Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Latah Kembali ke Khitah

Sejumlah kiai Nahdlatul Ulama menuduh Ma’ruf Amin melanggar aturan organisasi. Sebagian pendukung Prabowo-Sandiaga.

2 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ABSEN dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di Kota Banjar, Jawa Barat, pekan lalu, Agus Solachul A’am Wahib Wahab mengaku sibuk mengurus persiapan acara NU yang lain. Cucu pendiri NU, Kiai Wahab Hasbullah, itu menjadi Ketua Panitia Penyelenggara Komite Khittah NU yang akan menggelar halakah di Pesantren Al-Qutub Kajembaran Rahmaniyah di Bandung pada Rabu pekan ini. “Ini diskusi yang keenam,” ujar Gus A’am—sapaannya—Jumat pekan lalu.

Menurut Gus A’am, diskusi sengaja digelar empat hari setelah acara di Kota Banjar untuk meluruskan jika ada keputusan musyawarah yang tak sesuai dengan khitah NU, yakni sebagai gerakan sosial keagamaan. Ia menuduh musyawarah yang diselenggarakan sejak Rabu hingga Jumat pekan lalu itu sarat kepentingan politik. “Sejak awal, pengurus NU telah dikendalikan partai politik,” katanya. “Halakah Komite Khittah untuk mengingatkan supaya NU kembali ke jati dirinya.”

Komite Khittah NU bukan badan di bawah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Halakah yang diselenggarakan pun tak ada dalam agenda PBNU. Komite ini dibentuk sejumlah kiai keturunan pendiri NU, antara lain Salahuddin Wahid alias Gus Sholah, pada akhir Oktober tahun lalu untuk menyikapi terpilihnya Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden pendamping Joko Widodo.

Dalam lima halakah sebelumnya, yang diadakan sejak Oktober hingga Februari lalu, Komite Khittah selalu mempersoalkan majunya Ma’ruf Amin sebagai pendamping Jokowi. Menurut mereka, Ma’ruf telah melanggar aturan karena menyatakan maju pada saat menjabat Rais Am PBNU. “Beberapa kiai meminta agar Kiai Ma’ruf diberi takzir,” kata Hasib Wahab Hasbullah, Ketua Pembina Komite Khittah.


 

Walau begitu, kata Salahuddin, Komite Khittah yang dia ampu bukan organisasi pendukung Prabowo-Sandiaga. Ia bercerita, sebelum Komite terbentuk pada Oktober tahun lalu, sejumlah kiai, seperti Gus A’am dan Gus Hasib, mendatanginya dan mengajak bergabung ke Komite. Sebelum menerima ajakan, Salahuddin mensyaratkan perkumpulan itu harus netral. “Saya katakan, kalau ini untuk mendukung Prabowo, saya enggak mau gabung. Kami mengkritik PBNU yang enggak netral, masak kami juga enggak netral? Sama saja bohong,” tuturnya.

 


 

Menurut pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas di Jombang, Jawa Timur, ini, dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga NU ada aturan bahwa seorang rais am dilarang merangkap jabatan politik. “Selain itu, seharusnya ada musyawarah dulu, tapi ini enggak ada,” ujar Gus Hasib—panggilannya—yang juga cucu Kiai Wahab Hasbullah. Juru bicara Komite Khittah NU, Choirul Anam, mendorong agar digelar muktamar luar biasa. “Pelanggaran berat AD/ART harus diselesaikan dengan muktamar luar biasa,” ujar Cak Anam—sapaannya.

Salah seorang Ketua PBNU, Marsudi Syuhud, mengatakan tak ada yang salah ketika Kiai Ma’ruf maju menjadi calon wakil presiden. Menurut Marsudi, Kiai Ma’ruf sebagai warga sipil memiliki hak politik dan berhak menggunakannya. Selain itu, Ma’ruf tak merangkap jabatan. “Kiai Ma’ruf kan juga langsung melepas jabatannya sebagai rais am,” tutur pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar di Kota Banjar ini.

Tim Jokowi-Ma’ruf menyebut tuduhan Komite Khittah terhadap Ma’ruf Amin dilatari motif politik. Menurut anggota Dewan Penasihat Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf, Muhammad Romahurmuziy, Komite Khittah ditunggangi kubu pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. “Itu kan ulama NU yang tidak mau NU dibawa ke politik praktis, tapi kemudian mereka ditunggangi kekuatan pro-02,” ujar Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan tersebut.

Sebagian aktivis Komite Khittah memang terang-terangan mengaku sebagai pendukung Prabowo-Sandiaga. Misalnya Gus Hasib, Gus A’am, dan Cak Anam. Mereka mendeklarasikan Barisan Kiai dan Santri Nahdliyin Pendukung Prabowo-Sandiaga pada akhir Oktober tahun lalu di Surabaya. Lewat mereka, kubu Prabowo menggalang dukungan dari warga nahdliyin di Jawa Timur—kantong terbesar NU.

Komite Khittah sebenarnya tak terbentuk begitu saja. Kelahiran gerakan ini tak lepas dari persaingan dalam Muktamar Nahdlatul Ulama ke-33 di Jombang pada 2015. Dalam muktamar tersebut, Said Aqil Siroj awalnya bersaing dengan Salahuddin Wahid untuk memperebutkan kursi Ketua Umum PBNU. Di tengah jalan, Gus Sholah membatalkan niatnya karena menganggap pemilihan ahlul halli wal aqdi untuk memilih rais am menerabas prosedur. Dalam sistem ini, muktamirin memilih sembilan kiai sepuh yang kemudian berembuk memutuskan rais am yang baru.

Setelah muktamar, Salahuddin dan sejumlah kiai yang kemudian membentuk Komite Khittah menjaga jarak dengan kepengurusan Said Aqil. Beberapa di antaranya mendeklarasikan dukungan kepada Prabowo-Sandiaga setelah Ma’ruf Amin maju sebagai calon presiden yang direstui Said Aqil.

Salahuddin menyatakan tak mendukung Jokowi ataupun Prabowo. “Saya netral,” ujar adik Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini. Tapi dia mengatakan sebagian besar kiai yang mendorong gerakan kembali ke khitah memang pendukung pasangan Prabowo-Sandiaga.

Konferensi pers Barisan Kiai dan Santri Nahdliyin Pendukung Prabowo-Sandiaga di Roemah Djoeang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Desember 2018.

Walau begitu, kata Salahuddin, Komite Khittah yang dia ampu bukan organisasi pendukung Prabowo-Sandiaga. Ia bercerita, sebelum Komite terbentuk pada Oktober tahun lalu, sejumlah kiai, seperti Gus A’am dan Gus Hasib, mendatanginya dan mengajak bergabung ke Komite. Sebelum menerima ajakan, Salahuddin mensyaratkan perkumpulan itu harus netral. “Saya katakan, kalau ini untuk mendukung Prabowo, saya enggak mau gabung. Kami mengkritik PBNU yang enggak netral, masak kami juga enggak netral? Sama saja bohong,” tuturnya.

Menurut pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang itu, NU terbawa arus politik. Indikasinya, ada pengurus NU yang berasal dari Partai Kebangkitan Bangsa. Salahuddin juga membantah anggapan bahwa pembentukan Komite Khittah merupakan buntut dari Muktamar Jombang. “Tidak ada hubungannya dengan muktamar. Kalau disebut sakit hati, saya tidak sakit hati,” kata cucu Kiai Hasyim Asy’ari tersebut.

Walau sebagian aktivisnya adalah pendukung Prabowo-Sandiaga, juru bicara Badan Pemenangan Prabowo-Sandiaga, Andre Rosiade, mengklaim kubunya tak terkait dengan gerakan khitah. Namun tim pemenangan merangkul ulama untuk mendekati pemilih, seperti Gus Hasib dan Cak Anam. “Prabowo langsung yang meminta saya bergabung,” ujar Gus Hasib.

Sekretaris PBNU Helmy Faishal Zaini mengatakan NU tetap memainkan perannya dalam gerakan sosial keagamaan untuk melayani umat dan tak bermain politik praktis. “Kami tidak masuk ke situ,” ujar Helmy. Menanggapi penolakan sejumlah tokoh NU terhadap Ma’ruf Amin, Ketua PBNU Said Aqil Siroj menyebutkan setiap orang berhak mengekspresikan sikap politiknya. “Politik itu untuk urusan duniawi,” katanya.

DEVY ERNIS, KUKUH S. WIBOWO (SURABAYA), HARI TRI (KEDIRI), PRAMONO, RAYMUNDUS RIKANG

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Devy Ernis

Devy Ernis

Bergabung dengan Tempo sejak April 2014, kini staf redaksi di Desk Nasional majalah Tempo. Memimpin proyek edisi khusus perempuan berjudul "Momen Eureka! Perempuan Penemu" yang meraih penghargaan Piala Presiden 2019 dan bagian dari tim penulis artikel "Hanya Api Semata Api" yang memenangi Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020. Alumni Sastra Indonesia Universitas Padjajaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus