PEMILU tinggal lima bulan lagi. Tapi rancangan undang-undang pemilu yang menjamin terlaksananya pemilihan umum yang jujur dan adil masih jauh dari kenyataan. Meski RUU politik yang salah satunya memuat peraturan tentang pemilu akan dikeluarkan pada 28 Januari ini, banyak pihak skeptis pemilu Juni 1999 nanti bisa sedemokratis yang diharapkan banyak orang. Setidaknya itulah pendapat responden jajak pendapat TEMPO yang dilakukan dua pekan lalu. Mereka memang percaya bahwa pemilu mendatang bisa lebih baik dari pemilu-pemilu Orde Baru selama ini, tapi hanya sedikit orang yang percaya bahwa apa yang akan terjadi pada Juni mendatang itu adalah pemilu yang benar-benar demokratis.
Banyak memang alasan untuk mencibir kualitas pemilu pertama setelah Soeharto lengser ini. Sebutlah misalnya pasal netralitas pegawai negeri dalam RUU pemilu yang mati-matian ditolak Fraksi Karya Pembangunan di DPR. Dengan pegawai negeri sipil (PNS) yang masih bisa disetir, Golkar setidaknya masih bisa mempertahankan lima juta pendukung dari barisan batik Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) ini. Itu jumlah yang tidak sedikit kalau mengingat banyak partai kecil yang pendukungnya hanya sampai batas ratusan ribu. Dengan alasan itulah responden jajak pendapat ini dengan tegas menolak keberpihakan PNS ke dalam satu partai tertentu.
Dengan ketegasan yang sama, responden juga melihat pemilu mendatang harus diawasi lebih ketat. Bukan apa-apa, di pelosok-pelosok negeri, Golkar dengan jaring birokrasi yang 30 tahun dikuasainya itu sangat mungkin bersimsalabim dengan kotak suara. Memang betul, ada partai lain yang bisa mengawasi pemilu. Tapi seberapa besar sih kekuatan partai lain kalau tempat pemungutan suara tersebar sampai ke desa-desa?
Untuk itulah kehadiran lembaga independen pemantau pemilu, menurut responden, bersifat mutlak. Lembaga itu juga harus mempunyai kekuatan hukum agar setiap penyelewengan pemilu bisa diproses bahkan sampai ke pengadilan. Setidaknya lembaga itu harus punya kekuatan untuk memaksa panitia pemilu menindak penyelewengan tersebut. Responden tidak menginginkan lembaga itu tumbuh tanpa gigi: menyaksikan penyelewengan tapi tidak mampu berbuat apa-apa—seperti PPP dan PDI dulu, yang bisa membuat laporan kecurangan setebal bantal tapi kemudian laporan itu menguap tanpa ada tindak lanjutnya.
Soal kampanye pemilu juga menjadi perhatian responden jajak pendapat ini. Banyaknya partai yang tumbuh, di samping menggembirakan karena tiap-tiap kelompok kepentingan memperoleh kesempatan untuk membuktikan diri di depan khalayak melalui pemilu, juga mendatangkan kekhawatiran. Bentrok antarpartai—seperti yang belum-belum sudah terjadi di Bali baru-baru ini—ditakutkan muncul bersamaan dengan berlangsungnya masa kampanye. Pada masa jumlah partai cuma tiga, pengaturan memang lebih mudah dilakukan. Masa kampanye di sebuah daerah digilir agar pendukung partai masing-masing tidak bertemu pada hari yang sama. Tapi, ketika jumlah partai ratusan, bagaimana jadwal waktu bisa disusun?
Untuk itulah responden mengusulkan agar kampanye-kampanye dialogis lebih diutamakan ketimbang pengerahan massa. Tidak sekadar untuk mengurangi konflik, kampanye dialogis juga dimaksudkan agar pengujian konsep antarpartai bisa dilakukan dengan jernih dengan mengeliminasi elemen emosi massa.
Mungkinkah semua itu terlaksana? Tampaknya, kita masih harus menunggu lima bulan lagi untuk memperoleh jawabannya.
Arif Zulkifli
INFO GRAFISBolehkah pegawai negeri terlibat dalam partai? | Tidak boleh | 42% | Boleh | 36% | Tidak tahu/ragu-ragu | 22% | | Bolehkah partai memiliki asas selain Pancasila? | Tidak boleh | 68% | Boleh | 31% | Tidak tahu/ragu-ragu | 1% | | Perlukah pemilu mendatang diawasi badan independen? | Perlu | 88% | Tidak perlu | 11% | Tidak tahu/ragu-ragu | 1% | | Bagaimana perkiraan kualitas pemilu 1999? | Lebih demokratis dibandingkan pemilu Orde Baru | 55% | Sama saja dengan pemilu Orde Baru | 29% | Sangat demokratis | 6% | Lebih tidak demokratis dibandingkan pemilu Orde Baru | 4% | Sangat tidak demokratis | 2% | Tidak tahu/ragu-ragu | 4% | | Bagaimana kampanye mendatang sebaiknya dilakukan? | Kampanye dialogis di tempat tertutup | 62% | Kampanye dengan pengerahan massa | 32% | Tidak tahu/ragu-ragu | 5% | | Sejauh mana wewenang pemantau pemilu tersebut? | Mengawasi, melaporkan, dan menuntut kecurangan pemilu | 49% | Hanya mengawasi dan melaporkan kecurangan pemilu | 42% | Hanya mengawasi pemilu | 7% | Tidak tahu/ragu-ragu | 2% | | |
Metodologi jajak pendapat ini:
- Penelitian ini dilakukan oleh Majalah TEMPO bekerja sama dengan Insight. Pengumpulan data dilakukan terhadap 508 responden di lima wilayah DKI tanggal 7-14 Januari 1999. Dengan jumlah responden tersebut, tingkat kesalahan penarikan sampel (sampling error) diperkirakan 5 persen.
- Penarikan sampel dilakukan dengan metode random bertingkat (multistages sampling) dengan unit analisa kelurahan, RT, dan kepala keluarga. Pengumpulan data dilakukan dengan kombinasi antara wawancara tatap muka dan melalui telepon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini