Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Harajuku hingga La Sape

Fashion street atau peragaan busana jalanan juga muncul di sejumlah negara. Dari Harajuku hingga La Sape.

23 Juli 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pemudi Jepang mengenakan pakaian bertema 'Lolita' yang dipengaruhi oleh gaya Victoria, di distrik perbelanjaan Harajuku, Tokyo, Jepang 15 Maret 2018. REUTERS/Kim Kyung-Hoon

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Harajuku lahir sebagai ekspresi kebebasan anak muda dari tatanan budaya tradisional Jepang.

  • Komunitas punk di Camden lahir sebagai kritik terhadap kelas sosial Inggris.

  • Anggota Komunitas La Sape menghabiskan puluhan juta rupiah untuk membeli pakaian merek Eropa ternama.

PERKEMBANGAN subkultur anak muda melalui gaya busana dan penampilan juga terjadi di sejumlah negara. Salah satu yang mirip dengan fenomena Citayam Fashion Week adalah komunitas takenoko-zoku. Ini kelompok anak muda Jepang yang menari dan memakai pakaian unik di Distrik Shibuya, Tokyo. Gaya busana subkultur di salah satu sudut ibu kota Negeri Sakura itu kemudian lebih dikenal dengan nama Harajuku Fashion—karena berada di sekitar Stasiun Japan Railways Harajuku.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kawasan itu menjelma menjadi pusat fashion sejak berdirinya sejumlah pusat belanja, toko, dan butik pada 1970-an. Sejumlah anak perempuan yang disebut annon-zoku kemudian mulai datang sambil mengenakan pakaian yang populer di sejumlah majalah mode busana Jepang pada 1980-an. Tren itu kian berkembang setelah pemerintah menetapkan wilayah tersebut sebagai kawasan khusus pejalan kaki. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat ini ratusan anak muda menjadikan kawasan yang mencakup Kuil Meiji Jingu, Taman Yoyogi, Gimnasium Nasional Yoyogi, Jalan Takeshita, dan area Omotesando tersebut sebagai tempat berekspresi, khususnya tiap akhir pekan. Gaya penampilan mereka pun tanpa batas, dari punk rock, gothic, lolita, decora, hingga kawaii. Salah satu yang kemudian mengilhami banyak anak muda di berbagai negara adalah costume play atau cosplay—berpenampilan serupa tokoh dalam anime atau komik. 

Harajuku Fashion juga bukan sekadar ungkapan kebebasan berekspresi anak muda. Tata rias rambut, wajah, dan pakaian mereka menabrak semua pakem dan kredo penampilan umum di Jepang. Subkultur ini memang memberontak dari sejumlah standar tradisional Negeri Matahari Terbit. 

Hal yang sama juga dilakukan anak muda Inggris dengan penampilan punk, gothic, dan steampunk di Camden—distrik sebelah barat laut Kota London. Meski tak menjadi fashion street, komunitas dengan budaya alternatif ini lahir sebagai pemberontakan terhadap kemapanan dan kelas sosial di Inggris pada 1970-an. Pada era tersebut, kalangan bangsawan mendapatkan kehormatan dengan membedakan diri melalui tata rias wajah dan gaya busana.

Kelompok ini justru menampilkan diri dengan potongan rambut skinhead, celana ketat, sepatu bot, dan tindikan anting pada beberapa bagian wajah. Gerakan kritik terhadap sistem sosial dan politik ini justru lebih diidentikkan dengan kelompok anti-peraturan dan pelaku kekerasan. Komunitas ini kemudian lebih identik dengan aliran musik yang memiliki lirik kritis dan irama keras. Camden sendiri menjadi rumah sejumlah musikus dunia asal Inggris, seperti Amy Winehouse, Morrissey, dan band ska Madness.

Masyarakat Kota Brazzaville dan Kinshasa, Kongo, juga membentuk sebuah komunitas subkultur melalui gaya berpakaian bernama La Sape. Ini adalah akronim dari bahasa Prancis: Société des Ambianceurs et des Personnes Elegantes atau komunitas orang elegan dan pencipta suasana. Anggota La Sape yang disebut Sapeurs dan Sapeuses itu biasa berjalan di permukiman mereka dengan memakai pakaian asli senilai puluhan juta rupiah dari brand Eropa, seperti Chanel, Dior, Gucci, Luis Vuitton, dan Balenciaga.

Tren itu lahir dari masa kolonialisme Belgia-Prancis di salah satu negara miskin dunia tersebut pada awal abad ke-20. Sejumlah warga asli yang bekerja sebagai budak mendapat pakaian bekas dari tuannya. Busana dengan desain dan label asal Eropa itu sangat disukai masyarakat Kongo. Di luar jam kerja, mereka kemudian mengenakan pakaian itu dan berlaga bak seorang warga negara Prancis yang fashionable.

La Sape sendiri cenderung menjadi gaya hidup dibanding ideologi perlawanan terhadap kondisi sosial dan politik di negara tersebut. Sebagian anggotanya menabung dan menghabiskan uang untuk tampil keren meski tak mampu membeli makanan layak. Mereka menyebutnya sebagai kegiatan yang menghasilkan energi positif atau keyakinan tentang masa depan yang lebih baik.

Anak muda Korea Selatan juga gemar menggunakan pakaian mewah saat menghabiskan waktu akhir pekan di kawasan Gangnam. Kota pusat perdagangan dan keuangan Negeri Gingseng itu memang memiliki sejumlah lokasi dengan berbagai toko busana dari merek wahid. Berbeda dengan La Sape, sebagian besar generasi muda Korea ini memiliki profil ekonomi yang mumpuni. Selain itu, gaya busana mereka relatif mengikuti mode terbaru.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus