Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JARUM jam menunjuk pukul 23.50 ketika Sharif Cicip Sutardjo meraih telepon seluler yang tergeletak di depannya. Kepada Tempo yang menemuinya di Apartemen Airlangga, Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa pekan lalu itu, Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini mengatakan sedang menunggu kabar dari Sekretaris Jenderal Idrus Marham.
Hari itu, Idrus diminta menemui Akbar Tandjung untuk menyerahkan undangan rapat pimpinan nasional, sekaligus membicarakan kisi-kisi pidato sang Ketua Dewan Pertimbangan untuk acara tersebut. Akbar diharapkan berbicara positif dan tidak menyudutkan partai, termasuk soal elektabilitas Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie sebagai calon presiden.
Menurut Akbar, pertemuan dengan Idrus berlangsung menjelang makan siang hari itu juga di kantornya, kawasan Perdatam, Jakarta Selatan. Idrus datang sendiri dan hanya membicarakan persiapan rapat plus jadwal Akbar berpidato. "Idrus menyebutkan ada pengurus yang minta pidato saya sebagai ketua dewan pertimbangan ditiadakan," ujar Akbar, yang selalu bersuara kritis soal pencalonan Aburizal.
Digelar sepanjang akhir pekan lalu, rapat dihadiri 33 pengurus provinsi. Menurut ketua panitia pengarah, Nurdin Halid, agenda rapat antara lain mengevaluasi elektabilitas Aburizal. Juga menjaring usulan calon wakil presiden pendamping Aburizal.
Meski telah dilobi, pidato Akbar tetap keras mengkritik atau menyindir. Ia mengingatkan soal elektabilitas Ical yang tak berbanding lurus dengan safari yang dilakukannya. Karena itu, ia menyarankan sebaiknya ada "strategi baru dan uji elektabilitas" untuk mendongkrak tingkat keterpilihan Aburizal.
Menurut Akbar, mesin partai belum berjalan baik. Buktinya, kerja pengurus pada saat pemilihan kepala daerah tidak berjalan. Sejumlah daerah yang selama ini disebut sebagai kantong suara Golkar, seperti Jawa Timur, Sumatera, Maluku Utara, dan Banten, kata ketua umum 1999-2004 itu, tak digarap maksimal.
Ia meminta elite partai melibatkan kader partai di daerah. "Saatnya membuang prasangka. Kalau tetap seperti itu, bagaimana Golkar mau menang?" kata Akbar, disambut tepuk tangan pengurus daerah.
Iskandar Mandji, wakil sekretaris jenderal pada era Ketua Umum Jusuf Kalla, menilai pidato Akbar yang keras itu menggambarkan kekisruhan situasi dalam partai. Selama ini, kata dia, kritik Kalla dan Akbar dianggap sebagai perlawanan atas pencalonan Ical.
Selain soal pencalonan, gesekan di tubuh Golkar bersumber pada model kepemimpinan Aburizal. Struktur kepengurusan partai yang gemuk—hampir 400 orang—membutuhkan waktu lama untuk konsoliÂdasi. Pada era Akbar Tandjung dan ÂJusuf Kalla, anggota kepengurusan hanya 92 orang.
Menurut Ketua Golkar Yorrys Raweyai, gaya kepemimpinan Aburizal mengubah budaya Golkar yang selama ini dekat dengan tentara. "Sekarang tak ada satu pun eks tentara di Dewan Pimpinan Pusat," ujarnya. Ia menilai Aburizal memimpin Golkar seperti mengelola perusahaan. "Orientasinya pada hasil, tak peduli proses," kata Yorrys. Ia mencontohkan, banyak keputusan strategis yang tidak dibahas dalam rapat pleno.
Kondisi semakin panas ketika Aburizal ditetapkan sebagai calon presiden pada Rapat Pimpinan Nasional II di Hotel Mercure, Ancol, Juli 2012. Keputusan penetapan calon presiden dinilai Yorrys terburu-buru, sementara konsolidasi partai tak sepenuhnya terurus. "Belum apa-apa sekarang bikin blueprint negara kesejahteraan 2045," ujar Yorrys.
Situasi itu kian panas ketika Aburizal mengganti Badan Pemenangan Pemilu Golkar menjadi Badan Koordinasi Pemenangan Pemilu. Menurut Ical, badan ini tidak bisa mengambil keputusan strategis yang merupakan kewenangan pengurus pusat. Menurut Wakil Ketua Umum, Cicip Sutardjo, organ ini lebih gemuk, dengan struktur pemenangan hingga ke tingkat provinsi dan daerah pemilihan.
Dibentuk April lalu, menurut Ketua Golkar Mahyudin, sistem baru itu tak mudah dipahami banyak kader Golkar di daerah. "Sudah berbulan-bulan mereka belum bisa menyesuaikan," katanya. Mahyudin juga menunjuk "mualaf Golkar"—yaitu orang-orang bawaan Aburizal yang tiba-tiba menjadi pengurus inti—sebagai sumber persoalan lain. Ia menganggap mereka hanya berpikir untuk pemenangan presiden, bukan Golkar.
Dana pelicin mesin partai juga seret. Banyak pengurus daerah belum mendapat dana logistik untuk pemenangan pemilu, termasuk atribut. Sekitar 180 ketua Golkar tingkat kabupaten atau kota beramai-ramai datang ke rapat pimpinan nasional meski mereka tak diundang. "Kami ingin kejelasan, Golkar mau pemilu atau tidak?" ujar Ketua Golkar Banda Aceh Muntasir Hamid.
Yorrys mengakui persoalan pencairan dana untuk pengurus daerah tersendat dalam beberapa bulan terakhir. Bukan hanya ongkos logistik pemilu, melainkan juga biaya operasional pengurus daerah. Ketua Badan Koordinasi Pemenangan Pemilu Golkar Sumatera Barat Chairul Darwis mengatakan mendapat informasi bahwa bantuan logistik baru akan diterima Januari 2014.
Politikus Golkar lainnya, Poempida Hidayatullah, mengingatkan janji Aburizal yang belum dilunasi: pembangunan gedung baru untuk kantor partai dan dana abadi Rp 1 triliun. Kepada Tempo, Aburizal membenarkan pernah menyampaikan janji itu. Namun ia mengatakan janji itu akan dilunasi pada akhir kepengurusan, 2015.
Karena gesekan semakin tajam, kubu Aburizal menyampaikan pengarahan di ruang Fraksi Golkar di Dewan Perwakilan Rakyat, 30 September lalu. Hadir dalam pertemuan itu Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Golkar Luhut Panjaitan. Selama tiga jam, Luhut memaparkan data popularitas Ical dan Golkar. Kalau elite Golkar terus berkonflik di media massa, menurut dia, Golkar bisa kehilangan lima persen suara. Sebaliknya, jika elite solid, perolehan suara bisa dua kali lipat. "Yang saya sampaikan itu hasil survei," kata Luhut.
Tak hanya itu, kubu Aburizal juga menelepon sejumlah pengurus yang menyuarakan protes secara terbuka di media. Mereka disebut membuka aib.
Wakil Ketua Umum Golkar Fadel Muhammad tak menampik, keresahan pengurus bisa merembet ke pencalonan Ical. Ketua Golkar Hajriyanto Y. Thohari mengatakan partainya sudah terbiasa dengan perbedaan pendapat. Menurut dia, perbedaan saat ini "belum merupakan gerakan untuk mengganti calon presiden".
Aburizal Bakrie memastikan tak akan mundur dari pencalonan. Dengan membacakan pantun, dalam pidatonya di rapat pimpinan nasional, ia menegaskan sikapnya, "Sudah kukembangkan layarku, pantang bagiku surut kembali."
Widiarsi Agustina, Jobpie Sugiharto, Subkhan J. Hakim, Wayan Agus Purnomo
Politik Bisnis Sulung Bakrie
PADA 1990-an, media asing menjuluki Aburizal Bakrie sebagai anggota "The Ginandjar Boys", merujuk pada kelompok pengusaha "pribumi" yang dikarbit Menteri Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ginandjar Kartasasmita. Anak sulung Ahmad Bakrie ini menggabungkan politik dan bisnis dalam satu tarikan napas. Malang, melintang jadi pengusaha, ia terjun ke politik hingga menjadi Ketua Umum Partai Golkar pada 2009. Ketika jadi menteri, pria 67 tahun ini berkonflik dengan menteri lain tatkala ada kebijakan yang berhubungan dengan unit bisnisnya.
1972-2004
Pegawai hingga Komisaris Utama Grup Bakrie
1977-1979
Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia
1984
Masuk Golongan Karya
1988-1993
Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat
1991-1995
Ketua Forum Bisnis Asia
1999
Dituding menghalangi rekapitalisasi perbankan agar Bank Nusa Nasional yang dimiliki Grup Bakrie tak ditutup karena butuh suntikan modal Rp 5,2 triliun. Dengan koneksi politiknya, Aburizal berhasil meyakinkan pemerintah supaya tak menutup bank itu dan mengusulkan agar semua bank dipribumikan. Utangnya Rp 11 triliun.
1994-2004
Ketua Kamar Dagang dan Industri
2001vGrup Bakrie terlilit utang hingga US$ 1,2 miliar. Setelah restrukturisasi dengan cara pembayaran dengan modal, kepemilikan saham Bakrie melorot tinggal 2,9 persen dari 58,4 persen.
2004-2009
Anggota Dewan Penasihat Partai Golkar. Ikut konvensi Golkar untuk menjaring calon presiden, dan kalah dari Wiranto—kini Ketua Umum Partai Hanura.
2004-2005
Menteri Koordinator Perekonomian. Ia memimpin negosiasi pengelolaan blok minyak Cepu di Bojonegoro, Jawa Timur, dengan ExxonMobil Corporation. Exxon bersedia melepas saham ke PT Pertamina Tbk.
2005-2009
Dicopot dari jabatan Menteri Koordinator Perekonomian, ia digeser ke pos Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat.
Menurut majalah Forbes, pada 2006 nilai kekayaan Aburizal Bakrie US$ 1,2 miliar, yang membuatnya menjadi orang kaya nomor enam di Indonesia.
2007
Hartanya naik menjadi US$ 5,4 miliar, sehingga ia menjadi orang terkaya di Indonesia.
2006-2010
2008
2009
Kekayaan naik lagi menjadi US$ 2,5 miliar di urutan keempat.
2010
2011
Total kekayaan turun menjadi US$ 890 juta dan melorot di urutan ke-30.
2012
Aburizal mencalonkan diri menjadi presiden dari Golkar.
Pundi-pundi Bakrie
Pendapatan bersih Grup Bakrie per September 2013.
Survei Politik
1-13 November 2013
Lembaga Klimatologi Politik
Oktober 2013
Lingkaran Survei Indonesia
*) Joko Widodo tak diikutkan dalam survei karena belum pasti dicalonkan partainya. Partai Prabowo dianggap tak akan mendapat 20 persen suara legislatif
Agustus 2013
Indonesia Network Election Survey
April 2013
Centre for Strategic and International Studies
Mei 2013
Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Agustus 2013
Populi Center Survey Nasional
Naskah: Bagja Hidayat, Sumber: Pusat Data & Analisa Tempo, Forbes, laporan keuangan Bakrie Brothers, wawancara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo