Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aburizal Bakrie gemar menyitir sebuah pemeo lama akhir-akhir ini: bad publicity is publicity—pemberitaan seburuk apa pun tetaplah publikasi. Itu bukan berarti Ketua Umum Golkar ini naif belaka akan kekuatan media membentuk citra. Ical, begitu dia disebut, gencar memasang reklame diri di sejumlah media miliknya. Giat berkeliling Indonesia, pria 67 tahun ini rajin membuat berita. Pertanyaan wartawan disahutnya dengan murah hati—ahwal yang hampir mustahil kita temukan saat dia menjadi menteri Kabinet Indonesia Bersatu empat tahun silam. Aneka siasat politik juga dia lancarkan. Seluruh aktivitas ini praktis menjadi agenda harian Aburizal, seiring dengan mendekatnya pemilihan presiden, Juli tahun depan.
Popularitasnya masih terpaut jauh dibanding politikus lain, seperti Gubernur Jakarta Joko Widodo dan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto. Ical lantas menyewa lembaga survei yang mengeluarkan nama Jokowi dan Prabowo dari sigi politik—dengan alasan mereka "tidak eligible". Hasilnya? Tentu saja Aburizal menempati posisi atas.
Di dalam Partai Beringin, Aburizal harus menghadapi faksi-faksi yang menggugat pencalonannya. Rintangan terakhir yang harus dia tempuh sebelum pemilihan tahun depan adalah rapat pimpinan nasional. Digelar di Jakarta akhir pekan lalu, pada hajatan partai itulah penetapan Aburizal sebagai kandidat presiden bisa dipersoalkan.
Tatkala berkunjung ke Tempo—dengan mengajak hampir semua pengurus inti Partai Golkar—pada 8 November lalu, Aburizal membahas antara lain ihwal itu. Kata dia, "Konflik Golkar hanya ada di media massa." Dalam pertemuan satu setengah jam bersama anggota redaksi, dia memaparkan strateginya. Ical menegaskan dia dan keluarganya tak bersalah dalam bencana lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur, akibat pengeboran oleh PT Lapindo Brantas miliknya. Begitu pula tentang tuduhan penggelapan pajak oleh sejumlah perusahaan keluarganya. Dua persoalan ini diperkirakan akan menipiskan peluang sang Ketua Umum dalam pemilihan presiden.
Wawancara Tempo dengan Aburizal kemudian dilanjutkan di Elite Club, Epicentrum, Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa pagi pekan lalu. Epicentrum merupakan blok kawasan bisnis milik Grup Bakrie. Perbincangan dilakukan setelah Aburizal bermain tenis satu set. Ia berpasangan dengan Hadiman, juara Asian Games 1978 dan 1982, melawan Rizal Mallarangeng, orang dekatnya, yang berduet dengan Januar Mangitung, mantan pemain nasional.
Elektabilitas Anda kok masih rendah….
Ini kan semifinal. Masih ada delapan bulan. Ingat Hillary Clinton dalam konvensi Partai Demokrat di Amerika Serikat 2008? Sebelum Iowa, pemilihan tinggal sebulan, dia unggul 23 persen atas Obama. Kenyataannya, Obama kemudian unggul. Dalam politik, 23 persen tidak jadi soal, apalagi masih delapan bulan. Jadi, kerjakan apa yang bisa dikerjakan. Saya kira strategi kami sudah cukup baik.
Apa strategi menghadapi lawan yang media darling?
Pada 2009, media darling-nya Pak Jusuf Kalla. Tapi, dalam pemilu, SBY menang 61 persen. Jadi, tidak usah khawatir. Yang kami lakukan meluncur ke daerah-daerah. Dalam dua minggu keliling, yang hadir 1.000-5.000 orang. Yang penting itu ditaruh di media. Sepuluh orang juga oke kalau masuk media.
Anda mengatur hasil survei ?
Kalau kita mengatur, hasilnya tidak riil. Buat apa?
Bukankah Jokowi dan Prabowo dikeluarkan dari survei lembaga yang Anda sewa?
Bukan begitu. Kan, ada elektabilitas, ada eligibilitas. Kami mau realistis. Jangan lihat survei yang enggak realistis. Orang boleh punya elektabilitas tinggi, tapi tidak eligible.
Itu strategi Golkar?
Saya serahkan pada lembaga itu, juga pada yang lain-lain mau bikin apa, silakan. Yang saya minta adalah seluruh angkanya realistis.
Itu bukan politisasi survei?
Enggak ada unsur politik. Mereka kami suruh bikin. Nah, saya melihat apa yang dikatakan itu realistis. Kadang-kadang kita tidak realistis, apa yang kita mau kita anggap benar. Padahal apa yang kita mau belum tentu bisa. Jadi sekarang bikin yang bisa saja. Begitu.
Siapa pesaing paling kuat menurut Anda?
Ibu Megawati. Dia punya grassroots yang riil.
Bagaimana dengan Jokowi?
Kalau Jokowi punya kendaraan, dia amat populer. Masalahnya, apakah Ibu Mega akan memberikannya kepada Jokowi? Belum tahu kita.
Untuk menghambat Jokowi, menurut Anda, apakah cukup dengan mendekati Megawati?
Tidak harus begitu. Dalam memutuskan sesuatu, saya kira Ibu Mega tidak bisa dipengaruhi orang lain. Dia menentukan apa yang dia pikir baik untuknya.
Benarkah strategi Golkar adalah membuat Megawati tidak mencalonkan Jokowi?
Enggak. Golkar selalu ingin menyatukan ide dan gagasan menjadi instrumen politik.
Ada yang bilang, kalau Jokowi mendapat restu Mega dan maju, kandidat lain terancam….
ARB (Aburizal Bakrie) enggak pernah seperti itu. Sekali maju, pantang surut.
Kok, menggunakan media Anda untuk kampanye?
Biasa saja. Di Amerika, CNN dipakai Demokrat. Lalu Fox untuk Republik. Frekuensinya kan bayar. Mana ada frekuensi enggak bayar?
Frekuensi publik semestinya tidak digunakan untuk kepentingan pemiliknya.
Lho, kami sudah sewa frekuensi. Ini seperti hak guna usaha sebuah mal. Pemiliknya bisa melakukan segala macam di situ. Soal iklan di media saya, pertanyaannya: bayar enggak? Bayar.
Ada diskon?
Diskon. Bayarnya cash, tapi diskon.
Berapa diskonnya?
Banyak.
Pajaknya dibayar?
Bayar. TV One bayar pajak, yang masang iklan juga bayar pajak. Yang memasang: Freedom Institute (lembaga pimpinan Rizal Mallarangeng yang didanai Bakrie).
Siapa calon wakil presiden Anda?
Saya sudah berbicara dengan banyak orang mengenai 2014, tapi saya belum tahu. Kita lihat pada April nanti, apakah kami bisa mendapat 20 persen. Kalau tidak, kan kami mesti bergabung dengan orang lain. Kalau koalisi, penentuan calon wakil presiden merupakan hal penting.
Kira-kira akan ada berapa pasang calon presiden-wakil presiden?
Dua atau tiga pasang. Bisa satu putaran.
Siapa saja?
Yang bisa mencapai angka 20 persen ya gabungan Partai Golkar, gabungan PDI Perjuangan, dan gabungan Demokrat atau Gerindra. Kalau salah satu bergabung, berarti cuma dua pasang.
Apa mungkin Anda berpasangan dengan Jokowi atau Prabowo?
Mungkin saja. Masalahnya, dua-duanya ingin menjadi presiden.
Anda mau menjadi wakil presidennya Jokowi?
Kalau jadi wapres, enggak usah sekarang, dulu saja.
Anda selalu dikaitkan dengan penggelapan pajak dan Lapindo. Ada komentar?
Pernah enggak terbukti tentang pajak? Dalam politik, itu biasa. Benar bisa salah, salah bisa benar. Kalau bicara Lapindo, paling gampang kami tinggalin saja, bangkrutin, selesai. Kan, ada Undang-Undang Perseroan Terbatas. Apalagi Mahkamah Agung sudah memutuskan kami tidak bersalah. Dengan Rp 9 triliun (yang diklaim sudah dikeluarkan keluarga Bakrie untuk korban lumpur Lapindo), sudah bisa untuk tiga kali jadi presiden.
Kenapa Anda mau melakukannya?
Saya tidak tahu apakah Anda percaya atau tidak: itu perintah ibu saya. Waktu itu kami mau fight karena kami enggak salah. Ibu saya bilang begini: "Rezeki kamu banyak sekali, coba bantulah orang-orang itu." Buat keluarga kami, perintah ibu itu titah yang harus dilaksanakan, meskipun nilainya Rp 9 triliun.
Apakah kasus Lapindo mengganggu pencalonan Anda?
Tidak, itu tidak menjadi isu. Di Jawa Timur, elektabilitas tertinggi saya di Sidoarjo.
Apakah Ibu yang meminta Anda mencalonkan diri menjadi presiden?
Beliau menanyakan apa mau saya. Saya bilang, berapa banyak orang yang diberi kesempatan dan pengalaman seperti saya. Tetap sehat di umur segini, apakah saya menimang cucu saja atau berusaha menjadi pemimpin negara agar lebih sejahtera? Ibu saya mengatakan, "Baik." Tapi dia bilang, "Saya tidak tahan lihat kamu dihajar-hajar." Pada 2011, secara aklamasi, Golkar meminta saya sebagai calon presiden, saya tolak. Maret tahun berikutnya, ibu saya meninggal. Juni, saya menerima pencalonan, setelah diminta lagi. Jadi seperti ada yang mengatur. Saya percaya Allah yang mengatur.
Tuhan atau lobi yang berperan ketika Anda hendak mengambil alih saham Newmont di Nusa Tenggara?
Sudah tentu lobi. Kami melobi perusahaan yang bersangkutan.
Juga pemerintah?
Pemerintah mana ada urusan? Mau saham Freeport atau saham KPC, lobi (dilakukan) pada perusahaan yang bersangkutan.
Bukankah Agus Martowardojo digeser dari posisi Menteri Keuangan karena menolak penjualan saham Newmont ke perusahaan Anda?
Dia menteri yang diusulkan ARB, dites oleh ARB. Saya melaporkan ke Presiden bahwa saya suka orang ini.
Apakah belakangan dia menentang Anda?
Tidak. Sering saya ngobrol sama dia. Dia kasih sikap, saya kasih sikap. Saya bilang begini: "Pak Agus, soal Newmont, saya mau saya yang beli, Anda mau pemerintah yang beli. Saya setuju dibeli pemerintah, tapi voting right-nya bersama dengan nasional. Kalau voting right-nya bersama Newmont, saya tidak setuju."
Sebelumnya, Menteri Sri Mulyani yang menentang Anda juga terpental….
Enggak pernah. Tanya SBY, siapa yang mengusulkan Sri Mulyani jadi Menteri Keuangan, ARB! Enggak pernah ada penolakan-penolakan itu. Yang penting bukan orang setuju atau tidak, tapi obyektifnya. Kalau obyektifnya ingin membela asing, tentu saya tidak setuju.
Obyektif Anda apa?
Bagaimana perusahaan nasional mendapat peran. Tiga puluh tahun kita diperas oleh asing, kenapa harus diperpanjang lagi?
Sri Mulyani juga menolak membantu Lapindo dan pembukaan suspend perdagangan saham Bumi Resources milik keluarga Anda di bursa pada 2008?
Nothing to do with that. Lapindo itu, kami enggak salah—dibuktikan oleh Mahkamah Agung. Saya enggak pernah minta pemerintah nalangin. Kami bayar sendiri Rp 9 triliun.
Bukankah Nirwan Bakrie sampai menemui Menteri Keuangan soal suspend?
Ya, memang betul kami minta suspend (perdagangan Bumi) dicabut. Apa dasarnya enggak dicabut? Tidak perlu kita persoalkan Sri Mulyani. Saya enggak pernah dendam.
Anda kecewa?
Tentu pada waktu itu saya kecewa. Mau marah enggak bisa, kuasa juga enggak punya. Kami berusaha sendiri. Lagi-lagi tangan Tuhan lebih kuat daripada manusia.
Apa pertolongan Tuhan kali ini?
Harga sahamnya naik. Bahasa Jawa-nya: Gusti Allah mboten sare… (Tuhan tidak tidur).
Wah, Anda mulai berpepatah Jawa.
Istri saya orang Jawa, dari Pati. Tapi, soal bahasa Jawa, saya lebih pintar daripada dia, ha-ha-ha….
Tampaknya, pengaruh Anda ke Presiden kuat sekali.
Kan, waktu itu saya Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat.
Anda bersahabat dengan Yudhoyono?
Tentu, dong. Tapi beda pendapat enggak apa-apa, kan?
Sepertinya Anda masih ikut mengurus bisnis keluarga, padahal saat ada kasus pajak Anda bilang tak lagi terlibat urusan perusahaan.
Saya enggak ikut lagi dalam bisnis, tapi saya tahu apa yang dilakukan. Pada waktu kasus pajak, tiba-tiba Gayus Tambunan mengatakan di televisi bahwa dia disuruh Denny (Wakil Menteri Hukum Denny Indrayana) keluar dari tahanan untuk dibawa ke Bali, lalu disuruh salaman dengan saya. Reporter sudah disiapkan untuk ke Bali. Waktu itu saya mau nonton pertandingan tenis, Ana Ivanovic. Karena tangan Tuhan bekerja, saya tidak bersalaman dengan Gayus, yang juga menonton tenis.
Itu sebabnya Anda marah sekali kepada Denny?
Iya, saya bilang jangan, dong, jangan main-main seperti itu.
Anda bisa marah juga ternyata?
Marah tapi halus, kayak Soeharto. Dulu sih marahnya Sumatera, sekarang sudah terpengaruh Jawa: lembut tapi menguasai.
Presiden harus orang Jawa, menurut Anda ini mitos?
Mitoslah. Wali Songo orang Jawanya hanya satu, tapi diterima. Itulah keluhuran budi orang Jawa.
Bagaimana soal sipil-militer agar ada unsur "ketegasan"?
Saya sipil, tegas. Menurut saya, sipil, polisi, militer, profesor, wartawan, semua bisa. Ada yang tegas, ada yang mencla-mencle.
Pernah melakukan pembicaraan dengan Pramono Edhie? Kan, dia militer.
Saya berdiskusi soal negara dengan siapa saja, termasuk Chairul Tanjung, Pramono Edhie, Jokowi, juga dengan Presiden.
Kenapa Golkar tidak bikin konvensi lagi?
Karena membikin perpecahan.
Konvensi kan demokratis?
Sekarang apa enggak demokratis: semua pengurus DPD II mengusulkan secara tertulis pakai surat, DPD I mengusulkan di forum. Apa bedanya? Yang memilih kan mereka juga.
Perlukah orang kaya lebih dulu sebelum masuk ke politik?
Menurut orang-orang di bawah, rakyat kebanyakan merasakan, pemimpin yang akan datang harus orang yang berhasil. Kenapa? Karena enggak akan melakukan korupsi. Pada 1973, saat saya mau kawin, ditanya sama mbah istri saya: "Pekerjaannya apa?" Dagang. "Ojo, kuwi maling." Sekarang semua orang, ketika ditanya pingin jadi apa, mereka jawab jadi pengusaha. Ada perubahan mindset luar biasa: pengusaha kini berada di tempat yang sudah baik.
Ada yang bilang Anda memimpin Golkar seperti memimpin perusahaan….
Memimpin organisasi itu di mana pun sama. Dan setiap pemimpin punya style sendiri.
Dalam politik, Anda selalu berhitung secara ekonomi?
Tidak selalu. Kalau politik, instrumennya saja: ada data, ada fakta. Pokoknya, kalau kita punya niat baik, semuanya bisa.
Berapa dana yang Anda siapkan untuk pencalonan?
Enggak usah saya siapin uang, jalan saja. Nasihat saya: jangan pernah menghitung uang di kantong Anda.
Soal bisnis, banyak yang menduga Grup Bakrie akan mati pada 1998. Bagaimana bisa pulih?
Begini, kalau punya kesulitan, cari cara keluar. Pada 1998, saham kami tinggal 2,5 persen, tapi kami bekerja terus. Cari bisnis lain yang belum pernah kami kerjakan. Waktu itu bisnis batu bara. Pada 2008, (kondisi) sudah lebih baik dibanding 1998.
Benarkah Grup Bakrie suka "menggoreng" harga saham di bursa?
Enggak benar. Tidak mungkin kami goreng saham. Kalau kecil, bisa. Tapi, kalau kayak Bumi yang sampai 19,4 miliar saham, bagaimana menggorengnya?
Bagaimana dengan saham Viva milik Anda?
Mana bisa? Belum diapa-apain saja, orang menawar US$ 1,8 miliar. Waktu itu Chairul Tanjung. Untung tidak dijual. Setelah Viva enggak jadi dijual seluruhnya, mau dijual sebagian. Anteve mau dibeli MNC. Saya tidak mau.
Ini yang kami dengar: transaksi batal karena Anda meminta tetap menguasai sampai 2014.
Enggak tahu saya, pokoknya semua enggak jadilah.
Boleh tahu hal agak personal: apakah Anda pernah mengoperasi dagu di Jerman?
Ha-ha-ha..., enggaklah…, dari dulu begini. Kalau operasi, apa dagu gua tetap panjang segini?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo