KUDA-kuda Ranggi. Anggun. Perkasa. Mendepak-depak di kawasan
Monas, Jakarta, tiap Sabtu dan Minggu sore. Di atas punggung
kuda-kuda Australia itu duduk lurus polisi muda dari Satuan
Sabhara. Mereka berpakaian lengkap. "Parade" apa pula itu?
Lettu Oegroseno, 26 tahun, Komandan Unit Pasukan Berkuda Kodak
VII Metro Jaya mengakui pasukan berkuda itu tak lain dari
patroli biasa. Dan karena baru pada tahap permulaan, belum
banyak tugas yang harus mereka laksanakan. Baru baru ini mereka
diminta untuk mengawal acara PON X. Pernah juga mengawal pawai
dan gerak jalan. Tapi pasukan itu belum mendapat kesempatan
untuk mengendalikan huru-hara atau demonstrasi, misalnya.
Tapi mengapa harus pakai kuda? "Orang sekarang sudah tidak takut
lagi dengan senjata maupun kendaraan bermotor," tutur Oegroseno,
"kuda ternyata lebih ditakuti. Coba saja, kalau disepak kuda
atau melihat kuda binal, orang pasti takut. Menurut perwira
lulusan Akabri tahun 1978 itu, pasukan berkuda lebih cocok untuk
kawasan yang padat kendaraan seperti Jakarta. Terutama bila
daerah padat sudah tidak dapat lagi dimasuki kendaraan beroda.
"Jarak pandangan kami juga lebih jauh dan lebih luas bila di
atas kuda," kata Oegroseno.
Karena masih tahap permulaan, jumlah kuda Ranggi milik Sabhara
baru 12 ekor. Dan polisi yang menjadi anggota pasukan berkuda
juga hanya 12 orang. Beroperasi di sekitar Monas, agaknya agar
mudah ke mana-mana. Didatangkan dari benua selatan, Australia,
11/2 tahun berselang, kuda-kuda tersebut -- yang sebagian besar
sudah dikebiri--dilatih dan dijinakkan oleh penunggangnya
masing-masing. Kuda-kuda itu dilatih di sekitar kompleks Brimob
Kelapa Dua.
Pasukan berkuda adalah gagasan Kadapol Anton Sudjarwo. Harga
tiap kuda Rp 3 juta, biaya perawatannya per hari sama dengan
bensin yang dihabiskan untuk mobil tiap hari. Cip, 19 tahun,
seorang polisi penunggang kuda, sambil tersenyum berucap,
"Pasukan berkuda mengingatkan kejayaan masa lalu." Maksudnya
tentu pasukan berkuda polisi zaman Hindia Belanda. Tapi Lince,
24 tahun, seorang mahasiswa STP (Sekolah Tinggi Publisistik) di
Jakarta, agak sinis berkata, "Itu cuma gaya, meniru-niru kota
London."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini