tari yang digelar daring. Di panggung Teater Arena, Uny teringat kembali pada kenangan-kenangan indah saat ia menari dalam berbagai festival sebelum terjadi pandemi Covid-19. “Tadi rasanya kena banget, seperti kembali ke masa lalu yang saya rindukan,” ujar mahasiswa Jurusan Tari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta itu saat ditemui Tempo seusai pementasan.
Malam itu, Uny menyuguhkan Dadalar di depan 80 penonton bermasker yang duduk melingkar, berjarak semeter satu sama lain. Menurut Uny, lambatnya tiap gerakan dalam Dadalar menunjukkan karakter perempuan yang lembut dan tenang saat menghadapi segala sesuatu. “Tapi, selain itu, dia (perempuan) kuat. Tenang, tapi juga tegas,” ucap Uny.
Pada babak akhir Dadalar, Uny dan Trisya berdiri saling membelakangi. Punggung mereka menempel. Pelan-pelan Trisya menyandarkan kepalanya ke bahu kiri Uny. Begitu pun Uny, yang menyandarkan kepalanya ke bahu kiri Trisya. Tangan keduanya bertautan. Dengan amat pelan, Uny kemudian membungkukkan badannya. Tubuh Trisya yang masih menempel pada punggung Uny pun terangkat hingga kedua kakinya tidak menyentuh lantai. Gerakan saling menopang ini diulang beberapa kali secara bergantian. “Saat kami duet itu menggambarkan bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Manusia saling membutuhkan, satu sama lain mesti saling menopang, saling mengasihi, saling melengkapi,” tutur Uny.
Dadalar adalah satu dari dua karya yang disuguhkan dalam On Stage edisi keenam. Program rutin dua bulanan Studio Plesungan di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah ini bertujuan meningkatkan apresiasi publik terhadap karya-karya kontemporer. Program ini terakhir kali diselenggarakan pada Januari 2020, sebelum pemerintah menerapkan pembatasan sosial.
Berbeda dengan edisi-edisi sebelumnya, yang biasa menghadirkan seniman profesional dari luar daerah, On Stage kali ini hanya membuka ruang bagi mahasiswa di Solo. Selain menyajikan Dadalar, On Stage #6 menampilkan Samar karya Sekar Tri Kusuma, koreografer asli Solo yang juga menempuh studi di Jurusan Tari ISI Surakarta. “Memang tahun ini saya sangat berfokus pada generasi Z, yang muda-muda banget, supaya mereka juga dapat berkembang secara profesional,” kata Direktur Studio Plesungan, Melati Suryodarmo.
Melati tidak memungkiri alasannya memilih koreografer dari kalangan mahasiswa adalah dampak dari pandemi Covid-19. Dia mengungkapkan, On Stage #6 semula direncanakan berlangsung pada 28 Februari lalu dengan mengundang seorang koreografer dari Jakarta. Namun, karena masa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat diperpanjang, acara diundurkan menjadi pada Rabu, 10 Maret lalu. Pengisi acaranya pun belum bisa yang jauh-jauh dari luar Surakarta.
Dadalar dan Samar awalnya diproduksi untuk memenuhi tugas kuliah. Namun Melati menilai dua karya itu sudah layak disebut sebagai karya yang selesai. Kebetulan Uny dan Sekar mengikuti program gratis Performance Art Class di Studio Plesungan selama masa pandemi. “Di kelas itu saya tidak mengajarkan teknik, saya hanya mendorong mereka agar punya passion, setia pada proses, pelan-pelan menjadi seniman yang mandiri dan bertanggung jawab terhadap karyanya di depan publik,” ujar Melati.
Selain menghadirkan kelas performance art untuk mahasiswa, Studio Plesungan membuka berbagai program, seperti Children Dance Class dan Outdoor Painting, sebagai pengganti sejumlah kegiatan yang tertunda selama pandemi. Melati menambahkan, keputusannya menyediakan ruang bagi mahasiswa dalam On Stage #6 dan edisi mendatang berkaca pada pengalamannya sewaktu kuliah di Hochschule für Bildende Künste Braunschweig, Jerman.
Butter Dance, yang membuat Melati dikenal banyak orang di dunia seni internasional, dibuat saat ia masih berstatus mahasiswa. “Beruntungnya kuliah di sana (Jerman), kita difasilitasi untuk berpameran atau berpentas di tempat-tempat yang sudah mapan. Nah, itu yang saya terapkan kepada teman-teman mahasiswa di sini agar mereka juga terlatih pelan-pelan menjadi seniman independen yang paham dengan produksi sederhana dan produksi karya,” ucap Melati.
Uny, yang lahir dan tumbuh di Jailolo, tertarik menggeluti tari setelah bertemu dengan koreografer kondang asal Solo, Eko “Pece” Supriyanto. Pada 2012, Eko datang ke Halmahera Barat untuk menggarap acara tahunan Festival Teluk Jailolo. Dalam festival itu, Eko menyiapkan pertunjukan tari kolosal balabala dan Uny terpilih menjadi satu dari 300 penari yang terlibat. Para penari itu berlatih intensif selama lebih dari setahun sebelum tampil dalam pertunjukan balabala di sejumlah festival internasional di Australia, Eropa, dan Asia.
Samar oleh Sekar Tri Kusuma OnStage Studio Plesungan, di Teater Arena TBJT Surakarta, Solo, 10 Maret 2021. Jauhari
Sejak keluar dari kampung halamannya, Uny melihat banyak hal baru, seperti ragam karakter orang yang dia jumpai dalam lawatan balabala ke berbagai negara hingga saat ia menetap di Solo untuk kuliah. Perbedaan karakter itu mempengaruhi cara menunjukkan kasih sayang dalam interaksi sehari-hari dengan orang lain. Itulah yang dituangkan Uny dalam karyanya yang bertajuk Dadalar. Dalam bahasa Sahu, bahasa lokal di Halmahera, dadalar berarti “kasih sayang”. “Dadalar berangkat dari pengamatan saya terhadap fenomena afeksi (rasa kasih sayang atau perasaan dan emosi yang lunak) di lingkungan sosial saya selama ini,” tuturnya.
Meski Uny mengambil judul dari bahasa Sahu dan memodifikasi sejumlah gerakan tari tradisional Halmahera yang terkenal energetik dan bertempo cepat, Dadalar justru sebaliknya. Selama 30 menit, karya yang dipentaskan Uny bersama Trisya Novita, yang juga teman kuliahnya, menyihir penonton dengan sajian koreografi yang lembut bak tari putri Jawa yang sesekali dibumbui beberapa modifikasi gerak dari tari sara dabi-dabi.
Saat pertama kali mempelajari tari tradisional Jawa di ISI Surakarta, Uny mengaku sempat kaget. “Saya terbiasa dengan tari Halmahera yang bertempo cepat, mesti beradaptasi dengan gerak tari putri Jawa yang begitu lambat. Tapi dari situlah saya mulai mengenal dan menyelami karakter tiap orang dari budaya berbeda, yang saya tuangkan dalam Dadalar,” kata Uny.
Menurut Melati Suryodarmo, Dadalar adalah karya yang sangat sensitif. Meski rutin mengikuti proses penciptaan karya itu, Melati mengaku gemetar saat melihat pementasannya. “Jarang saya menyaksikan karya yang hadir begitu kuat, memberi waktu pada tubuh untuk bergerak. Orang yang biasa dengan tari cepat pasti bertanya, ini tari apa, kok, lambat banget. Tapi ya itulah afeksi, tema yang sangat sensitif, dan Uny berhasil membahasakannya secara konsep ataupun visual,” ujar Melati.
DINDA LEO LISTY
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo