Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIDAK seperti hari-hari sebelumnya, pekan lalu kantor Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) ditelan kesibukan. Di depan komputer, sebagian besar karyawan tampak sibuk memasukkan data. Ada pula pekerja yang mondar-mandir mengusung perkakas. Maklum, baru satu setengah bulan kantor yang terletak di Jalan Gerbang Pemuda 3, Jakarta Pusat, itu ditempati. Masih banyak peralatan yang harus dilengkapi. Di tengah kegaduhan itu, kelihatan Jusuf Syakir yang sibuk pula melayani kuli tinta. "Saya pusing juga," kata ketua komisi itu. "Banyak pekerjaan menumpuk, banyak wartawan yang bertanya terus."
Komisi yang dibentuk tahun lalu itu kini memang tengah menjadi sorotan. Beranggotakan 35 orang, lembaga pencegah korupsi itu mulai menampakkan hasilnya. Daftar harta sebagian pejabat telah dimaklumatkan lewat lembaran negara. Ada 47 nama yang hartanya sudah dibeberkan, 34 di antaranya adalah para pengurus komisi itu sendiri. Data yang disajikan dipilah menjadi tiga: harta tak bergerak, harta bergerak, surat berharga, dan giro. Tanah, rumah, dan kapal laut termasuk harta tak bergerak. Harta bergerak meliputi alat transportasi semacam mobil, logam mulia, barang seni, dan sebagainya.
Dan inilah yang membuat pengumuman itu bergaung keras. Dalam daftar itu terdapat nama Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Sukarnoputri. Total harta Abdurrahman "cuma" Rp 3,4 miliar. Yang menarik, sebagian besar kekayaan mantan Ketua Umum PBNU itu, sebanyak Rp 1,7 miliar, berupa hibah yang diperolehnya pada 1999-2000, ketika ia sudah menjadi presiden. Megawati lain lagi. Dari Rp 59,8 miliar total hartanya, separuh lebih berasal dari delapan pompa bensin miliknya. Dan dari daftar sementara itu, kekayaan Megawati yang terbesar.
Kendati pemimpin nasional telah memberi contoh, bukan berarti para pejabat penting langsung berlomba menyetor laporan. Dari daftar sementara itu, tak satu pun nama menteri yang muncul. Kalangan legislatif dan yudikatif pun baru satu-dua yang nongol. Padahal, mereka sudah lama dikirimi formulir. Para anggota DPR, misalnya, sudah diberi formulir sejak 6 Maret lalu. Sesuai dengan peraturan pemerintah, seharusnya isian itu harus dikembalikan dalam waktu 14 hari. Tapi komisi memberi kelonggaran sampai 30 hari. Toh, sampai awal April lalu, mereka belum siap juga. Ketua DPR Akbar Tandjung dan Ketua MPR Amien Rais saja baru pekan lalu mengembalikan formulir itu. Semuanya kini sudah disebar sekitar 7.000 formulir, tapi yang dikembalikan baru 300-an.
Sebagian pejabat atau wakil rakyat belum terbiasa mendata hartanya sendiri. Mereka mengalami kesulitan mengisi blangko setebal 30 halaman yang memuat banyak rincian, termasuk jumlah penghasilan dan pengeluaran. Apalagi, harus pula dilampiri dengan bukti kepemilikan. Untuk rekening, mereka juga harus memberikan surat kuasa kepada komisi untuk bisa mengeceknya ke bank. "Sebetulnya, ketika menjadi calon legislatif, kami juga sudah dimintai daftar kekayaan, tapi tidak sedetail sekarang ini," ujar seorang anggota DPR yang terpaksa meminta bantuan teman-temannya untuk memberesi "PR" itu.
Beberapa anggota DPRD DKI Jakarta tidak bersedia mengisi formulir karena menganggap para wakil rakyat tidak perlu melaporkan hartanya seperti para pejabat. Ini agak mengada-ada. Soalnya, istilah yang dipakai dalam Undang-Undang Antikorupsi, Kolusi, dan Nepotisme (UU No. 28/1999) bukanlah pejabat, tapi penyelenggara negara. Tercakup di dalamnya kalangan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan para pejabat lain yang fungsinya bertalian dengan penyelenggaraan negara.
Bukan cuma kurang berhasil memaksa para pejabat mengembalikan formulir dengan cepat, komisi yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 65/1999 itu juga dinilai kurang jeli. Menurut Teten Masduki, Koordinator Indonesian Corruption Watch, seharusnya komisi itu membeberkan data yang lebih terperinci, termasuk penghasilan, pengeluaran, dan asal-muasal harta. Taruhlah soal kekayaan Megawati. Di situ tidak disebutkan secara detail berapa pendapatan dari delapan pompa bensin yang dimilikinya. Pendeknya, kata Teten, "Laporan itu tidak bisa menggambarkan apakah kekayaan itu diperolah secara sah atau hasil korupsi."
Chairul Imam, Wakil Ketua Komisi, mengakui tidak semua data dari formulir yang telah diisi dibeberkan di lembaran negara. Untuk menghemat biaya percetakan, data itu disajikan secara ringkas dan padat. Bahkan ada beberapa hal yang sengaja disamarkan, seperti jumlah uang tunai dan rekening bank yang dimiliki. Menurut mantan Kepala Humas Kejaksaan Agung itu, pengungkapan jumlah uang tunai secara jelas dikhawatirkan bakal membahayakan si pejabat.
Lagi pula, kata Chairul, yang membawahi sub-komisi yudikatif, tujuan dari pelaporan kekayaan itu lebih sebagai upaya untuk mencegah korupsi. Semua data dalam formulir berikut bukti-bukti kepemilikan akan disimpan sebagai dokumen negara. Kelak, apabila ada indikasi pejabat tersebut melakukan pratek korupsi, data itu bisa dipakai sebagai bukti di pengadilan.
Bila ada kejanggalan, sekarang pun masyarakat bisa mengirim pengaduan di komisi tersebut lewat Kotak Pos 1000 Jakarta Pusat. Atas dasar pengaduan ini, menurut Jusuf Syakir, pihaknya akan memeriksa lagi harta si petinggi. Kalau terbukti tidak memberikan laporan yang benar, ia harus rela diberhentikan dari jabatan. Aturan ini tertera jelas dalam formulir yang dibagi.
Yang juga disayangkan, mengapa baru sekarang pembeberan kekayaan petinggi itu dilakukan. Padahal, Undang-Undang Antikorupsi telah diluncurkan pada 19 Mei 1999, di era Presiden B.J. Habibie, dan berlaku enam bulan kemudian. Di situ ditegaskan, paling lambat enam bulan setelah undang-undang berlakuberarti 19 Mei 2000para petinggi sudah harus melaporkan kekayaaannya. Nyatanya, baru setahun kemudian pengungkapan harta pejabat dilakukan. Bagi Amir Hamzah, Koordinator Dewan Pakar Jakarta Governance Watch, langkah itu sangat terlambat. "Bisa saja mereka sudah menyembunyikan kekayaannya."
Yang membuat telat adalah penyusunan angota KPKPN. Mereka baru dilantik pada Januari lalu. Dalam waktu yang singkat, mereka harus menyiapkan rancangan formulir, standar pemeriksaan, tata tertib, dan juga kode etik komisi. Kini, dengan staf dan perlengkapan minim, mereka juga harus mengejar "setoran". Targetnya, 50 ribu formulir akan dibagikan untuk para petinggi di pusat dan daerah.
Kendati agak terseok-seok, bagaimanapun itu merupakan awal yang bagus untuk memerangi korupsi. Yang lebih penting, kini para petinggi di negeri ini mulai diarahkan untuk memasuki budaya baru: membeberkan harta mereka di depan publik.
Dulu, di era Orde Baru, hal itu cuma menjadi angan-angan. Yang pernah melontarkan gagasan tersebut adalah Siswono Yudhohusodo, yang saat itu menjadi Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan. Tapi cepat sekali usul tersebut redup karena banyak pejabat yang tidak setuju. Alasannya, sesuai dengan Keppres No. 52/1970, para pejabat sudah melaporkan kekayaannya ke atasannya. Malah, pejabat eselon II ke atas harus melaporkan ke Presiden. Sayangnya, laporan itu cuma disimpan di laci, tak pernah diumumkan ke masyarakat. Pejabat yang semakin kaya lewat korupsi pun hanya atasan yang tahu. Celakanya, si atasan juga melakukan hal yang sama. Budaya tahu sama tahu akhirnya membuat korupsi kian merajalela. Hasilnya, berbagai survei membuktikan: Indonesia selalu masuk peringkat atas sebagai negara yang paling korup di dunia.
Di tengah belantara korupsi, kesibukan di kantor komisi itu boleh jadi hanya upaya kecil. Tapi langkah itu akan besar artinya bila diikuti dengan gebrakan yang lain. Misalnya, pemberlakukan undang-undang pembuktian terbalik. Sehingga, para koruptor semakin gampang dijerat. Pembeberan harta petinggi itu juga akan efektif menangkal korupsi bila para anggota komisi sendiri tidak tergoda untuk berkolusi. Kalau sebaliknya yang terjadi, gebrakan itu akan dianggap sekadar basa-basi.
Gendur Sudarsono, Levi Silalahi, Rian Suryalibrata
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo