Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJAK awal November 2023, Afiq Naufal dan Melki Sedek Huang kerap bersua di warung makan Aceh di sekitar Jakarta Selatan. Sekretaris Jenderal Serikat Mahasiswa Universitas Paramadina dan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia nonaktif itu bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk mendiskusikan rencana demonstrasi menolak dinasti Jokowi.
“Kadang kami bertemu dari siang sampai malam,” kata Afiq, 29 Desember 2023. Mereka juga mengajak perwakilan kampus lain dari jaringan Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI). Termasuk Ketua BEM Keluarga Mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Gielbran Muhammad Noor.
Diskusi itu dipicu putusan Mahkamah Konstitusi pada 16 Oktober 2023 yang memungkinkan kepala daerah berusia kurang dari 40 tahun menjadi calon presiden atau wakil presiden. Putusan itu memberi karpet merah bagi putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, mendampingi Prabowo Subianto.
Para mahasiswa menganggap putusan MK mengancam demokrasi di negeri ini. Mereka menilai Gibran sebagai anak presiden telah mendapat keistimewaan. “Demi berada di posisi sekarang, hukum diubah dengan sangat mudah. Ini berbahaya untuk demokrasi,” ujar Afiq.
Mereka juga berdiskusi dengan sejumlah aktivis dan pakar dari berbagai bidang. Dari aktivis 1998 Ubedillah Badrun, ahli hukum tata negara Bivitri Susanti, aktivis pemilihan umum Titi Anggraini, ekonom Faisal Basri, hingga Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Diskusi itu membuat mahasiswa kian bertekad melawan dinasti politik Jokowi.
BEM SI sebenarnya sudah menggelar demonstrasi empat hari setelah putusan MK atau pada 20 Oktober 2023 di kawasan patung Arjuna Wiwaha, Jakarta Pusat. Dihadiri ratusan orang, gerakan itu dianggap belum terlalu bergema. Mereka pun menyusun gerakan baru yang berbeda, yakni Sumpah Pemuda 2.0.
Aksi itu digelar pada 22 November 2023 di Gedung Joang '45 di Menteng, Jakarta Pusat. Puluhan mahasiswa dari berbagai universitas hadir mengenakan pakaian hitam. Mereka menggelar orasi sambil membawa jagung sebagai simbol perlawanan.
Ide itu muncul dari perbincangan Melki Sedek Huang dengan Afiq Naufal. Mereka terinspirasi aksi bela Palestina yang menggunakan semangka sebagai simbol perlawanan. Simbol semacam ini dianggap lebih bisa diterima publik.
“Bagi kami, ini juga simbol demokrasi Indonesia masih seumur jagung,” kata Melki kepada Tempo, 28 Desember 2023.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Francisca Christy Rosana, Fajar Pebrianto, Shinta Maharani dari Yogyakarta, dan Hanaa Septiana dari Surabaya berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jagung Muda Antidinasti"