INSIDEN rasial Oktober lalu di Banda Aceh rupanya masih
berekor. Kejahatan berupa pemaksaan maupun penghasutan banyak
terjadi. Karena itu Pangdam I Iskandar Muda Mayjen R.A. Saleh,
cepat-cepat mengingatkan warga keturunan Cina, "agar tidak
menghongkongkan Banda Aceh." Maksudnya tentulah, agar warga
keturunan Cina di sana lebih membuka diri terhadap masyarakat
sekitarnya.
Selama ini memang terlihat misalnya, mereka menolak ronda
kampung. Anak-anak mereka dikirimkan ke sekolah khusus. Begitu
pula para nonpri itu sering berbahasa Cina dalam pergaulan
sehari-hari. Mereka juga menghindari pergaulan dengan penduduk
asli.
Pembauran agaknya belum berjalan lancar, setidak-tidaknya
terbukti dengan terjadinya pertentangan rasial belum lama ini,
25 Oktober berselang (TEMPO, 7 November). Insiden itu sempat
merembet ke seantero Kota Banda Aceh. Penghancuran rumah dan
toko, diseling pembakaran mobil dan motor kepunyaan warga
nonpri.
Sesudah kejadian itu dapat diatasi, pekan-pekan berikutnya
terjadi aksi-aksi pengacauan. Para remaja berbondong masuk ke
toko milik warga keturunan Cina, membeli ini itu, tapi cuma
membayar setengah harga atau tidak membayar sama sekali Pedagang
nonpn tidak berdaya. "Nanti dikira saya mengadaada dan bisa
diserbu," kata seorang pemilik toko. Mendengar tindakan yang
menjurus pada kejahatan ini, Danres Banda Aceh, Letkol Pol.
Sudarmaji, nampak kesal sekali. "Tak enak kriminalitas itu
dibiarkan," ujarnya seraya tak lupa mengingatkan para pedagang
agar jangan lupa melapor ke polisi kalau ada apa-apa.
Bingkisan Berbahaya
Sementara itu, ribuan pamflet dan selebaran tersebar luas ke
segala penjuru tanpa bisa diketahui sumbernya. "Isinya nampak
terjurus dan menimbulkan kebencian yang sangat," kata sebuah
sumber TEMPO di Banda Aceh.
Dari 100 tersangka yang diduga terlibat dalam kerusuhan rasial
itu, 20 orang masih mendekam di RTM (Rumah Tahanan Militer).
Sebagian mengaku tidak tahu menahu sumber pamflet, sebab begitu
saja memungutnya di pinggir jalan. Di samping itu banyak sekolah
menerima bingkisan berisi selembar kutang dan celana dalam
wanita berikut sepotong surat berbunyi, "Apakah kalian hanya
sebagai wanita yang lembek?"
Hasutan terencana seperti ini benarbenar mengejutkan Laksusda
Aceh. "Ini cara tidak sehat dan membahayakan sekali," kata
seorang staf Laksusda. "Pengirimnya belum diciduk. Tapi sebuah
sumber lain mengatakan pengirimnya adalah orang-orang iseng,"
sambungnya. Tak urung beberapa orang dan kantor yang menerima
buletin atau majalah dari kedutaan negara-negara komunis
ditelusuri. "Hanya ingin tahu apakah ada tanda-tanda yang
mencurigakan," kata seorang petugas sembari menegaskan bahwa
sebegitu jauh tak seorang pun ditangkap.
Tapi sementara itu diam-diam banyak warga keturunan Cina
mengungsi ke Medan, semacam pelarian kecil-kecilan. Yang berduit
menginap di hotel, yang kurang mampu menumpang di rumah sanak
keluarganya di Tanjung Mulia, kawasan Pulau Brayan, Medan.
Daerah ini sejak tahun 1966 berkembang menjadi pemukiman orang
Cina yang terusir dari Aceh. Di antara mereka banyak yang ragu
akan kembali ke Aceh atau tidak. "Nantilah kami pikirkan," ujar
A Siong, salah seorang pengungsi.
Dalam usaha membina kembali pembauran, Pangdam I Mayjen R.A.
Saleh, memberikan pengarahan di bioskop Gajah 20 November silam.
"Pengarahan yang pertama kali sejak kerusuhan," kata Letkol
Hamli, Kapendam I Iskandar Muda. Adapun prakarsa untuk pertemuan
itu berasal dari Tommy, seorang pemuda keturunan Gina yang aktif
sebagai pengurus Bakom PKB (Badan Komunikasi Penghayatan
Kesatuan Bangsa). Tujuan utama pengarahan adalah mengingatkan
penduduk keturunan Cina akan "sikap Hongkong" mereka yang tentu
saja dirasakan tak sesuai dengan masyarakat di Banda Aceh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini