KOMPLEKS kantor Sekretariat Negara dan Istana Kepresidenan akan
diperluas. Dan pekan silam alat-alat berat mulai beraksi di
belakang rumah Jalan Majapahit no. 9 Jakarta Pusat. Penghuni di
situ kian resah bukan karena suara gaduh dan debu yang
beterbangan, tapi karena ganti rugi yang jauh dari harapan.
Sebenarnya berita penggusuran sudlh lama mereka dengar, bahkan
sejak zaman Orla. Tahun 1978 ketika Kol.
(Purn) Hidayat, menjabat ketua RW di sana, soal penggusuran itu
pernah ditanyakan secara resmi. Mewakili 30 kk (kepala keluarga)
yarg bersama-sama menghuni rumah no. 9, Hidayat bicara dengan
Komar, salah seorang pejabat Sekneg. Menurut pejabat ini waktu
itu, rencana penggusuran baru akan dilaksanakan tahun 1985.
"Sekneg belum ada uang," ungkap Komar, waktu itu.
Maka Hidayat pun merasa tenteram. Tapi tidak lama. Tahun 1980
dipastikan: penggusuran dipercepat dan ketua RT/RW agar
memberitahukan "bencana" itu kepada warganya. Nah ! Tidak
seorang pun siap, baik mental apalagi fisik, karena tiba-tiba
harus menjadi orang yang tersingkir.
Apalagi ketika para warga di sana mengetahui, Sekneg bersedia
membayar ganti rugi hanya Rp 60.000 per mÿFD, sedangkan tuntutan
mereka berkisar antara Rp 200 - Rp 300.000. "Tawaran Sekneg sama
sekali tidak memadai," ujar Hidayat, 58 tahun, ayah dari tiga
anak yang sudah dewasa dan sehari-hari lebih dikenal sebagai
anggota MPR. "Kami tinggal di sini sudah puluhan tahun dan
selalu bayar Ireda. Kami hanya minta penggantian yang wajar.
Kemudian kami akan pergi dari sini," tuturnya beruntun.
Bahwa tanah di situ milik negara tidak dibantah Hidayat. Ia pun
mengakui status tanah yang ditempatinya masih VB (Vesteging
Bewijs -- Bukti Penempatan). Dahulu tanah yang menjadi sengketa
itu adalah milik Bouw Matschappij de Hanonie. Karena itu
kawasan tadi terkenal juga dengan sebutan daerah Harmoni.
Kemudian diambilalih oleh Pemerintah RI dan dijadikan tempat
penampungan sementara bagi para prajurit yang baru kembali dari
hutan, bergerilya.
Riwayat penempatan itu berlanjut karena penyewaan yang menurut
Hidayat "keterusan". Sampai sekarang sudah puluhan tahun, bahkan
kata Hidayat, ia tinggal di situ sejak 1953.
Tidak Ada
Sebuah sumber resmi Sekneg menyatakan, "Sampai kim tidak ada
sengketa antara Sekneg dan penduduk yang tanahnya sudah atau
belum dikosongkan." Sumber itu menambahkan, urusan pengosongan
tanah sepenuhnya wewenang Pemda DKI, meskipun Sekneglah nanti
yang membayar ganti rugi. Dibenarkannya, bahwa Sekneg maksimal
bersedia membayar ganti rugi Rp 60.000 per mÿFD.
Mayoritas penghuni kelompok rumah no. 9, termasuk Hidayat,
nampaknya berketetapan hati memperjuangkan ganti rugi yang lebih
layak. Kalau perlu ke DPR dan LBH, kata Hidayat yang adalah juga
Ketua Pembina Pejuang Angkatan 45, sebuah ormas di bawah
Golkar. "Kami menghimbau Pemerintah untuk memperhatikan nasib
kami," tamhahnya.
Menurut Letkol. (Purn) R. Sudaryo, seorang penghuni lain,
perusahaan farmasi Raja Farma yang punya gudang di sekitar situ
sudah menerima Rp 60.000. "Tapi kalau kami diberi sebegitu ya
jangan Pada kondisi seperti sekarang ini akan dapat apa?" tanya
pensiunan itu. Untuk itu para Fenghuni sudah mengirim surat
tuntutan ke Sekneg--dan belum dijawab.
Dalam ketidakpastian soal ganti rugi, terjadi korstleting
listrik 'yang hampir saja menimbulkan kebakaran, dua pekan
silam. Maka beredar desas-desus seakan kejadian itu merupakan
teror yang sengaja dilancarkan Sekneg -- walau dibantah Hidayat
dan Sudaryo. Kebakaran di rumah-rumah yang akan tergusur dapat
segera dimatikan.
Sementara itu pembebasan tanah untuk kompleks perkantoran Sekneg
dan Istana itu, tetap berlangsung secara bertahap Luas tanah
yang terkena meliputi kawasan dari Bank of America di Jalan
Merdeka Utara sampai ujung Jalan Majapahit. Giliran pembebasan
pertama jatuh atas tanah seluas 5000 mÿFD yang jumlah ganti ruginya
masih dalam pertikaian itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini