SAMAN, 19, datang ke Desa Dawuhan Wetan, Lumajang, Jawa Timur, bukan mau berbuat onar. Ia tahu Tumi, yang baru berumur 14 tahun, anak janda Karsiti, 42, cantik. Ia melamarnya. Karsiti senang. Sebab, walaupun cuma buruh tani, Saman dapat menggantikan tugas Timan, suaminya yang baru meninggal, untuk menghidupi keluarga. Karsiti lalu mengantarkan Saman untuk melapor ke Pak Lurah, minta izin kawin dan mengunjukkan surat pindah. Tapi Hadi Soekarno, kepala desa, tidak setuju. "Habis, Tumi belum cukup umur," katanya. Kalau ingin juga mengawini Tumi, Saman harus menunggu dua tahun lagi sehingga umur gadis itu 16 tahun - begitu Hadi menyarankannya. Kepalang, begitu mungkin pikir Saman. Ia tidak pulang ke kampungnya - melainkan terus tinggal di rumah Karsiti. Kok tidak diusir? "Bagaimana mengusirnya, wong dia sudah bawa surat pindah," kata Hadi. Seharusnya Saman malu sendiri, begitu pendapat Hadi. "Sudah ditolak kok masih ngglibet." Setahun berlalu. Mbok Ari dari Blukon, desa tetangga, tergopoh-gopoh menemui Pak Lurah. "Saya diminta menggugurkan kandungan," kata dukun bayi itu. Karsiti hamil enam bulan, sedang Tumi tiga bulan. Yang bertanggung jawab, siapa lagi, kalau bukan Saman. Rupanya, malam yang sepi mendorong Karsiti mencari "hiburan" ke bakal menantunya. Setelah kecanduan, karena sering, rupanya Saman juga "menghibur" Tumi KUA jadi bingung bagaimana mengawinkannya. Tidak usah bingung. Ketiganya, karena malu pada tetangga, sudah minggat. Tinggal rumah gubuk yang ada, yang oleh penduduk diberi nama rumah "kumpul kethek (kera)".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini