Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kota Kecil Bersumbu Pendek

Embusan angin reformasi terasa di pelbagai daerah. Sejumlah pamong desa, bahkan bupati dan wali kota, tak tahan terhadap gempuran demonstrasi. Awas, pemilu sudah dekat.

25 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tegal meledak, Bantul meradang, Brebes meronta. Itu baru di Jawa. Dan entah berapa titik lagi, di kawasan setingkat kota kabupaten di seantero Republik, yang mulai nekat menggeliat kena tiupan angin reformasi. Rakyat tak lagi cuma berani ngedumel, tapi juga mulai menantang setiap skenario dari "atas", dari pusat, atau segala kebijakan di era pemerintahan Orde Baru Soeharto—yang "tumbang" Mei lalu, dan kini penerusnya mereka hantam kromo dengan istilah "berbau KKN". Lihat saja di Tegal. Di kawasan pesisir utara Jawa Tengah itu, orang kini mulai tersengat. Mereka bukan saja menggugat perkara besar untuk ukuran wilayahnya, semisal pemerintahan Wali Kota M. Zakir, tapi juga peduli pada soal-soal "kecil" macam pemilihan kepala desa—disingkat pilkades. Di Desa Muararejo, pemilihan pamong di sana sampai kacau. Balai desanya dirobohkan oleh massa yang tak puas akibat dicurangi. Di jalanan utama kota, rakyat juga tumplek. Bukan berebut hendak makan di warung khasnya yang murah meriah, tapi menggoyang pemerintah setempat yang dianggap korup, menyeleweng, atau merugikan rakyat. Aksi protes massa berlangsung saban hari selama tiga bulan. Sasarannya: Wali Kota M. Zakir. Kesalahannya yang seabrek itu sudah mereka catat, mulai dari pungutan liar kepada pengusaha hingga dituding menjadi beking raja kayu. "Pokoknya, dia itu fotokopi arogansi Soeharto," kata Ahmad Munier Syafi'i, Wakil Ketua DPRD setempat. Konflik di Tegal tak bisa dipisahkan dari letak daerahnya yang berada di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Ia juga anteng di persimpangan antara Jakarta-Surabaya dan daerah Selatan seperti Purwokerto dan Yogyakarta. Selama 24 jam, kota ini bagaikan tak pernah tidur, meski kawasan seluas 38 kilometer persegi di daerah pantai itu tak didukung oleh sumber daya alam (pertanian) yang memadai. Sekitar 250 ribu penduduk—dengan hak pilih separuhnya—lebih ditopang sektor perdagangan, ratusan industri rumah tangga, serta nelayan. Tak sedikit mereka yang mencari rezeki di Ibu Kota, buka usaha warteg, serta buruh pabrik dan bangunan. Tapi mereka kian terpuruk akibat krisis ekonomi dan pemerintahan. Sekitar 50 persen industri logam di sana tutup. Para kuli bangunan di Jakarta yang kesusahan akibat tiadanya proyek kini kembali mudik ke kampung. Pulang dan menganggur. Nelayan juga mengalami paceklik. Pendapatan per kepala yang dulunya ditaksir US$ 600 kini anjlok. Sebab itulah, mungkin, mereka mudah terbakar dua isu lokal yang mulai mengkhawatirkan: pemilihan calon wali kota (setelah Pak Wali Zakir tumbang) dan pemilihan umum yang rencananya digelar awal Juni depan. Kejadian buruk Juni tahun lalu bisa jadi catatan. Saat massa—terdiri dari mahasiswa, ulama, politisi, dan anggota dewan—memprotes ulah Wali Kota Zakir, muncul "pertarungan" hebat antara para pendukung Pak Wali dan pemrotesnya. Akibatnya, sekitar 60 toko dirusak—barang dagangan dirusak dan dijarah. Sejumlah motor dan mobil dibakar. Pompa bensin juga ikut jadi sasaran. Ratusan ulama melakukan tahlil dan tablig akbar mendukung aksi mogok mahasiswa. Tak hanya awam yang berontak, puluhan anggota dewan dari Fraksi Karya Pembangun dan Fraksi Persatuan Pembangunan ikut berunjuk rasa: menduduki balai kota selama beberapa hari. Rapat pleno dewan juga secara resmi mengusulkan pencopotan Pak Wali. Keberanian massa muncul luar biasa. Sejumlah ulama lalu menyerukan agar rakyat mufarraqah atau memisahkan diri dari wali kota. Agustus lalu, saat berlangsung upacara kemerdekaan, begitu tahu dipimpin Wali Kota Zakir, sontak banyak peserta yang meninggalkan arena upacara—sampai akhirnya ia menyerah. Mundur. "Maka, Tegal itu bersumbu pendek," kata Munier. Artinya, kalau sumbunya ibarat ada di kompor, apalagi di mercon, gampang meledak, apalagi jika disulut secara sembrono. "Kelak, kontrol kepada penguasa akan ketat sekali." Gawat, memang. Sebab itu, jauh hari sebelum pemilihan wali kota baru digelar, Gubernur Mardaryanto mewanti-wanti: jika dari lima calon yang terjaring itu ada yang kalah, ia harus bersikap kesatria. "Tak usah bikin ribut seperti pilkades dulu," kata Gubernur Mardaryanto. Ia menegaskan, sama sekali tak akan turut campur dalam pemilihan—cara intervensi yang sudah menjadi trade mark politik Orde Baru. "Kami berharap anggota dewan (berjumlah 24 orang) tak salah pilih dalam memilih wali kota. Ini akan berbahaya bagi perpolitikan daerah," ujar Thosin Soleh, Ketua Partai Bulan Bintang Tegal. Siapa Pak Wali kelak memang akan berpengaruh terhadap kebijakan pemilu mendatang. Sorotan massa kian sensitif. Apalagi kini beredar aneka ragam partai di sana, yang mengklaim punya jumlah pendukung berimbang. Puluhan partai itu mulai melakukan konsolidasi terang-terangan. Spanduk, umbul-umbul, dan bendera partai ramai dikibarkan di seantero kota. Pendek kata, kampanye mulai blak-blakan dilakukan. Anehnya, Golkar, yang pernah "juara" di sini, hanya adem ayem. "Golkar sebaiknya memang tak usah bikin macam-macam yang memanaskan suasana," kata Agil A.R., Ketua PDI Perjuangan di Tegal. Problem "pemberontakan" daerah juga menghangat sampai ke Bantul. Mereka sukses mendongkel si "raja kecil", Bupati Sri Roso Sudarmo. Pada akhir masa jabatannya, Sri Roso (dulunya ABRI aktif berpangkat kolonel) sempat menghebohkan lantaran terkait dengan perkara sensitif: kasus tuduhan menyuap, kematian wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafruddin (Udin), dan rencana pembangunan megaproyek Parangtritis senilai Rp 100 miliar. Kebetulan lokasinya bersebelahan dengan tempat ritual Keraton Yogyakarta di Parangkusumo. Semula Sri Roso, yang menjabat sejak 1991, bagaikan tak tersentuh hukum. Semua gerakan demo dan unjuk rasa ditanggapi bak angin lalu. Bupati masih bergeming dengan gayanya yang susah dikontak siapa pun, termasuk pers. Setelah Soeharto menyatakan mundur, pintu gugatan terhadap Pak Bup ternyata terbuka lebar. Akhir Desember lalu, Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid memecat Sri Roso bersama dengan sepuluh bupati/wali kota se Indonesia. Setelah Sri Roso tumbang, berbagai aksi merebak. Demo demi demo terus digelar hampir saban hari. Mereka menuntut agar aparat pemerintah daerah yang tak becus mengurus—apalagi yang korup—agar mundur dari jabatannya. Dalam tempo seminggu, tiga sekretaris desa langsung keok. Di Kecamatan Kretek, 30 pamong desanya sampai serentak mundur. Akibatnya, selama dua hari, kegiatan administrasi di desa lumpuh total—warga yang hendak mengurus surat jadi tertunda. Model undur diri massal juga menjalar ke kawasan tetangga. Bantul mungkin kawasan yang produktif dengan tumbangnya pamong desa. Kabupaten di sebelah selatan Yogyakarta ini dikenal sebagai kawasan santri. Hampir seratus persen dari sekitar 750 ribu penduduknya memeluk Islam. Meski begitu, toh, dari pemilu ke pemilu, Golkar meraih suara terbanyak. Tapi Partai Beringin agaknya mulai mendapat ancaman serius. Selain dari pelbagai partai Islam yang merebak di sana, PDI Megawati juga semarak. Mereka diduga punya ratusan posko yang tampil sederhana—gubuk warna merah-hitam, berhiaskan gambar Bung Karno dan Megawati. Sejumlah basis pesantren, di Selarong dan Maguwo, sesak oleh pendukung PKB. Basis PPP di Imogiri dan Godean, kabarnya, terpecah dengan hadirnya PAN. Deretan partai politik itu jelas siap menggotong kursi dewan yang selama ini didekap Golkar. Apalagi basis perangkat desa—sebuah infrastruktur politik yang lekat dengan Beringin—kini tak lagi punya gigi. Padahal, dulunya, "Pengaruh Pak Lurah kuat sehingga bisa mempengaruhi warganya agar memilih Golkar," kata Danang, seorang warga di Bangunapan. Walhasil, masyarakat mulai punya keberanian menentukan pilihan politiknya. Tak ada lagi perasaan terpaksa, apalagi ketakutan yang mencekam. Wahyu Muryadi, Bandelan Amarudin (Tegal), dan L.N. Idayanie (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus