Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Lapis demi Lapis Kisah Toraja

Toraja lebih dari sekadar kuburan di gunung batu dan selebrasi kematian. Ada labirin kisah yang penuh warna di sana. Tentang alam yang indah, potensi yang belum tergali, stratifikasi masyarakat yang memutar roda kehidupan, juga tentang kegelisahan menjaga ritual budaya.

Wartawan Tempo Mardiyah Chamim menjelajahi Tana Toraja selama sepuluh hari; menengok desa perajin kain tenun dan sarong (topi anyaman bambu), juga mengikuti rangkaian ritual rambu solok (pesta duka) pemakaman. Berikut ini tulisan Mardiyah Chamim yang diperkaya dengan foto-foto Risang Yuwono, fotografer lepas asal Yogyakarta, yang intensif menjelajah selama empat tahun terakhir.

25 Juli 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TORAJA, Sulawesi Selatan. Inilah tempat para dewa zaman lampau, konon, menurunkan raja-raja di kawasan timur Nusantara. Tempat kematian, mayat dan kuburan di gunung batu, menjadi suguhan magis dan eksotis bagi turis. Tempat studi tentang maut menjadi magnet antropolog dari segala penjuru jagat.

Akhir Juni lalu, diundang Danny Parura dan istrinya, Dinny Jusuf (pendiri Toraja Melo, produk fashion berbasis budaya Toraja), saya melancong ke sana. Sepuluh jam perjalanan darat dari Makassar, saya menjumpai Toraja yang penuh warna. Bentang alam indah lagi gagah, naik-turun gunung berbatu, hutan bambu, sawah berundak, dan kampung-kampung yang hanya bisa dijangkau dengan menunggang kuda. Toraja bukan sekadar ritual pemakaman.

Saya teringat Kathleen Adams, antropolog dari Loyola University of Chicago, Amerika Serikat. Dalam bukunya, Art as Politics, dia menulis sepotong pesan dari anak muda di Rantepao, ibu kota Kabupaten Toraja. ”Jangan hanya menulis Toraja yang ber-make up tebal. Tulislah Toraja yang punya sisi baik, buruk, dan mungkin memalukan—seperti pergulatan sistem kasta di sini,” begitu pesannya. Ada lapis demi lapis subtil dalam kisah Toraja, yang kadang tak secantik alamnya.

Sepuluh hari kami menjelajahi Toraja. Terlalu singkat memang untuk menangkap lapis demi lapis versi Nona Adams. Perbincangan dengan berbagai kalangan, antara lain dengan Risang Yuwono, fotografer lepas, yang sejak 2007 menjelajahi Toraja, turut memperkaya perspektif.

Lapisan yang paling sering disorot adalah kemegahan rambu solok (pesta duka) pemakaman. Eksotisme rambu solok ini mengenalkan saya pada lapisan lain, yakni tarik-ulur budaya dan tuntutan perubahan zaman. Ongkos ritual kematian yang luar biasa mahal dan kegelisahan sistem kasta adalah dua topik yang menonjol. Kasta di sini memang tidak sekaku dalam Hindu Bali. ”Tidak terkatakan, tapi hadirnya terasa,” kata Dinny Jusuf, mantan bankir di bank swasta Jakarta, yang lebih banyak tinggal di Toraja.

Dinny mengajak kami ke kompleks tongkonan (rumah adat) Talunglipu, Rantepao, yang didominasi warna merah dan hitam. Seluruh dinding kayu rumah adat ini diukir dengan motif kerbau, ayam jago, padi, besi, dan berbagai simbol keseharian dan kesejahteraan Toraja.

Pekan itu tongkonan Talunglipu sedang berseri-seri. Frederik Batong, pengusaha ternama yang dikenal dekat dengan Tommy Soeharto, menggelar upacara pemakaman ibunya, Maria Kassa’ Baranoan Batong, 75 tahun.

Tujuh hari tujuh malam, tiga ribu orang hilir-mudik di tongkonan. Pada ritual puncak, misalnya arak-arakan jenazah dan adu kerbau (tedong pasilagan), pengunjung bisa sampai sepuluh ribu orang.

Walhasil, tercipta festival supermeriah. Para bangsawan (puang) sesepuh adat duduk di deretan lumbung padi, areal terhormat yang paling dekat dengan pelataran upacara. Kerabat keluarga menempati puluhan bilik bambu (lantang) yang dibagi berdasar marga. ”Urutan kedekatan kerabat tak boleh tertukar,” kata Aras Parura, 46 tahun, adik ipar Fred Batong, yang juga panitia upacara.

Saban kali ada upacara besar, 500 ribu penduduk Toraja dan 1,5 juta orang Toraja yang tersebar di seluruh dunia seolah ikut bergetar. ”Kami semua rindu pulang,” kata Eddy Parura, adik Aras, pegawai negeri di Pemerintah DKI Jakarta.

Menantu, paman, sepupu, keponakan jauh dan dekat, cucu, dari segala penjuru berkumpul dalam acara rambu solok dan rambu tuka’ (pesta suka, syukuran). ”Ini reuni besar yang tak ternilai,” kata Mama Danny Parura, ibunda Danny-Aras-Eddy.

”Silakan menginap di lantang kami,” kata Mama Danny. Tawaran yang segera kami sambut. Lantang keluarga Parura cukup strategis, dengan jarak pandang leluasa menyapu seluruh kompleks tongkonan. Kami pun blusukan, mencoba menyesap nuansa lapis demi lapis Toraja.

Dalam acara sebesar ini, logistik adalah tantangan tersendiri. Setiap lantang dilengkapi dapur yang dikelola setiap keluarga. Lalu, ada dapur umum yang memastikan ribuan tamu di luar lantang selalu kenyang. Masakan daging kerbau, babi papyong (potongan daging babi dibumbui, dimasukkan ke bambu, lalu dibakar), ikan bakar, kue, kopi Toraja yang kemebul harum, rokok, mengalir tanpa henti. ”Semua adalah tamu kami. Tak boleh ada yang kelaparan di sini,” kata Fred Batong, tuan rumah.

Memastikan ribuan tamu merasa nyaman bukan soal gampang. Ratusan orang terlibat dalam rantai pendukung ritual rambu solok. Kasta hamba, tana’ kua-kua, adalah tulang punggung kegiatan. Mereka memasak di dapur, menggotong ratusan babi, mengarak tandu peti jenazah, menjaga ketersediaan air, juga melantunkan ma’badong atau nyanyian kematian pada malam hari.

Mengapa tana’ kua-kua berada di garis belakang? Nenek Jo yang saya jumpai di dapur umum menjawab, ”Itu memang tugas kamilah.” Jawaban senada saya dapat dari Fred Batong, ”Ah, sederhana saja itu. Semua orang ada fungsinya. Seperti atap dan tiang rumah, sama pentingnya kan?”

Lalu, tibalah hari penerimaan tamu, sebuah hari yang penting. Seluruh kerabat berbaris dan menyerahkan hewan persembahan untuk keluarga yang berduka. Kerbau (tedong) dan babi ada di barisan depan, sebagai pengantar delegasi. Ini bukan persembahan gratis. Hewan yang setara harus dikembalikan ke si pemberi, kelak jika keluarga si pemberi menggelar upacara pemakaman.

Selepas itu, delegasi utama memasuki pelataran upacara. Didahului pembawa pusaka keluarga, masuklah rombongan bangsawan tinggi dan menengah. Puang perempuan bertopi anyaman bambu atau sarong yang anggun. Kalung manik-manik khas Toraja menghiasi leher mereka. Menyusul kemudian adalah barisan bangsawan lelaki bersarung tenun. Paling buntut adalah kasta hamba. Mereka berdiri melingkari pelataran upacara, saling menautkan jari kelingking, menyanyi, dan menari mengiringi proses penerimaan persembahan.

Ritual kolosal ini pastilah menuntut biaya supermahal. Minimal ada 50 ekor kerbau persembahan di sini, rentang harganya Rp 40 juta hingga 300 juta per ekor. Tak kurang dari 500 babi dikorbankan, harganya Rp 3 juta sampai Rp 7 juta per ekor. Entah berapa miliar rupiah lagi yang dikeluarkan keluarga Batong untuk pembangunan bilik dan konsumsi ribuan tamu.

Fred Batong tak mau mengungkap berapa persisnya biaya itu. Dia hanya menegaskan, ”Tak apa. Tak ada sejarah orang jadi miskin lantaran bikin rambu solok. Ini bagian dari kewajiban saya.”

”Ah, ini pertanyaan khas orang kota,” begitu tanggapan Mama Danny Papura. ”Kalian orang kota juga punya gaya hidup mahal yang kami tidak mengerti,” kata perempuan 70 tahun yang masih energetik ini. ”Kalian beli mobil mewah, tas kulit mahal, untuk dinikmati sendiri, kan?” Berbeda dengan rambu solok, katanya, ”Mahal tapi dinikmati ribuan orang.”

Papa Randana, 70 tahun, memberi catatan. Tetua adat Sa’dan To’barano ini mengingatkan, dulu para sesepuh aluk to dolo (agama leluhur) membatasi maksimum hewan persembahan adalah 24 ekor kerbau. Batas maksimum boleh dilampaui jika almarhum adalah bangsawan yang dianggap berperan sebagai to’ parenge atau ”dia yang memikul”, yang menjaga kesejahteraan kaumnya.

Zaman berubah. ”Jumlah 24 kerbau itu menjadi batas minimum, paling sedikit,” katanya. Hal ini dirasa kian memberatkan dan mulai tidak realistis.

Reformasi adat pun mulai disuarakan beberapa kalangan, terutama dari kubu Gereja. ”Tapi ini bukan hal mudah,” kata Papa Randana. Ada 12 komunitas adat yang setara di Toraja. ”Tak ada hierarki pengambilan keputusan yang ditaati bersama,” katanya, ”Saya lebih suka membiarkan reformasi berlangsung alami.”

Jonathan L. Parapak, tokoh Toraja yang kini menjabat Rektor Universitas Pelita Harapan, Karawaci, Banten, bersuara senada. ”Saya termasuk yang berkampanye tentang perlunya reformasi budaya,” kata mantan petinggi Indosat ini.

Rambu solok, menurut Parapak, belakangan lebih sering diwarnai keinginan menjaga gengsi. Puluhan miliar rupiah melayang hanya dalam sekali ritual. ”Uang ’terbang’ ini mestinya bisa lebih produktif memajukan Toraja,” kata Parapak.

Pada 2006, ibunda Parapak meninggal. Sebagai pejabat tinggi badan usaha milik negara yang kinclong, orang berharap keluarga Parapak menggelar rambu solok super. ”Tapi kami ’hanya’ mempersembahkan 12 kerbau,” katanya. Tak semua disembelih. Ada yang disumbangkan untuk pembangunan jalan, saluran air, dan infrastruktur desa lainnya. ”Ada yang protes, tapi banyak yang setuju,” katanya.

Biaya hidup yang kian mahal mendorong orang bersikap realistis. Kebutuhan mereformasi rambu solok makin terasa. ”Ambil inti yang baik-baik. Menjalin silaturahmi, kekerabatan, dan solidaritas,” kata Parapak. Upaya ini perlu diikuti dengan prioritas pendidikan di Toraja. Dengan pendidikan, dalam tempo 30 tahun, Parapak yakin ritual rambu solok bakal berubah. ”Lebih realistis tapi tidak meninggalkan spirit,” katanya.

Secara otomatis, Parapak melanjutkan, pendidikan akan melunakkan stratifikasi kasta. Mereka yang berpendidikan bisa mencapai kesejahteraan lebih baik. ”Bukan mustahil orang dari kasta rendah membalap kesejahteraan puang,” kata Parapak.

Tentu, ada kegelisahan yang muncul. ”Kalau ritual dipangkas, disederhanakan, identitas Toraja akan terkikis,” kata Aras, ”Turis tak mau lagi jauh-jauh datang ke sini.”

Kerisauan Aras beralasan. Budaya yang kuat, terwujud dalam berbagai lapis kehidupan, adalah penentu karakter sebuah bangsa. ”Jika terkikis, namanya bukan Toraja lagi, dong,” kata Aras sambil melanjutkan, ”Mungkin yang dibutuhkan adalah memberi nyawa baru bagi ritual adat.” Turis mancanegara memang kerap mengeluhkan acara yang terkesan artifisial dan lebih seperti festival modern. ”Kami ingin yang lebih asli,” kata Jeannette, gadis belia dari Prancis.

Rambu solok yang lebih sederhana, hangat, tanpa polesan sejatinya justru menyuguhkan suasana magis. ”Upacara seperti ini bisa dijumpai di pelosok kampung, di atas gunung,” kata Danny Parura. Di sana, to’ mina, dukun ritual, mendaras mantra asli aluk to dolo. Warga desa berbincang hangat, bukan sekadar mengharap pembagian daging kerbau dan babi. Mereka syahdu melantunkan ma’badong. Kain-kain tenun berusia ratusan tahun turut membawa aura magis naik ke udara.

”Yang asli seperti itu memang sudah semakin jarang,” kata Danny. Seperti halnya wilayah mana pun di dunia, Toraja terus berproses. ”Tarik-ulur budaya dan tuntutan perubahan zaman selalu terjadi,” kata Danny. Lapis demi lapis kisah Toraja akan selalu ada, dengan berbagai variasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus