Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Citayam Fashion Week menjadi ajang anak-anak muda mengekspresikan pelbagai gaya dan busana.
Anak-anak muda dari berbagai daerah penyangga Ibu Kota dan Jakarta sendiri berbaur membentuk subkultur Citayam Fashion Week.
Fenomena Citayam Fashion Week menjelma menjadi subkultur baru yang mewarnai Jakarta.
Citayam Fashion Week awalnya hanya sebutan yang dikarang kreator konten dan pengguna media sosial untuk gaya berpakaian kelompok anak muda yang kerap nongkrong di kawasan Dukuh Atas, Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kelompok ini pun awalnya hanya anak-anak muda dari sejumlah daerah pinggiran Jakarta yang menyukai ruang terbuka publik berlatar gedung-gedung pencakar langit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kini kawasan yang mendapat julukan baru SCBD atau Sudirman, Citayam, Bojonggede, dan Depok—pelesetan Sudirman Central Business District—tersebut benar-benar menjadi sebuah area catwalk fashion street bagi anak-anak muda dengan pelbagai gaya dan kostum.
Tempo memotret fenomena yang berdenyut di kawasan itu dan mencoba menyusuri latar belakang anak-anak muda yang menjadi cikal bakal tumbuhnya subkultur Citayam Fashion Week tersebut.
•••
RATUSAN orang terus memadati trotoar dan taman di sepanjang Jalan Tanjung Karang, Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat, saban petang dan malam selama dua pekan terakhir. Kawasan pembangunan berbasis transit Dukuh Atas tersebut kini lebih dikenal dengan nama SCBD—singkatan dari Sudirman, Citayam, Bojonggede, dan Depok—pelesetan dari kawasan Sudirman Central Business District.
Jumlah pengunjung kawasan itu menjadi berlipat ganda pada akhir pekan. Seperti pada Ahad, 17 Juli lalu, sejumlah kelompok anak muda berpakaian nyentrik dan para pembuat konten media sosial (content creator) berkumpul dalam kegiatan bernama Citayam Fashion Week. Mereka mengubah sebuah zebra cross yang menghubungkan pintu masuk stasiun kereta mass rapid transit (MRT) Dukuh Atas dengan kedai kopi Janji Jiwa sebagai ajang titian model atau catwalk jalanan.
Sejak pemerintah daerah DKI Jakarta membangun beberapa ruang interaksi publik di Dukuh Atas, kawasan itu makin ramai dipadati para pengunjung, terutama anak-anak muda. Akses perlintasan kendaraan bermotor menuju terowongan Kendal ditutup dan menjadi jalur khusus pejalan kaki. Terowongan di bawah Jalan Jenderal Sudirman itu dihiasi grafiti besar dan lampu warna-warni pada kedua temboknya.
Area itu pun dikembangkan menjadi lokasi sajian kuliner bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. PT MRT Jakarta kemudian membangun taman yang juga berfungsi sebagai akses keluar-masuk menuju Stasiun Dukuh Atas. Trotoar di sepanjang Jalan Tanjung Karang dilebarkan.
Kawasan ini juga sangat mudah dijangkau masyarakat dari dalam dan luar Jakarta. Selain kereta MRT, jalan di area ini menjadi akses bagi pejalan kaki menuju stasiun kereta rel listrik (KRL) commuter line Sudirman dan Stasiun Kereta Bandara BNI City Dukuh Atas. Pengunjung juga bisa menggunakan sarana transportasi bus Transjakarta melalui Halte Tosari yang berjarak kurang dari 200 meter.
Citayam Fashion Week sendiri awalnya adalah sebutan yang diberikan oleh para pembuat konten dan pengguna media sosial terhadap gaya berpakaian anak-anak muda yang kerap nongkrong di kawasan Dukuh Atas. Konten video dan foto kreasi mereka kemudian viral dan menjadi perbincangan sejak awal Juli lalu. Subkultur ini juga mendapat respons positif dan menjelma menjadi komunitas dengan pengaruh yang besar.
Beberapa nama pun lalu muncul menjadi ikon kelompok SCBD ini. Sebut saja pasangan pertama kelompok ini yang menjadi perhatian, yaitu pemuda asal Bojonggede, Bogor, Jawa Barat, Eka Satria Saputra alias Bonge; dan pemudi asal Citayam, Bogor, Siti Yayaroh alias Kurma. Lalu, Jasmine Laticia alias Jeje yang namanya kemudian terkenal. Ketiga remaja ini masih berusia 16 dan 17 tahun.
“Awalnya memang nongkrong dan adu outfit saja,” kata Rahman alias Oman, 16 tahun, salah satu anggota komunitas SCBD dari Tanah Abang, Jakarta Pusat, saat ditemui Tempo di kawasan Dukuh Atas, Ahad, 17 Juli lalu.
•••
Tempo menelusuri anak-anak muda yang menjadi cikal bakal komunitas SCBD tersebut. Bagaimana kelompok ini kemudian melahirkan subkultur baru dan memancing minat generasi yang sama dari berbagai daerah. Salah satu kelompok awal SCBD adalah para pengamen Cibinong dan Bojonggede—kelompok awal tokoh Bonge sebelum bergaul ke Sudirman, Jakarta.
Tempo menyusuri belasan rumah kontrakan tiga petak yang berada di belakang deretan kios sepanjang Jalan KSR Dadi Kusmayadi, Sukahati, Cibinong, Bogor, Kamis, 21 Juli lalu. Tempo menuju kediaman salah satu anggota komunitas SCBD bernama Muhammad Bayu, 16 tahun, yang nongkrong di kawasan Sudirman sejak pertengahan 2020.
Muhammad Bayu bersiap-siap menuju kawasan Dukuh Atas, Sudirman dari kediamannya di Cibinong, Bogor, Jawa Barat, 20 Juli 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis
Rumah Bayu berada paling ujung utara di deretan rumah kontrakan tersebut. Pagi itu, pintu rumah tersebut sudah terbuka separuh. Di ruang depan, seorang pria tampak terbaring lemas di atas kasur tipis. Dia adalah Hasan, 48 tahun, orang tua Bayu yang didiagnosis mengidap salah satu penyakit paru-paru serius sejak sembilan bulan lalu.
Dengan suara parau, dia berteriak membangunkan Bayu yang masih tertidur di ruangan bagian tengah. Menurut Hasan, anaknya memang selalu bangun sekitar pukul 11. Hal ini disebabkan Bayu kerap mengamen dengan memainkan kesenian tradisional reog Ponorogo di persimpangan jalan raya hingga dinihari.
Bayu biasanya mulai mengamen dengan memakai pakaian warok, riasan bedak tebal, dan membawa pecut panjang. Dia kemudian menari dan membunyikan pecut dengan keras saat lampu rambu lalu lintas menyala merah. Rata-rata, dia bisa mendapat uang Rp 70-100 ribu per harinya. Separuh pendapatannya itu dia berikan kepada keluarga yang saat ini bertumpu pada ibunya yang bekerja sebagai penyeduh kopi dan minuman sachet.
Anak ketiga dari lima bersaudara itu sudah meninggalkan bangku sekolah sejak kelas II sekolah dasar. Dia kemudian lebih banyak menghabiskan waktu di jalanan untuk mendapatkan uang jajan dan membantu ekonomi orang tua.
Muhammad Bayu di kediamannya kawasan Cibinong, Bogor, Jawa Barat, 21 Juli 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis
Siang itu, setelah mandi, Bayu langsung memakai celana putih berbahan denim tanpa merek yang dibelinya dengan harga Rp 200 ribu dari sebuah toko pakaian di Bojonggede. Dia kemudian menutup kaus oblong putihnya dengan rompi atau vest berbahan kain warna abu-abu abalone. Dia juga memakai sepatu karet yang mirip produk merek Converse warna hitam. Keduanya dibeli dari lokapasar dengan harga Rp 60-70 ribu.
Dia juga mengenakan satu aksesori wajib yang menjadi ciri khas komunitas SCBD dari Citayam dan Bojonggede, yaitu syal bandana atau headband bermotif batik. Biasanya mereka mengikatkan kain tersebut pada lutut, paha, lengan, leher, ataupun kepala.
“Saya sudah mengeluarkan Rp 600-800 ribu untuk beli pakaian ke Sudirman. Ini belinya tak bersamaan, tapi satu-satu karena harus nabung dulu,” tutur Bayu.
Bayu kemudian memasang earphone pada kedua telinganya setelah pamit kepada orang tuanya. Dia pun harus naik mikrolet dengan nomor 77 dan 05 untuk menuju Stasiun KRL Bojonggede. Titik keberangkatan inilah yang menjadi identitas bersama anak-anak SCBD dari Bojonggede, Cibinong, dan daerah Bogor lain. Mereka biasanya berangkat menuju kawasan Sudirman sekitar pukul 14.
Muhammad Bayu di kawasan Dukuh Atas, Sudirman, Jakarta, 21 Juli 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis
Menurut Bayu, sejumlah anggota komunitas SCBD dari Bojonggede dan Cibinong adalah pengamen jalanan. Mereka mulai datang ke kawasan Sudirman sejak pandemi Covid-19 tengah melanda pada pertengahan 2020. Saat itu, kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat membuat pendapatan mengamen di daerah mereka turun tajam. Mereka pun mengadu nasib dan peruntungan dengan mengamen di Ibu Kota.
Kelompok pengamen ini kemudian turun di Stasiun Sudirman dan mulai bernyanyi keliling perumahan, perkantoran, dan ruang publik Jakarta. Meski sepi, setiap anak bisa mengantongi hampir Rp 50 ribu per hari. Saat menjelang pulang, mereka biasanya nongkrong sambil mengobrol di trotoar dan taman dekat pintu Stasiun MRT Dukuh Atas. Saat itu, mereka mengamen dari pagi hingga selepas magrib.
“Dulu kami cuma pakai kaus dan sendal jepit. Buat apa gaya, kan, mau ngamen,” ucap Langit Ferdian, 14 tahun, anggota komunitas SCBD dari Bojonggede.
Menurut Langit, teman-temanya mulai berhenti mengamen di kawasan Sudirman sekitar tiga bulan lalu. Mereka menilai kawasan Dukuh Atas telah menjadi tempat bergaul sehingga mereka butuh pakaian keren. Sejak saat itu, mereka pun mulai menyisihkan uang penghasilan mengamen untuk membeli pakaian baru atau bekas. Selain toko online, mereka biasa menggunakan forum jual-beli di media sosial seperti Facebook untuk mendapatkan busana murah. “Sepatu saya ada tiga, celana dua, juga baju dan jaket ada beberapa. Harganya ratusan ribu rupiah. Ada sepatu AirJordan (imitasi),” ujarnya.
Langit sendiri mengaku malu untuk kembali mengamen di kawasan Sudirman karena sudah ramai. Dia dan teman-temannya datang ke SCBD memang karena ingin tampil mempesona. Bahkan trik ini digunakan untuk mendapatkan pasangan atau kekasih baru. “Pede (percaya diri), lah. Kan, sudah keren,” katanya.
Anggota komunitas SCBD lain yang juga sudah cukup lama bergabung adalah Salwa Nabila, 15 tahun, asal Cikarang, Jawa Barat. Anak perempuan yang berhenti dari pendidikan formalnya ini sengaja datang bersama beberapa temannya ke kawasan Sudirman untuk bergaul. Dia mengaku sudah mendapat izin dari orang tuanya dengan syarat bisa menjaga diri dan tak melakukan tindak kriminal.
Awalnya, tutur Salwa, dia hanya mengobrol dan menghabiskan waktu hingga petang atau malam. Dia juga hanya mengenakan pakaian yang memang koleksi pribadi di lemari dan jarang digunakan. Belakangan, sejumlah kreator konten dan pengunjung Citayam Fashion Week memintanya menjadi model. Hal ini pula yang membuat dirinya kemudian membangun citra diri di media sosial pribadi sebagai model fashion street Sudirman.
Di Cikarang, menurut Salwa, boleh dibilang tak ada ruang terbuka publik yang cukup menarik bagi kelompok anak muda. Mereka pun tak keberatan harus menempuh perjalanan panjang menuju kawasan Sudirman. “Nongkrong di sini juga murah. Cukup bawa Rp 10-20 ribu bisa beli minum starling (starbucks keliling) dan makan,” kata Salwa.
Gaya para remaja saat berada di kawasan Dukuh Atas, Sudirman, Jakarta, 17 Juli 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis
Beberapa anak muda yang juga menjadi generasi awal komunitas SCBD berasal dari Ciledug, Tangerang, Banten. Mereka menjadi salah satu kelompok yang tak menggunakan sarana transportasi umum KRL untuk mencapai kawasan Sudirman. Anak-anak usia sekolah itu biasanya menggunakan bus Transjakarta dari Halte CBD Ciledug ke Halte Tosari.
“Kami sering kehabisan bus karena selesai terlalu malam. Jadinya numpang tidur di pojok hingga pagi. Sekitar pukul 8 baru balik ke Ciledug,” kata Alan Ardi Fadilah, 14 tahun, salah satu anggota komunitas.
Menurut Alan, sebenarnya Ciledug memiliki sejumlah ruang terbuka publik yang menjadi lokasi berkumpul anak muda. Tapi lokasi tersebut sangat sempit dan kurang menarik. Anak yang mengaku pelajar di salah satu sekolah menengah pertama negeri ini menilai kawasan Sudirman adalah latar yang bagus untuk mengambil foto atau video.
Sejak sering datang ke kawasan Sudirman, Alan mengatakan harus menyisihkan uang jajannya untuk membeli outfit yang diinginkan. Seperti anggota lain, dia pun ingin mendapat label “tampan” karena mengenakan pakaian yang keren dan trendi.
Saat ditemui, Alan sendiri menggunakan outer warna hitam yang dipadukan dengan celana berbahan beludru dan sepatu karet hitam. Busananya ini senilai Rp 200 ribu. “Kalau hari biasa (bukan akhir pekan), berangkat dari Ciledug ketika pulang sekolah,” ujarnya.
•••
Keberadaan komunitas SCBD dan kegiatan Citayam Fashion Week kemudian memicu sejumlah kelompok anak remaja, sebagai pengguna aktif media sosial, bergabung dengan komunitas ini. Mereka berasal dari daerah di dalam dan luar wilayah Jakarta. Mereka pun datang dengan dandanan dan busana yang nyentrik agar dapat membaur. Partisipasi dalam kegiatan Citayam Fashion Week kemudian menjadi salah satu identitas yang ingin mereka miliki.
Salah satu kelompok itu adalah lima anak perempuan asal Kampung Lanai, Kalijaya, Cikarang Barat, Jawa Barat. Mereka naik KRL dan datang ke Jakarta untuk pertama kali pada Sabtu, 16 Juli lalu. Anak-anak muda berusia 14-17 tahun ini mengatakan senang berada di kawasan yang tengah populer di platform TikTok, Instagram, dan YouTube tersebut.
Mereka pun tak canggung dan ragu saat sejumlah kreator konten meminta wawancara dan foto mereka. “Kami berangkat pukul 1 siang dari Cikarang. Nanti pulang sehabis magrib dan sampai rumah sekitar pukul 9 malam,” kata Kiki Haryanti, 14 tahun, salah satu anggota kelompok tersebut.
Mereka mengatakan akan menjadikan perjalanan dan kegiatan di SCBD sebagai rutinitas harian. Hal ini termasuk menyiapkan sejumlah pakaian berbeda tiap hari sepanjang pekan untuk ambil bagian dalam Citayam Fashion Week. Berdasarkan pengamatan Tempo, meski sederhana dan kurang berpengalaman, mereka merias wajah atau berdandan untuk berada di kawasan SCBD.
Tren ini pun kemudian memancing minat anak muda dari beberapa daerah lain di Jakarta. Salah satunya adalah Dendi Rivaldi, 15 tahun, yang datang bersama dengan tiga sepupunya yang berusia 11-16 tahun dari Pondok Kopi, Jakarta Timur. Mereka tetap ingin bergabung meski di dekat rumah mereka ada ruang terbuka publik besar seperti kawasan Kanal Banjir Timur yang juga cukup ramai. “Ke sini juga ingin ketemu Jeje dan Bonge,” ucapnya.
Gaya para remaja pria saat berada di kawasan Dukuh Atas, Sudirman, Jakarta, 17 Juli 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis
Beberapa orang juga memanfaatkan kemunculan subkultur ini untuk menampilkan ekspresi dirinya. Mereka kerap mengalami kesulitan menemukan wadah atau sarana untuk menggunakan riasan dan pakaian sesuai dengan keinginan karena terjegal stereotipe dan standar umum masyarakat. Di SCBD, mereka justru mengeluarkan semua koleksi pakaian dan aksesori yang selama ini hanya tersimpan di lemari.
Salah satunya adalah Aditya Rafael, 19 tahun, yang sudah membawa dua-empat koleksi baju nyentrik-nya setiap berkunjung ke Citayam Fashion Week. Pria yang berdomisili di Jakarta Pusat ini mengatakan hanya bisa memakai baju favoritnya untuk pergi ke mal atau bioskop. Padahal ia sangat ingin menampilkan identitas aslinya di muka umum atau ruang publik yang lebih luas. “Saya jadi bisa speak up tentang gaya penampilan saya yang sesungguhnya. Sekarang jadi berani memperlihatkan ke semua orang,” katanya.
Saat ditemui Tempo, Aditya mengenakan kemeja berbahan renda transparan yang ditutup jaket berbahan bulu warna hitam. Dia juga membawa quilted bag hitam yang dipakai menyilang pada tubuhnya. Busana ini dilengkapi celana bahan warna hitam dengan potongan ketat dan sepatu pantofel hitam mengkilat. Dia juga memakai anting pada kedua telinga dan kalung berbentuk mutiara. “Banyak orang mungkin menilai ini fashion aneh karena nabrak-nabrak. Tapi jenis seperti ini memang ada dan ini bentuk ekspresi,” ujarnya.
Citayam Fashion Week memang menjadi magnet kuat yang menarik banyak pihak untuk datang dan terlibat. Selain kreator konten media sosial, sejumlah tokoh nasional dan pesohor telah menjajal aspal catwalk di SCBD. Beberapa di antaranya adalah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bersama pejabat Bank Investasi Eropa; dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Sejumlah selebritas yang juga memanfaatkan fenomena ini antara lain model kembar Valerie Krasnadewi dan Veronika Krasnasari serta pasangan artis Baim Wong dan Paula Verhoeven.
Bahkan, belakangan, sejumlah kreator konten fashion beauty di Tiktok secara bergantian ikut memeriahkan Citayam Fashion Week setiap hari. Beberapa di antaranya adalah @tamardai, @bondspayable, @kathkathh_, dan @nikycu. Citayam Fashion Week pun kian tak terbendung.
M.A. MURTADHO (BOGOR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo