Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Nyawa Sembilan 'Petarung Jalanan'

Bisnis Bakrie bertahan kendati dirundung timbunan utang dan krisis ekonomi. Jago memainkan persepsi.

25 November 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM dunia bisnis, ada teori kuno yang dicucuh ahli ekonomi Inggris, Joseph Schumpeter: berani optimistis dan manfaatkan duit orang lain. Oleh Aburizal Bakrie, teori itu diterjemahkan dengan mengijonkan aset orang lain untuk mendapatkan duit orang lain lagi. Maka, pada 2003, ia menawar saham PT Kaltim Prima Coal, perusahaan batu bara. Padahal waktu itu duitnya cekak.

Dua tahun sebelumnya, Bakrie & Brothers, induk usaha yang dirintis Ahmad Bakrie pada 1942, baru saja menata ulang aset dan utangnya. Krisis ekonomi 1998 merontokkan unit-unit usaha di grup ini, termasuk Bank Nusa. Dari 58 persen, saham keluarga Bakrie tinggal 2,5 persen. "Keluarga saya ketika itu lebih miskin dari pengemis," ujar Aburizal, 67 tahun, yang kini mencalonkan diri menjadi presiden, Selasa pekan lalu.

Aburizal berani menawar saham Kaltim Prima Coal milik Rio Tinto dan British Petroleum senilai US$ 700 juta atau sekitar Rp 7 triliun. Pengusaha Prabowo Subianto dan Anthoni Salim sebenarnya juga berminat. Tapi mereka mengajukan penawaran melalui saham yang seharusnya menjadi hak pemerintah. Pemerintah pusat dan Provinsi Kalimantan Timur ternyata terus ribut berebut jatah saham.

Rio Tinto tak mau menurunkan harga ke US$ 500 juta seperti tawaran Bakrie. Tak kurang akal, Aburizal dan adik-adiknya menghubungi kontraktor-kontraktor Kaltim Prima. Mereka menawarkan perpanjangan kontrak dengan syarat uang dibayar di muka. Dari para kontraktor, Bakrie mendapat US$ 300 juta. Untuk uang tambahan, ia lari ke Credit Suisse First Boston, bank besar di Singapura.

Bank di dalam negeri, kata Aburizal, tak ada yang mau memberi pinjaman karena menilai keluarganya sudah bangkrut. Tak dinyana, Credit Suisse mau menggelontorkan US$ 413 juta. Jaminannya: aset Kaltim Prima Coal yang belum mereka miliki itu. "Jadilah, dengan modal nol, saya punya perusahaan batu bara besar," ujarnya.

Sejak itu, pundi-pundi keluarga Bakrie menggembung kembali. Tahun 2003 merupakan masa kejayaan batu bara. Kenaikan harga minyak dunia dan keputusan Cina menghentikan ekspor batu hitam untuk memenuhi sumber energi dalam negerinya membuat harga batu bara dunia melonjak dari US$ 25 per ton menjadi US$ 195 per ton.

Oleh Bakrie, KPC ditempatkan di bawah PT Bumi Resources Tbk, yang sahamnya segera diserbu di lantai bursa. Dari Rp 25 per lembar, pada 2008 harganya tembus Rp 8.750. Ketika itu, saham Bumi bahkan disebut "saham sejuta umat" saking larisnya. Ini karena ladang tambang KPC di Sangatta dan Melawan, Kalimantan Timur, menyimpan cadangan 2,7 miliar metrik ton batu bara.

Bonanza itu membuat keluarga Bakrie membeli kembali saham Bakrie & Brothers hingga 40 persen. Oleh majalah Forbes, pada 2007, Aburizal ditempatkan sebagai orang terkaya nomor satu di Indonesia dan nomor empat di Asia Tenggara. Hartanya Rp 12 triliun. "Ini sejarah, ada pengusaha pribumi jadi terkaya di Asia," katanya.

Pada Mei 2006, di ladang pengeboran PT Lapindo Brantas yang sahamnya dimiliki salah satu perusahaan Bakrie, menyembur lumpur tak henti-henti. Sebagian Sidoarjo, Jawa Timur, tenggelam. Penduduk menuntut ganti rugi kepada Bakrie. Akibat semburan lumpur itu, pemerintah keluar duit tak kurang dari Rp 3 triliun untuk mencegah makin meluasnya luapan lumpur.

Aburizal mengklaim kantongnya terkuras Rp 9 triliun dan masih harus menutup kekurangan Rp 800 miliar. Gara-gara Lapindo, posisi Aburizal terlempar dari sepuluh besar orang terkaya. Nirwan Bakrie, adik Aburizal yang mengendalikan bisnis keluarga ini, dalam wawancara pada 2010 mengatakan lumpur Lapindo memukul sangat telak keuangan Bakrie. "Juga isu penggelapan pajak Gayus Tambunan," ujarnya.

Gayus, koruptor pajak, mengaku mendapat suap dari PT Bumi Resources Tbk untuk memanipulasi pajak perusahaan ini. Kepolisian yang menangani perkaranya tak pernah mengusut pengakuan itu. Masalah yang merundung Bakrie bukan hanya itu. Pada 2006, Bakrie Life gagal membayar premi asuransi hingga Rp 360 miliar. Tahun lalu, Bumi Resources rugi US$ 322 juta, disusul perdagangan saham Bakrie Telecom dihentikan sementara oleh otoritas bursa karena utang Rp 650 miliar yang jatuh tempo.

Semua problem itu tak menggoyahkan Bakrie. Pengamat ekonomi Lin Che Wei pernah menyebutkan Bakrie punya nyawa sembilan karena bisnisnya tetap eksis kendati dihajar badai kanan-kiri. Sekarang, ketika Aburizal sudah mantap mencalonkan diri jadi presiden dalam pemilihan 2014, bisnis Bakrie sedang lesu. Krisis di Eropa dan Amerika ikut menghajar unit-unit bisnis Bakrie.

Menurut pengamat pasar modal Yanuar Rizky, jurus bertahan Bakrie dalam bisnis adalah pandai mengelola persepsi. "Meski negatif, nama mereka tetap beredar di pasar," katanya. Ketika bisnisnya lesu, Bakrie tiba-tiba melempar isu akan menjual sahamnya di stasiun televisi ANTV—bagian dari Grup Viva, bersama TV One. Pengusaha Hary Tanoesoedibjo, pemilik Grup MNC, termasuk yang ditawari.

Hary Tanoe bersedia membeli ANTV dengan menyiapkan dana hingga Rp 5 triliun. Calon wakil presiden dari Partai Hanura ini mundur begitu tahu Bakrie menawarkannya ke pengusaha lain. Belakangan, Bakrie melempar kabar tak hanya menjual televisi itu, tapi juga seluruh saham Grup Viva. Nilainya bikin heboh: Rp 18 triliun.

Rupanya, patokan itu muncul setelah Aburizal bertemu dengan pengusaha Chairul Tanjung, pemilik Bank Mega dan TransCorp. Menurut dia, Chairul Tanjung bersedia membeli saham pada angka itu. "Gua punya uang cash US$ 1,8 miliar, nih," kata Aburizal mengklaim menirukan pernyataan Chairul. Tapi Ishadi S.K., orang kepercayaan Chairul, menyangkal kabar bahwa bos Para Group itu pernah mengeluarkan angka untuk Grup Viva. "Pertemuan waktu awal penawaran, angkanya tak sebesar itu," ujarnya.

Baik Viva maupun ANTV pada akhirnya tak jadi dijual. "Begitulah gaya Bakrie," kata Yanuar. Tes pasar untuk mengukur posisi bisnisnya sekaligus untuk menunjukkan ke investor bahwa mereka masih memiliki banyak aset. Itu sebabnya, menurut dia, kendati dirundung masalah yang membuat saham-sahamnya terjun bebas, perusahaannya selalu diminati pemilik modal. "Tak seperti generasi kedua pengusaha lain, keluarga mereka juga akur," ujar Yanuar.

Nathaniel Rothschild, baron Inggris, membenamkan Rp 10 triliun kepada PT Bumi Resources pada 2010 justru ketika keluarga Bakrie diterpa isu penggelapan pajak dan lumpur Lapindo. Dengan uang sebanyak itu, Rothschild pun hanya menjadi pemilik saham minoritas. Kerja sama mereka tak lama. Rothschild memutuskan hengkang lewat drama saling pecat eksekutif perusahaan itu tahun lalu. "Begitulah kalau sesama petarung jalanan bertemu," kata Yanuar.

Bagja Hidayat, Rusman Paraqbueq


Reranting Bisnis

Tahun ini Aburizal Bakrie terlempar dari kelompok 40 besar orang paling kaya di Indonesia. Tapi perusahaannya kian rimbun dari bisnis jalan tol, keuangan, perkebunan, batu bara, hingga industri makanan. Ini hanya yang sudah mencatatkan diri di bursa saja per 30 Juni 2013.

PT Bakri Brother Tbk

PT Bakrie Building Industries
99,99 %

PT Bangun Bentala Indonesia
(99,02%)

PT Bakrie Metal Industries
99,99%

  • PT Bakrie Pipe Industries (99,99%)
  • PT South East Asia Pipe Industries (99,82%)
  • PT Bakrie Construction (90,84%)

    PT Bakrie Tosanjaya (99,99%)

  • PT Braja Mukti Cakra (50%)
  • PT Aneka Banusakti (58%)
  • PT Bisa Usaha Mandiri Mizusawa (99,9%)

    PT Bakrie Communications 99,6%

  • Richweb Investment Ltd (100%)
  • PT Multi Kontrol Nusantara (99,93%)
  • Farina Investments(100%)
  • PT Bakrie Telecom Tbk (2,09%)

    Bakrie International Finance Company BV
    100%

    PT Cimanggis Cibitung Tollways
    15%

    PT Multipangan Selina 99,5%

  • PT Tri Kuncimas Industri (70%)

    PT Agrokom Rekanusa
    98%

    PT Bakrie Harper
    70%

    Bestday Assets Limited
    100%

    Blue Cape BV
    100%

    Infratructure Capital International Ltd.
    100%

    PT Bakrie Steel Industries
    99,9 %

    PT Bakrie Indo Infrastrukture
    99,96%

  • PT Bakrie Gas 99,99%
  • PT Bakrie Gasindo Utama 99,5%
  • PT Bakrie Java Energy 99,99%
  • PT Energas Daya Pratama 99,99%
  • PT Bakrie Power 99,96%
  • PT Sokoria Geothermal Indonesia (53%)
  • PT Bakrie Darmakarya Energi (98%)
  • PT Kalimantan Prima Power (70%)
  • PT Kuala Tanjung Power (99%)
  • PT Bangun Infrastuktur Nusantara 99%
  • PT Bakrie Oil & Gas Infrastructure 99,99%
  • PT Bakrie Telco Infrastructure 99,5%
  • PT Bakrie Toll Indonesia 99,99%
  • PT Bakrie Port Indonesia 99,5%

    Bakrie Fund Pte. Ltd
    100%

    Sebastopol Inc.
    100%

    Bakrie Energy International Pte. Ltd
    100%

    PT Bakrie & Brothers Services
    99,99%

    PT Kreasindo Jaya Utama 99,99%

  • PT Batuta Kimia Perdana (55%)

    PT Petro Strorindo Energi
    51%

    Asia Assets Manager Ltd
    100%

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus