Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENYEMBUNYIKAN harta adalah keahlian lama para pejabat. Kini, mereka dituntut membukanya ke muka publik. Dan jika ketahuan tak jujur melaporkannya, itu bisa jadi soal serius. Persoalan itulah yang kini menggayut setelah Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara mengumumkan daftar harta 47 pejabat, pekan lalu. Pada Tambahan Berita Negara RI No. 31 tertanggal 17 April, tercantum antara lain laporan Presiden Abdurrahman dan Wakil Presiden Megawati serta suaminya, Taufik Kiemas. Abdurrahman melaporkan memiliki kekayaan senilai Rp 3,5 miliar dan US$ 458. Sedangkan Mega dan Taufik sebesar Rp 59,8 miliar (lihat tabel).
Ketidakbenaran data laporan punya konsekuensi berat. Selain bisa diancam dengan tindak pidana penipuan, juga bisa berbuntut pemecatan. Setiap pelapor meneken pernyataan di atas meterai. Bila di kemudian hari terbukti ada kekayaan yang sengaja disembunyikan, yang bersangkutan menyatakan rela diberhentikan. Di banyak negara, soal ini amat dipentingkan. Di Thailand, misalnya, menjelang pemilu Desember lalu, kans Perdana Menteri Thaksin Shinawatra nyaris kandas. Badan antikorupsi setempat menuduh Thaksin menyembunyikan kekayaannya cuma karena taipan telekomunikasi itu tidak melaporkan kepemilikan sahamnya senilai 100 ribu baht (sekitar Rp 20 juta dengan kurs saat itu).
Formulir Presiden Abdurrahman pun kini menuai banyak pertanyaan. Sorotan pertama menyangkut laporannya tentang logam mulia, batu mulia, barang seni dan antik, yang didapat dari hibah. Nilainya Rp 1,7 miliar, atau nyaris setengah dari total kekayaan. Yang jadi persoalan, hibah itu dilaporkan terjadi pada 1999-2000, kurun waktu setelah ia menjadi presiden. Adakah konflik kepentingan di baliknya? "Saya hanya bisa menjawab, hibah itu kan memang didapat ketika Gus Dur jadi presiden," kata Muchayat, Ketua Sub-Komisi Eksekutif Komisi.
Yang juga jadi tanda tanya publik adalah status rumah di Jalan Irian 7, yang terletak di kawasan elite Jakarta, Menteng. Dalam laporan, rumah ini tak dicantumkan. Presiden hanya melaporkan kepemilikannya atas tanah dan bangunan seluas 3.293 dan 800 meter persegi di Jakarta Selatan senilai Rp 658 juta, yang dimilikinya sejak 1992.
Alamat ini mendadak kondang setelah Abdurrahman menjadi presiden. Di situlah ia kerap menerima sejumlah tamu penting dan mengadakan pertemuan khusus. Penjelasan resmi menyatakan rumah itu milik Haji Masnuh, seorang sahabat yang juga luas dikenal menjadi "bendahara pribadi" Presiden.
Tapi, seorang seteru politik Presiden meyakini rumah di Jalan Irian itu sejatinya memang milik Abdurrahman. Selain itu, masih ada dua rumah lainjuga di Jalan Irianyang dibeli Abdurrahman awal tahun ini. Yang satu bekas kantor money changer, yang lain milik tokoh organisasi pemuda kondang. Harganya masing-masing sekitar Rp 5 miliar. Sumber itu menyangsikan bahwa Masnuh pemiliknya. "Saya tahu persis kondisi keuangannya. Dua minggu setelah Gus Dur jadi presiden, ia masih sibuk cari pinjaman," katanya.
Kabar yang santer beredar, rumah itu merupakan hadiah dari seorang konglomerat bermasalah yang dikenal punya hubungan sangat dekat dengan Abdurrahman. Seorang kalangan dekat Presiden juga mengungkap informasi menarik. Masnuh pernah bercerita kepadanya bahwa rumah itu memang bukan miliknya, juga bukan dibeli Presiden.
Ketua Komisi Pemeriksa Kekayaan, Jusuf Syakir, menyatakan ia juga mendengar kabar itu. Tapi pihaknya belum menemukan indikasi apa pun yang menyatakan bahwa si empunya rumah adalah Abdurrahman sendiri. "Kalau cuma katanya, kan sulit. Bisa saja milik Haji Masnuh. Yang jelas, Gus Dur menganggap itu bukan miliknya," kata Jusuf Syakir.
Kabar itu juga dibantah Masnuh. "Rumah tersebut bukan merupakan pemberian dari siapa pun, melainkan saya beli sendiri," katanya dalam jawaban tertulis kepada TEMPO. Juru bicara kepresidenan, Adhie Massardi, juga menyatakan tak ada harta Abdurrahman yang tak dilaporkan. "Semua sudah ditulis, tak ada harta lain," tuturnya. Tapi, menyangkut harta hibah dan rumah di Jalan Irian, Adhie menolak memberi penjelasan. Sangkalan juga datang dari Sekretaris Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa, Arifin Junaidi. "Dari mana Gus Dur bisa beli rumah di Menteng seluas itu, harganya kan miliaran," katanya. Menurut dia, rumah itu semata-mata dipinjami seseorang. Siapa persisnya, ia mengaku tak jelas.
Menurut Heri, warga yang telah puluhan tahun tinggal di Jalan Irian, rumah istimewa itu dulu hanya sebuah bangunan tua yang digunakan sebagai kantor sebuah perusahaan perkebunan swasta. Sekitar lima tahun lalu, rumah itu dibongkar dan direnovasi. Tapi, Heri memastikan bukan Masnuh yang membangunnya. "Pak Masnuh tidak membangun sendiri. Sepertinya ketika dibeli sudah begitu," katanya. Menurut ketua rukun tetangga setempat, Irwan Darmawan, dari data administrasi yang ada, Masnuh terdaftar sebagai penghuni rumah Jalan Irian 7. Ia tercatat sebagai warga di sini sejak sekitar dua tahun lalu. "Tapi siapa pemilik sebenarnya, saya tidak tahu," katanya.
Pertanyaan lain mengenai laporan Presiden menyangkut surat berharga miliknya, yang dicatatkan cuma senilai Rp 2,5 juta. Semasa menjadi Ketua PBNU, Abdurrahman tercatat pernah menjadi komisaris utama kelompok usaha Harawi Sekawan. Abdurrahman menguasai 48 persen saham, keluarga Soeryadjaya (melalui Edward) 30 persen, dan sisanya oleh Mustafa Zuhad Mughni, sobat kental sekaligus tangan kanan Abdurrahman dalam soal bisnis. Pada 1998, Harawi sempat membuat geger ketika membeli 25,7 juta lembar saham (19,98 persen) Bank Papan Sejahtera senilai Rp 30 miliar, sebelum dilikuidasi tak lama kemudian.
Menurut Edward, setelah Abdurrahman menjadi presiden, semua sahamnya di Harawi telah dilepas dan dihibahkan ke NU. Hal serupa dikatakan Sholahudin Wahid, adik Abdurrahman. Setahu Sholahudin, keterlibatan kakaknya di sektor bisnis, "Sebatas dijadikan payung. Jadi, kalau punya saham dalam jumlah besar, saya yakin tidak punya."
Daftar harta Mega dan Taufik pun tak luput dari pertanyaan. Banyak yang bertanya-tanya kenapa mobil mewah Volkswagen (VW) biru tua, yang kerap dikendarai sendiri oleh Mega, tak ikut dicatatkan. "Saya sendiri tidak mengerti, padahal itu pernah dicoba dan setiap kali dipakainya," kata Muchayat.
Dalam laporan, mereka cuma mencatatkan 22 mobil dan sepeda motor senilai Rp 1,5 miliar lebih. VW tipe 2001 New Beetle senilai Rp 450 juta itu tak ada di dalamnya. Menurut seorang sumber TEMPO, mobil berpelat nomor M 3 GAmenyerupai ejaan nama Megaitu memang tidak tercatat atas nama Mega. Soalnya, kendaraan luks mungil itu hadiah dari seorang pemilik perusahaan sekuritas papan atas kepada salah satu anggota keluarga Mega.
Yang lain, menyangkut bisnis keluarga itu. Dalam laporan, Mega-Taufik mencatatkan 8 unit pompa bensin yang diperoleh selama 1982-1998 dengan total nilai jual Rp 31 miliar. Juga ada surat berharga senilai Rp 737 juta pada tahun investasi 1979. Sorotan terarah ke Taufik, yang kerap digunjingkan punya kedekatan dengan sejumlah taipan. Meski lalu dibantah, Taufik, misalnya, pernah ramai diberitakan sempat ditawari menjadi komisaris Texmaco, dan ada dugaan keterlibatannya dalam sejumlah bisnis berskala besar. Sayang, permohonan konfirmasi ke kantor Wapres tak beroleh jawaban. Taufik pun tak bisa dihubungi.
Soal hibah juga banyak tertera dalam laporan pejabat lain, di luar Presiden dan Wapres. Wakil Ketua MPR dari Fraksi TNI/Polri, Letjen Hari Sabarno, misalnya, mencatatkan pernah mendapat hibah tanah dan bangunan seluas 3.000 meter persegi lebih di Bogor dan Depok dengan total nilai jual obyek pajak senilai Rp 143 juta. Juga logam mulia, batu mulia, barang seni dan antik senilai Rp 6 juta. Hibah serupa juga tercantum dalam formulir sejumlah pejabat lainnya.
Supaya tak lantas menebar fitnah, Koordinator Indonesian Corruption Watch, Teten Masduki, mendesak supaya Komisi Pemeriksa Kekayaan mengungkap asal-muasal hibah. Khususnya, apakah pemberian itu berbau konflik kepentingan atau tidak. Juga perlu dibuat peraturan yang secara tegas memagari pemberian hibah atau hadiah kepada seorang pejabat negara. Soalnya, di republik ini, perbedaan antara hibah dan suap terkadang cuma setipis rambut.
Karaniya Dharmasaputra, Adi Prasetya, Dewi R. Cahyani, Rian Suryalibrata, Levi Silalahi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo