GAJAH Sumatera diperkirakan halnya tinggal 300 ekor. Jenis
binatang yang dilindungi itu kembali menadi korban keganasan
pemburu di Blambangan Umpu, Lampung Utara Ironisnya penembakan
liar kali ini justru dilakukan oleh anggota pengurus Perbakin.
Pekan lalu tersiar berita bahwa seorang anggota pengurus
Perbakin Jaya bersama seorang Barat menembak mati empat gajah
dalam suatu perburuan dalam awal Oktober. Kasus itu terungkap
dari surat Wakil Ketua Umum Perbakin Pusat, H.M. Anwar, kepada
Perbakin Jaya, tertanggal 19 November. Penembakan keempat gajah
itu diakui oleh Sekretaris II Perbakin Jaya, Agust Sutiarso. Si
pemburu gajah itu konon diberhentikan sementara dari organisasi
itu.
Apa pun alasan yang dikemukakannya kepada Perbakin, ternyata
perburuan makin mengkhawatirkan. Satu sumber di instansi PPA
(Perlindungan dan Pengawetan Alam) mengungkapkan pembantaian
besar-besaran sering dilakukan pemburu di hutan-hutan Indonesia.
Misalnya, di hutan Sulawesi Tenggara dan Nusa Tenggara Barat
ratusan rusa liar sudah punah. Bahkan Taman Nasional Komodo di
NTT tidak luput dari incaran pemburu liar. Agustus lalu, 70 ekor
rusa menjadi korban di sana selain kerbau liar. Petugas PPA
sulit mengontrol, karena ada juga pejabat yang mempunyai
kegemaran berburu.
Sungguh beralasan kalau para ahli konservasi mencemaskan akan
punahnya binatang yang langka di dunia. "Gajah liar itu akan
musnah di dunia 30 tahun lagi, paling lama 40 tahun lagi,
kecuali kalau benar-benar dilindungi " kata ahli konservasi
Muangthai, Dr. Boonsong Lekagul. Ahli biologi Universitas
Cambridge (Inggris) Dr. Stewart Elfringham memperkirakan lebih
pendek lagi. "Gajah akan lenyap dari planet ini sebelum abad
ke-20 habis," ujarnya.
Perburuan itu sendiri bila terkendali, menurut Direktur PPA, Ir.
Wartono Kadri, akan menunjang upaya pelestarian alam. "Perburuan
itu (semestinya) suatu kegiatan untuk mengendalikan lajunya
populasi suatu jenis satwa yang melewati batas daya dukung suatu
kawasan," katanya. Namun pengertian itu dikacaukan masyarakat.
"Yang terjadi justru suatu pengurasan terhadap margasatwa,"
keluh Ir. Wartono.
Untuk mencegah pengurasan itu, berbagai instansi sudah
mengeluarkan aturan perburuan. Pangkopkamtib sudah memerintahkan
penghentian perburuan. kecuali dengan izin. Operasi Sapu Jagat
yang dilakukan Kopkamtib sudah mengumpulkan 47.488 pucuk senjata
api yang bisa digunakan untuk herburu, 8.380 di antaranya milik
Perbakin.
Penertiban juga dilakukan instansi yang menangani urusan satwa
liar ini, Departemen Pertanian. "Perburuan sudah mulai
ditertibkan," kata drh. Ismoe S., Ketua Panitia Konsultasi Kebun
Binatang se-lndonesia dan Pengaturan Perburuan, ketika
mengadakan rapat konsultasi di Bandung akhir Oktober. Larangan
juga ditujukan untuk perburuan berhadiah, termasuk untuk berburu
binatang yang dianggap merusak atau jadi hama.
Perburuan berhadiah itu, menurut drh. Ismoe, mempunyai tujuan
lain, yaitu komersialisasi. Eksesnya menimbulkan banyak
penangkapan satwa. "Tentu saja itu tidak bisa dibenarkan.
Perburuan jangan dilihat dari segi rekreasinya aja," ujar
Ismoe. Maka kontes-kontes oleh penggemar satwa seperti penggemar
burung juga sudah dilarang oleh pihak berwajib.
Belum Tentu Tertib
Tapi adanya satwa yang menjadi hama telah dijadikan alasan oleh
pemburu untuk menghalalkan perburuan berhadiah. Memang ada satwa
yang semula dilindungi sekarang menjadi hama bagi tanaman
penduduk, misalnya, burung bayan (Lonus roratus yang dilaporkan
menggelisahkan penduduk Maluku karena merusak tanaman jagung dan
kebun cengkih mereka. Selain itu disebut pula merajalelanya babi
hutan dan bajing.
"Itu alasan mereka saja. Tidak selamanya binatang yang dianggap
merusak itu tidak bermanfaat," kata Ismoe. Ia menyebut burung
kakaktua putih di Pulau Aru yang dikatakan hama.
Seorang pejabat PPA membenarkan bahwa babi merupakan hama, tapi
babi itu di beberapa tempat merupakan makanan harimau. "Jangan
karena babi terus diburu manusia, harimau jadi menerkam manusia
dan manusia kemudian menghalalkan membunuh harimau," kata
pejabat itu.
Berdasarkan hasil rapat konsultasi di Bandung itu, Menteri
Pertanian mengeluarkan peraturan pemburuan babi hutan. Setiap
pemburu harus memiliki akte berburu dan surat izin berburu babi
hutan. Selain harus mengikuti ujian, pemburu yang ingin mendapat
akte itu harus membayar pula Rp 10 ribu.
Dengan berbagai aturan itu perburuan belum tentu akan tertib.
"Mampukah PPA dan semua aparat pemerintah menegakkan aturan
itu7" tanya dr. Suharjono, anggota Perbakin Jawa Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini