Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Pemburu yang sulit diatur

Perburuan makin mengkhawatirkan, pembantaian sering dilakukan pemburu di hutan-hutan indonesia, untuk mencegah pengurasan terhadap binatang-binatang, berbagai instansi sudah mengeluarkan aturan perburuan. (ling)

5 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GAJAH Sumatera diperkirakan halnya tinggal 300 ekor. Jenis binatang yang dilindungi itu kembali menadi korban keganasan pemburu di Blambangan Umpu, Lampung Utara Ironisnya penembakan liar kali ini justru dilakukan oleh anggota pengurus Perbakin. Pekan lalu tersiar berita bahwa seorang anggota pengurus Perbakin Jaya bersama seorang Barat menembak mati empat gajah dalam suatu perburuan dalam awal Oktober. Kasus itu terungkap dari surat Wakil Ketua Umum Perbakin Pusat, H.M. Anwar, kepada Perbakin Jaya, tertanggal 19 November. Penembakan keempat gajah itu diakui oleh Sekretaris II Perbakin Jaya, Agust Sutiarso. Si pemburu gajah itu konon diberhentikan sementara dari organisasi itu. Apa pun alasan yang dikemukakannya kepada Perbakin, ternyata perburuan makin mengkhawatirkan. Satu sumber di instansi PPA (Perlindungan dan Pengawetan Alam) mengungkapkan pembantaian besar-besaran sering dilakukan pemburu di hutan-hutan Indonesia. Misalnya, di hutan Sulawesi Tenggara dan Nusa Tenggara Barat ratusan rusa liar sudah punah. Bahkan Taman Nasional Komodo di NTT tidak luput dari incaran pemburu liar. Agustus lalu, 70 ekor rusa menjadi korban di sana selain kerbau liar. Petugas PPA sulit mengontrol, karena ada juga pejabat yang mempunyai kegemaran berburu. Sungguh beralasan kalau para ahli konservasi mencemaskan akan punahnya binatang yang langka di dunia. "Gajah liar itu akan musnah di dunia 30 tahun lagi, paling lama 40 tahun lagi, kecuali kalau benar-benar dilindungi " kata ahli konservasi Muangthai, Dr. Boonsong Lekagul. Ahli biologi Universitas Cambridge (Inggris) Dr. Stewart Elfringham memperkirakan lebih pendek lagi. "Gajah akan lenyap dari planet ini sebelum abad ke-20 habis," ujarnya. Perburuan itu sendiri bila terkendali, menurut Direktur PPA, Ir. Wartono Kadri, akan menunjang upaya pelestarian alam. "Perburuan itu (semestinya) suatu kegiatan untuk mengendalikan lajunya populasi suatu jenis satwa yang melewati batas daya dukung suatu kawasan," katanya. Namun pengertian itu dikacaukan masyarakat. "Yang terjadi justru suatu pengurasan terhadap margasatwa," keluh Ir. Wartono. Untuk mencegah pengurasan itu, berbagai instansi sudah mengeluarkan aturan perburuan. Pangkopkamtib sudah memerintahkan penghentian perburuan. kecuali dengan izin. Operasi Sapu Jagat yang dilakukan Kopkamtib sudah mengumpulkan 47.488 pucuk senjata api yang bisa digunakan untuk herburu, 8.380 di antaranya milik Perbakin. Penertiban juga dilakukan instansi yang menangani urusan satwa liar ini, Departemen Pertanian. "Perburuan sudah mulai ditertibkan," kata drh. Ismoe S., Ketua Panitia Konsultasi Kebun Binatang se-lndonesia dan Pengaturan Perburuan, ketika mengadakan rapat konsultasi di Bandung akhir Oktober. Larangan juga ditujukan untuk perburuan berhadiah, termasuk untuk berburu binatang yang dianggap merusak atau jadi hama. Perburuan berhadiah itu, menurut drh. Ismoe, mempunyai tujuan lain, yaitu komersialisasi. Eksesnya menimbulkan banyak penangkapan satwa. "Tentu saja itu tidak bisa dibenarkan. Perburuan jangan dilihat dari segi rekreasinya aja," ujar Ismoe. Maka kontes-kontes oleh penggemar satwa seperti penggemar burung juga sudah dilarang oleh pihak berwajib. Belum Tentu Tertib Tapi adanya satwa yang menjadi hama telah dijadikan alasan oleh pemburu untuk menghalalkan perburuan berhadiah. Memang ada satwa yang semula dilindungi sekarang menjadi hama bagi tanaman penduduk, misalnya, burung bayan (Lonus roratus yang dilaporkan menggelisahkan penduduk Maluku karena merusak tanaman jagung dan kebun cengkih mereka. Selain itu disebut pula merajalelanya babi hutan dan bajing. "Itu alasan mereka saja. Tidak selamanya binatang yang dianggap merusak itu tidak bermanfaat," kata Ismoe. Ia menyebut burung kakaktua putih di Pulau Aru yang dikatakan hama. Seorang pejabat PPA membenarkan bahwa babi merupakan hama, tapi babi itu di beberapa tempat merupakan makanan harimau. "Jangan karena babi terus diburu manusia, harimau jadi menerkam manusia dan manusia kemudian menghalalkan membunuh harimau," kata pejabat itu. Berdasarkan hasil rapat konsultasi di Bandung itu, Menteri Pertanian mengeluarkan peraturan pemburuan babi hutan. Setiap pemburu harus memiliki akte berburu dan surat izin berburu babi hutan. Selain harus mengikuti ujian, pemburu yang ingin mendapat akte itu harus membayar pula Rp 10 ribu. Dengan berbagai aturan itu perburuan belum tentu akan tertib. "Mampukah PPA dan semua aparat pemerintah menegakkan aturan itu7" tanya dr. Suharjono, anggota Perbakin Jawa Timur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus