Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NENEK Johanna baru 50-an tahun. Dia punya sebelas anak. ”Enam meninggal sewaktu mereka masih kecil. Cucu saya sudah banyak sekali, ha-ha-ha…,” kata penduduk Batutumonga, Toraja, ini. Saban pagi Nenek Johanna mencari daun ubi jalar. ”Nanti diiris, direbus, dicampur dedak,” katanya, ”buat makan babi.”
Babi peliharaan Nenek Johanna ada empat ekor. ”Lumayan buat tabungan,” katanya. Setiap ekor babi berharga Rp 3-7 juta, tergantung ukuran. ”Babi itu kami sayang,” katanya. ”Bukan berarti si babi dicium mesra, lho. Itu kan untuk suami, ha-ha-ha….”
Lalu, apa sarapan anak dan cucu? ”Indomie saja,” kata Nenek Jo. Hidupnya memang berat, tapi tawanya renyah berderai.
Nenek Jo mewakili kisah perjuangan hidup perempuan Toraja. Kondisi medan yang susah, jalanan berbatu, jurang, dan hutan lebat. Rumah sakit terdekat ada di Rantepao, dua jam perjalanan dengan angkutan umum, yang kedatangannya tak tentu. Pelayanan kesehatan jarang menjangkau desa-desa yang jauh, apalagi yang harus ditempuh dengan 3-4 jam berkuda.
Kisah Nenek Johanna inilah yang menyentuh Dinny Jusuf. Perempuan 55 tahun perintis Suara Ibu Peduli, kelompok ibu-ibu marginal di Jakarta, ini tergerak berbuat sesuatu.
Sejak menikah dengan Danny Parura, Dinny mondar-mandir Jakarta-Toraja. ”Saya jatuh cinta pada Toraja,” kata perempuan kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah, ini. Pasangan ini membangun rumah asri di atas bebatuan Batutumonga, di hadapan Gunung Sese’an, gunung keramat di Toraja.
Di tengah kabut yang hampir selalu menyelimuti Batutumonga, Dinny membulatkan tekad. ”Saya ingin membawa kisah survival perempuan Toraja,” katanya.
Survei digelar. Dinny keluar-masuk kampung, berjumpa dengan banyak perempuan penenun. Sayang, peralatan tenun sudah lama disimpan di lemari. Pio sungki, tenun khusus untuk ritual, sudah jarang digunakan. Kalah dilibas kain dan baju produk Cina.
”Insting saya langsung bilang, ayo, mari hidupkan kembali tenun Toraja,” kata Dinny. Lahir dari keluarga yang cinta pada batik, Dinny selalu terpikat pada kain tradisional. ”Saya selalu ingat harum kain batik di lemari nenek,” kata ibu dua anak ini.
Pertengahan 2008, Dinny mendirikan Toraja Melo atau Toraja Cantik. Awalnya, Dinny tak tahu persis bagaimana perusahaan akan bergulir. ”Yang penting bergerak dulu,” katanya.
Bersama Erni, sepupu suaminya, Dinny keluar-masuk kampung di Sa’dan To’barana. Mereka mencari perempuan yang mau kembali menenun. ”Kami harus menjemput ke kampung-kampung. Jalan kaki berjam-jam,” kata Dinny.
Erni berkisah, para penenun umumnya berkasta rendah, tana’ kua-kua. Sedangkan klan Parura tergolong bangsawan tinggi. Walhasil, para penenun tak berani datang ke rumah Dinny biarpun pintu terbuka luas. ”Akhirnya, kami yang berjalan kaki ke kampung-kampung,” tutur Erni.
Sebuah perjalanan yang tak mudah. Para penenun kebanyakan sudah sepuh. ”Beberapa ada yang buta warna. Banyak pesanan yang meleset warnanya,” kata Erni. Ada pula penenun yang menolak membuatkan kain tenun merah marun. ”Kata dia, lebih baik merah terang. He-he-he…, repot kan,” ujarnya.
Tenggat produksi pun tak mungkin dipasang kaku. ”Soalnya, mereka sibuk dengan upacara, kasih makan babi, masak, mengurus anak dan suami, atau ke kebun kopi,” kata Erni.
Kini keadaan lebih baik. Setiap kali Pasar Bolu, lima hari sekali, ada saja penenun yang datang ke rumah Erni, di tepi Sungai Sa’dan. Mereka menyerahkan hasil tenunan untuk dibawa ke Jakarta dan dirancang menjadi produk fashion Toraja Melo.
Sedikit banyak, gebrakan Toraja Melo mengubah sikap orang lokal. Tadinya, warga lokal ogah melirik tenun. ”Sekarang, untuk keperluan upacara, orang sudah mulai mencari tenun Toraja,” kata Erni. Roda mulai bergulir.
Pada Mei 2011, produk Toraja Melo mendapat panggung dalam acara Jakarta Fashion and Food Festival di Kelapa Gading, Jakarta. Tema survival perempuan Toraja dikemas Dina Midiani, perancang busana, bersenyawa dengan survival perempuan kota besar. ”Ternyata sambutan publik cukup antusias,” kata Dina.
Juni lalu, Dinny menunjukkan album foto produk Toraja Melo kepada ibu-ibu penenun di Sa’dan. ”Wah..., bagus sekali? Cantik sekali,” kata Mama Hermina, seorang penenun. Katanya lagi sambil tersenyum lebar, ”Ah, saya jadi bersemangat.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo