Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Todung Mulya Lubis*)
Kenalkah Anda dengan Gustav Papanek? Ekonom yang sudah jadi profesor emeritus itu dulu sering pulang-balik Amerika Serikat-Indonesia membantu para teknokrat membangun perekonomian negeri ini. Dia sangat akrab dengan banyak ekonom kita. Saya lihat dia dengan tekun mendengarkan ceramah saya tentang korupsi politik di Indonesia sambil menulis di memonya yang kecil. Lalu dia menyampaikan pendapat bahwa pengaruh korupsi memang sangat buruk, dan ia sangat risau. Tapi, kata Papanek, jangan terlalu khawatir pada jumlah uang yang dikorupsi. Jumlah itu besar, tapi tak terlalu besar. Di banyak negara lain, jumlah uang yang dikorupsi jauh lebih besar. Tapi, menurut dia, yang perlu dikhawatirkan adalah dampaknya terhadap sistem perekonomian, integritas demokrasi, dan rule of law. Inilah kerugian terbesar dari korupsi atau korupsi politik.
Saya kira Papanek benar. Namun saya tetap menganggap perlu menyampaikan fakta tentang kerja pemberantasan korupsi sejak perang melawan korupsi secara serius dikumandangkan pada awal reformasi. Soalnya banyak yang kurang puas melihat keberhasilan pemberantasan korupsi karena, kalau dikatakan bahwa korupsi itu sistemik, endemik, dan widespread, seharusnya lebih banyak lagi koruptor yang ditangkap dan dikirim ke penjara. Seharusnya lebih banyak uang rakyat yang dicuri dikembalikan ke kas negara. Tapi, nyatanya, koruptor masih banyak berkeliaran meski nama mereka sudah berulang kali disebut dalam pemeriksaan di pengadilan. Banyak yang tak diperiksa, banyak yang bebas bepergian. Malah ada koruptor yang sudah masuk penjara tapi masih dilantik sebagai pejabat dan mengendalikan pemerintahan dari balik terali besi.
Saya memahami kemarahan banyak orang. Tapi memberantas korupsi yang sudah 32 tahun dan sepertinya sudah jadi "norma" ini bukanlah pekerjaan gampang. Terus terang, buat saya, Komisi Pemberantasan Korupsi sudah menghasilkan prestasi luar biasa. Laporan Tahunan KPK 2012 menyebutkan, sejak 2004, KPK sudah menangani 283 kasus korupsi. Ini berarti orang yang menjadi pesakitan bisa jadi lebih dari 283. Ada menteri, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, gubernur, wali kota, bupati, duta besar, gubernur Bank Indonesia, dan direktur badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah. Siapa berani mengatakan capaian itu tidak luar biasa? Tolong dicatat: belum pernah dalam sejarah Republik ada operasi pemberantasan korupsi yang menjerat orang-orang penting sebanyak ini. This is something unprecedented, kata Papanek. Dan harapan rakyat memang tertumpah pada KPK.
Keberhasilan menangkap, menyidik, menuntut, mengadili, dan menghukum para koruptor itu harus disyukuri walau harus diakui korupsi masih tetap banyak. Buktinya setiap minggu selalu ada koruptor yang ditangkap. Perang melawan korupsi tak membuat nyali mereka ciut. Tak ada efek jera (deterrence). Indeks persepsi korupsi kita pada 2012 hanya 32 (kurang-lebih sama dengan 3,2 kalau memakai metode survei lama), ada kenaikan sedikit sekali. Sedangkan Cina pada 2012 beroleh angka 39, lebih baik daripada Indonesia. Yang pasti persepsi orang terhadap Indonesia masih belum banyak berubah. Negeri tercinta ini masih dipandang sebagai ladang subur para koruptor yang tak takut akan penjara.
Saking banyaknya koruptor, ada orang yang menyebut negeri ini sebagai "negara koruptor" atau "republik koruptor". Inilah emosi yang tertumpah karena marah. Saya pribadi tak ingin mengatakan Indonesia sebagai negara koruptor. Saya lebih cenderung menyebut Indonesia sebagai criminalized state seperti yang dikatakan oleh Robert Legvold, yang banyak menulis tentang Rusia.
Legvold menawarkan tiga pendekatan, yaitu pendekatan criminal state, criminalized state, dan public corruption. Dalam criminal state, negara melakukan tindakan kriminal sebagai kebijakan untuk menjarah uang. Beberapa negara bekas Uni Soviet dan Afrika bisa masuk kategori ini. Dalam konteks public corruption, sebetulnya yang terjadi adalah orang-orang jahat atau rakus yang melakukan korupsi. Kalau kita membeli sebakul buah apel, pasti ada apa yang disebut bad apples. Para koruptor ini adalah para bad apples. Jadi negara sama sekali tak terlibat korupsi.
Jadi apa itu criminalized state? Di sini korupsi bukan merupakan kebijakan negara dan tak dilakukan oleh negara, tapi negara dibajak oleh sekelompok orang yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri sendiri melalui berbagai tindakan, seperti membuat kebijakan, legislasi, peraturan daerah, dan putusan pengadilan. Mungkin sekali yang terjadi bukan semata-mata memperkaya diri sendiri, melainkan juga memperkaya keluarga, kelompok, dan partainya. Rusia, menurut Legvold, masuk kategori criminalized state. Menurut saya, Indonesia juga masuk kategori yang sama.
Untuk memahami kerja korupsi dalam terma criminalized state, Legvold menggunakan teori state capture, yang banyak dipakai oleh Bank Dunia dan lembaga keuangan internasional lain. Elemen state capture bisa dilihat dalam beberapa kasus ketika negara seperti disalahgunakan (abuse) untuk kepentingan orang per orang, keluarga, kelompok, dan partai. Ada banyak kasus korupsi yang bisa dicurigai menggunakan pendekatan state capture. Tuduhan korupsi yang terjadi dalam kerajaan dinasti politik Ratu Atut Chosiyah, misalnya, bisa dilihat dalam konteks criminalized state dan state capture. Di situ posisi-posisi penting berada dalam kekuasaan dan konon banyak perusahaan terkait yang beroleh pekerjaan. Bukan hanya pelaksanaan pekerjaan yang jadi garapan, perencanaan pun dimanfaatkan. Pemerintahan sudah dikuasai untuk kepentingan bisnis yang merupakan bagian dari illicit enrichment.
Kasus Hambalang bisa dilihat dalam kerangka teori yang sama. Proyek pengadaan Hambalang direncanakan, dibahas, dan diputuskan dengan tujuan untuk dimanfaatkan. Proses politik bercampur aduk dengan proses bisnis, kolusi kawin dengan korupsi. DPR dan pemerintah dibajak untuk memuluskan realisasi proyek ini. Celakanya, proyek ini bocor di mana-mana sampai akhirnya KPK turun tangan. Demikian juga dalam kasus suap daging sapi impor, yang melibatkan pemimpin Partai Keadilan Sejahtera bersama kroninya. Pemberian izin impor daging sapi yang terbatas kepada sejumlah kecil pengusaha telah melahirkan kartel, dan kekuasaan negara lagi-lagi disalahgunakan. Praktek ini dikenal juga sebagai ekonomi rente. Tak terlalu sulit mereka-reka praktek membajak kekuasaan negara ini karena mereka berada dalam kekuasaan atau dekat dengan kekuasaan.
Tidak semua korupsi yang terjadi dalam criminalized state bisa terlihat. Ada yang tak bisa dibuktikan. Tapi kita mencium ada bau korupsi di situ. Kasus korupsi di sektor minyak dan gas bumi sangat marak dan luar biasa jumlahnya. Sejak zaman Orde Baru, perdagangan minyak telah merampok uang negara, tapi tak ada yang berani mengungkapnya. Terlalu banyak kepentingan yang mendapat bagian, jadi tak akan pernah terbongkar. Padahal inilah yang saya sebut sebagai the mother of corruption.
Kasus Lapindo juga bisa dilihat dalam perspektif state capture karena telah terjadi semacam bailout. Banyak orang membandingkan dengan kasus BP, yang jauh lebih dahsyat di Macondo, Gulf of Mexico. BP diharuskan membayar sendiri semua biaya pembersihan laut dari minyak dan gugatan ganti rugi dari pemerintah ataupun penduduk. Jadi BP tidak di-bailout. Sampai-sampai BP hampir bangkrut. Lalu kenapa bailout terjadi untuk Lapindo? Banyak yang curiga semua ini karena negara sudah dibajak. Saya yakin perdebatan mengenai kasus Lapindo akan terus berlangsung tidak hanya dalam konteks criminalized state, tapi juga dari perspektif lain.
Saya tak mengatakan semua kasus korupsi terjadi karena praktek berbau state capture. Banyak juga kasus korupsi yang dilakukan politikus, misalnya yang terbilang kasus korupsi biasa. Korupsi ini dilakukan oleh politikus rakus karena ingin cepat kaya. Politikus ini masuk kategori apel yang busuk itu (bad apples). Saya tak terlalu memikirkan korupsi oleh politikus rakus dan tamak tersebut. Saya lebih prihatin terhadap korupsi melalui state capture. Di Badan Anggaran DPR, misalnya. Di sinilah permulaan dari state capture, tempat penggodokan anggaran, perencanaan proyek, dan sekaligus perencanaan korupsi dilakukan.
Praktek korupsi yang membajak negara ini harus dilawan dan dihentikan. Kalau praktek korupsi semakin kuat, bisa-bisa ia akan masuk ke jejaring global yang bekerja sama dengan organisasi kejahatan internasional. Jika ini terjadi, kita akan menjadi criminal state atau paling tidak di negara tercinta ini akan ada apa yang disebut sebagai shadow state, seperti kata George Klay Kieh. Apakah kita menyadari hal ini?
*) Fellow, Ash Center, Harvard Kennedy School. Board of Trustee, US-Indonesia Society.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo