Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Lebih Mirip Hiasan Ketimbang Pilar

DPRD digugat ke PTUN. Badan yang dianggap lembaga perwakilan rakyat di tingkat daerah ini dalam prakteknya ternyata lebih berfungsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat.

25 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU diibaratkan makhluk hidup, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) itu tak jelas jenis kelaminnya. Apakah badan yang biasa disebut lembaga perwakilan rakyat daerah itu berdomisili di provinsi, kabupaten, ataupun kota madya, semua menyandang status yang sama: keberadaannya hanya sekadar untuk melengkapi persyaratan agar Republik Indonesia layak disebut sebuah negara demokratis. Status sebagai pelengkap semakin diperburuk oleh kenyataan bahwa rakyat di daerah menganggap DPRD tak bisa memperjuangkan aspirasi mereka. Walhasil, rakyat pun berbondong-bondong memperjuangkan tuntutan ke pusat. Dan bukan hanya itu. Integritas DPRD pada proses pemilihan calon kepala daerah pun kini semakin sering digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Di PTUN Bandung, misalnya, sepuluh bakal calon wali kota madya Bandung menggugat pihak DPRD. Mereka menganggap keputusan DPRD Bandung tertanggal 15 Agustus 1998 tentang lima nama bakal calon wali kota madya Bandung cacat hukum alias tidak sah. Semula, DPRD menggodok 28 bakal calon. Dari 28 nama itu, DPRD lalu mengajukan lima nama ke Gubernur Jawa Barat. Rupanya, kriteria dan proses seleksi yang memunculkan lima nama itu dinilai tak transparan oleh para penggugat. Lima nama tadi selanjutnya "diperas" oleh gubernur menjadi tiga nama, yang kemudian dipilih oleh DPRD untuk menjadi wali kota madya. Dari tiga nama itu, entah bagaimana prosesnya, tiba-tiba mencuat nama Kolonel Aa Tarmana sebagai pemenang. Aa pun dilantik menjadi wali kota oleh Gubernur Jawa Barat, pada 16 Oktober 1998. Sebelumnya, PTUN Ujungpandang juga memproses perkara serupa. Pada Maret silam, hakim menolak gugatan dua warga terhadap keputusan DPRD Sulawesi Tenggara mengenai nama lima calon gubernur Sulawesi Tenggara yang diajukan ke Menteri Dalam Negeri. Perkara yang sama terjadi pula di PTUN Padang. Anggota DPRD dari Fraksi Karya Pembangunan di sana, Ahmadin Algamar, dan Partai Persatuan Pembangunan di daerah itu mempersoalkan proses penentuan lima nama calon wali kota madya Padangpariaman. Algamar menuntut Gubernur Sumatra Barat lantaran nama jagonya, Nasrul Syahrun, Bupati Padangpariaman periode sebelumnya, dicoret oleh gubernur sewaktu "memeras" 62 nama menjadi lima nama. Akibatnya, sampai kini kepastian nama calon bupati Padangpariaman masih terkatung-katung Dalam pada itu, meski belum berujung sebagai perkara hukum, proses pemilihan calon wali kota madya Ujungpandang juga ricuh hingga sekarang. Dengan tuntutan senada, yakni transparansi, pada Kamis, 14 Januari lalu, proses persidangan di DPRD Kota Madya Ujungpandang sempat diboikot oleh kubu wakil rakyat yang nama "jagonya" dicoret oleh DPRD. Kalau dikaji dasar hukumnya, gugatan terhadap DPRD sesungguhnya sangat janggal. Sebab, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara, yang bisa digugat ke PTUN hanya lembaga atau pejabat pemerintahan (eksekutif). Sedangkan DPRD, yang resminya merupakan lembaga legislatif, tentu saja tak bisa diperkarakan. Menurut ahli hukum administrasi daerah, Prof. Ateng Syafrudin, gugatan terhadap DPRD ke PTUN itu lantaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pemerintahan di daerah memang rancu. Menurut undang-undang itu, pemerintah daerah adalah kepala daerah (gubernur, bupati, ataupun wali kota madya) dan DPRD. Dengan ini, jelas tidak ada pemisahan yang tegas antara kepala daerah dan DPRD, sehingga posisi DPRD tak persis seperti DPR di pusat, yang memang berfungsi sebagai badan legislatif. Memang, Ateng Syafrudin membenarkan bahwa aturan tentang kriteria dan proses seleksi para calon kepala daerah oleh DPRD?yang secara formal di antaranya tercantum dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1995?serba tak jelas. Nah, kendati tak kunjung jelas, pada Kamis, 7 Januari lalu, PTUN Bandung mengabulkan gugatan sepuluh bakal calon wali kota madya Bandung. Dengan demikian, posisi Aa Tarmana selaku Wali Kota Madya Bandung menjadi goyah. Aa sendiri mengaku bersedia dipilih ulang oleh DPRD bila vonis itu nantinya dikukuhkan Mahkamah Agung. Vonis PTUN Bandung itu tergolong putusan perdana untuk masalah pemilihan kepala daerah. "Putusan itu membuktikan bahwa sinyalemen tentang kecurangan pada pemilihan kepala pemerintahan di daerah terbukti benar," ujar ketua majelis hakim Zairdalis. Argumentasi hakim Zairdalis bukannya tanpa bukti. Pada proses penyaringan calon wali kota madya Bandung dari lima nama menjadi tiga nama, terungkap adanya nama calon titipan dari Menteri Dalam Negeri. Yang disebut-sebut sebagai calon "droping" dari pusat itu adalah Ahmad Sabur, yang sebelumnya tak ada pada daftar nama lima calon, tapi namanya bisa muncul pada daftar tiga calon. Sebenarnya, tak hanya soal titipan pusat yang mewarnai proses pemilihan kepala daerah. Isu adanya suap untuk memenangkan salah satu calon pun acap merebak. Begitu pula adanya semacam keharusan agar kepala daerah tetap harus dijabat oleh anggota atau purnawirawan ABRI. Dari segi hukum administrasi daerah, vonis PTUN Bandung berarti mengulangi kembali kerancuan sistem pemerintahan daerah yang dianut undang-undang pemerintahan di daerah. Undang-undang yang bernafaskan sistem politik sentralistis dan konsep negara integralistik, yang selalu mengkhawatirkan terjadinya disintergrasi itu, memang mengebiri posisi dan peran DPRD. Posisi DPRD yang didudukkan sebagai bagian dari pemerintah daerah membuat lembaga itu tak bisa mengontrol kepala daerah. Seiring dengan itu, Undang-undang pemerintah daerah telah menggariskan bahwa kepala daerah hanya bertanggung jawab kepada pemerintah pusat. Prosedur ini lebih memperjelas bahwa DPRD memang secara legal tidak perlu digubris, baik oleh bupati, wali kota, ataupun gubernur. Bahwa DPRD dilibatkan dalam pemilihan calon kepala daerah, itu pun sekadar pemantas saja. Kalau dirujuk ke undang-undang, kepala daerah sekadar memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, tanpa sanksi hukum. Wajarlah kalau dalam proses pemilihan kepala daerah, suara ataupun keputusan DPRD tak banyak berarti. Sebab, nama-nama calon bupati ataupun wali kota madya yang diproses DPRD mesti dikonsultasikan dengan gubernur. Mekanismenya menetapkan, DPRD mengajukan lima nama, yang kemudian "diperas" menjadi tiga nama oleh gubernur. Tiga nama itu kemudian dipilih DPRD. Dan, calon yang menang, tanpa peduli hasil perolehan suara di DPRD, bisa saja tak diangkat sebagai kepala daerah bila tak disetujui gubernur. Mekanisme serupa juga berlaku terhadap pemilihan gubernur. Siapa pun nama yang menang pada proses pemilihan di DPRD tingkat provinsi, presiden, atas nama hak istimewa (prerogatif), bisa mengangkat calon yang tak menang. Peran eksekutif yang sangat kuat ini konon bertolak dari pandangan bahwa kepala daerah bukan sekadar orang yang dianggap dipercaya rakyat di daerah itu, melainkan juga karena ia ditugasi menjadi wakil pemerintah pusat. Konflik antara aspirasi daerah dan kehendak pusat pernah mencuat pada pemilihan gubernur Riau, pada 1985, dan pemilihan gubernur Kalimantan Tengah, pada 1994. Itu sebabnya, setelah Orde Baru terpuruk bersama lengsernya Soeharto, tuntutan agar sistem otonomi daerah ditata secara benar?dengan merombak total perangkat hukum seperti undang-undang pemerintahan di daerah?semakin marak. Andaikata aspirasi pemberdayaan DPRD tak juga diwujudkan, nasib lembaga yang tak jelas statusnya itu tentu akan tetap sebagai penghias, dan bukan pilar utama bagi tatanan demokrasi di Indonesia. Happy Sulistyadi, Rinny Srihartini (Bandung) dan Dapinto Janir (Padang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus