Sekitar 50 buah kelompok "sandiwara" -- teater rakyat -- aktif, populer, dan laris di daerah pesisir utara Jawa, khusus- nya segi tiga Subang-Indramayu-Cirebon. Bosnya para petani, yang malam hari tak jarang menjadi pemain pujaan penonton. Main dua kali sehari, aktornya yang paling sukses bisa mengumpulkan uang satu juta satu bulan. Demi kelarisan, mereka main transfer atau bajak-membajak pemain. TARMANI, sehari-hari juragan tanbak udang di Indramayu. Dulunya, ia polisi berpangkat sersan mayor dan pernah belajar menari. Sebelas tahun lalu, Tarmani membuat grup sandiwara rakyat. Namanya Gema Nusantara. Beken dan populer sampai sekarang. Gema Nusantara bertualang dari kampung ke kampung, pada hajatan sunat, kawin, serta pesta di lingkup Indramayu dan sekitarnya. Karena lakonnya seru-seru, penonton terhibur, yang menanggap senang, pesta pun jadi meriah sampai pagi. "Tarmani-Tarmani" lain di jalur pantai utara Jawa, khusus- nya di segi tiga Subang-Indramayu Cirebon, ternyata bertaburan. Petani yang malam hari jadi bos teater rakyat itu puluhan jum- lahnya. Plang grup sandiwaranya berjajar. Jalan-jalan kecil yang menghubungkan dengan desa-desa semakin ramai. Tak kurang dari 50 buah grup yang aktif, berhasil, dan sibuk. Gema Nusantara tahun lalu "dilamar" -- istilah setempat un- tuk undangan naik panggung -- 90 kali atau main sekitar 8 kali tiap bulan. Selain Gema, di Indramayu ada grup Erlangga, yang dibentuk Kepala Desa Sidamulya, Kosim, 40 tahun. Erlangga sudah siap untuk main di 23 pesta pada bulan Jawa Sura ini. Bulan sebelumnya grup ini ditanggap 17 kali. Ada grup papan atas Candra Kirana, yang berpusat di Gegesik, Cirebon, yang Juni lalu berpentas 16 kali. Order pementasan umumnya melonjak saat musim panen tiba. Maklum, saat itu juragan tani rela menghambur duit untuk macam-macam hajatan. Pergelaran "sandiwara" itu benar-benar merakyat. Ceritanya disabet dari legenda dan babad setempat yang disajikan dalam format ketoprak. Adegan-adegan mengalir begitu saja secara im- provisatoris dalam bahasa setengah Indonesia, sisanya In- dramayuan atau Sunda. Rentetan adegan ditopang suara gamelan dan nyanyian pesinden. Ada lagu, tari, lawak, dan adegan-adegan ajaib, seperti semburan darah, api terbang, atau perkelahian dengan senjata asli. Para aktornya adalah tukang sayur, buruh tani, nelayan, dan pedagang yang oleh penduduk setempat disebut seniman panggung. Belum lama ini, Gema Nusantara pimpinan Tarmani berpentas di muka rumah Wirata, penduduk Desa Pejaten, Kroya, Indramayu. Saat itu Wirata mengkhitankan dua anak sekaligus. Lakonnya Misteri Warisan Pusaka Leluhur. Sementara itu, Rahasia di Bukit Siluman dipersembahkan oleh grup Erlangga, di kediaman Anwar, penduduk Kampung Babakan Sawah, Cidahu, 10 km arah barat Sub- ang. Sejak malam sebelum berpentas, awak Gema Nusantara sudah mun- cul di rumah Wirata. Rombongan pemain dan pendukung panggung, 46 orang, diangkut dengan bus. Menyusul dua buah truk yang dis- esaki peralatan panggung, musik, dan kostum. Ada tiang dan bilah-bilah kayu untuk membuat panggung 8 X 8 meter. Ada gedek atap dan terpal untuk memayungi panggung. Layar dan dekor dari bahan tripleks. Untuk menjaga keselamatan pentas, tuan rumah meletakkan sesaji kembang, jajan pasar, seikat padi, dan sepasang ayam bulu hitam. Tak ada penjelasan mengapa ayam hidup diletakkan dekat alat musik dan lainnya di bawah panggung. Tuan rumah tahu, sesaji ini untuk menghindari "kecelakaan" di atas pang- gung, misalnya kesurupan. Tersebar kabar pernah ada pementasan yang kacau diganggu makhluk halus, karena tuan rumah memandang enteng sesaji. Menjelang pementasan tak ada pemain yang demam panggung. Cerita Warisan Leluhur dikarang sendiri oleh Gendut alias Romli, 50 tahun, sutradara Gema Nusantara. Satu kali ditanggap, grup sandiwara biasanya main dua kali. Putaran pertama, pagi sampai siang. Pertunjukan kedua, malam sampai pagi, 4 atau 5 jam sekali main, dengan cerita yang berbeda. Untungnya, isi cerita memang jarang ruwet. Polanya, hitam- putih, tokoh baik lawan tokoh jahat. Konfliknya, memperebutkan nilai luhur, umumnya dicerminkan lewat sekar kedaton. Gendut cukup menerangkan cerita itu sebelum pentas. Selama pentas, catatan babak yang dibuatnya digilir ke pemain biar tidak lupa, dan berlabuh di tangan pemeran pembantu utama. Yang lupa kapan gilirannya muncul, jangan bertanya pada sutradara. Ada pantangan mengganggu sutradara selama pertunjukan. Gendut, yang juga merangkap ulucumbu, pelawak, tak kelihatan batang hidung- nya ketika pentas mulai ramai. Ia tidur pulas, tapi siap dibangunkan kalau giliran tiba. Di Gema Nusantara ada Gendut, sedangkan di grup Erlangga ada Kosim. Kosim, petani penggarap, andalan Erlangga sejak ber- dirinya, lima tahun lalu. Selain sebagai sutradara dan pemain utama, Kosim merangkap pengarang cerita Rahasia Bukit Siluman, umpamanya. "Saya merangkum cerita itu dari enam komik," kata lulusan SMP beranak seorang itu. Ia lupa judul-judulnya. Ia hanya ingat nama pengarang komik Mababarata, R.A. Kosasih. Mungkin karena campuran enam komik, kisah Bukit Siluman jadi petualangan antarpulau. Tokohnya pendekar ilmu hitam, Giri Wulan, yang ingin menguasai kerajaan di Jawa, Kuta Waringin. Giri Wulan punya anak buah sepasukan suku Dayak berpakaian rumbai-rumbai dari serutan tali rafia. Padahal, suku Dayak adanya di Kalimantan. Untuk menebalkan kesaktian, anak buah Giri Wulan bertugas menyediakan perjaka tingting untuk santapan bos. Ketika melakukan aksi kejahatannya, Giri menggunakan me- dium mayat berumur tujuh hari. Seram. Anak buah Giri terpaksa bicara pada jin-jin untuk menemukan mayat. "Wahai jin, setan penghuni iku kubur, aku ora wedi, muncullah," kata anak buah Giri. Lalu, ning-nang-nong, trek- tek, gong, setan kubur menampakkan batang hidungnya. "Sira wani bongkar ieu kuburan, sira kudu lawan ieu denawa penunggu kubur," katanya bergelegar. Artinya, kira-kira, "kamu berani membongkar kubur ini, harus melawan penunggu kubur". Dalam cerita itu, kejahatan Giri Wulan ini akhirnya dapat dipatahkan oleh pahlawan dari padepokan di Kuta Waringin, bernama Banyak Ngampar, yang sempat disihir sebagai lutung oleh Giri Wulan. Berhubung cerita panjang, penonton mesti diikat perhatiannya. Maka, di panggung, muncul sejumlah kejutan. Umpamanya ketika Guru Banyak Ngampar menunjukkan kesaktiannya, sebuah pohon tumbang didorong tenaga dalam. Ada naga dan tong- kat yang menyemburkan api, ada kapak bisa menancap di badan. Biar seru, petugas sound effect gedebak-gedebuk dengan memain- mainkan mikrofon. Adegan ajaib di pementasan Erlangga ini hasil rekayasa Rusalan, bagian properti, lulusan STM jurusan elektronik. Ia buka rahasia sedikit. Katanya, pohon itu ya terang sudah ditebang sebelum pentas, tetapi diikat tali rafia yang dibubuhi mesiu dan dihubungkan dengan kabel sebagai sumber api. Jadi, begitu di panggung sang guru mendorong tenaga dalamnya, Rusalan membuat hubungan pendek agar api memutuskan tali rafia, dan pohon tumbang. Makanya, pemain kudu jauh-jauh dari pohon. Lalu api yang menyembur itu dari kembang api mancur. Sedang api di awang-awang dibuat dengan kembang api yang dicantolkan dengan benang hitam. Bagaimana kapak bisa menempel di badan, darah muncrat, tongkat berapi? Maaf, tidak semua rahasia bisa diung- kapkan. Teknologi canggih lainnya, umpamanya kehadiran slide proje- ctor di Gema Nusantara untuk memperkenalkan para pemain. Selain dengan teknologi, teater kampung ini juga mengenal pembaruan, misalnya tarian kreasi baru. Dahulu, suara sinden melulu yang mengantar pemunculan sang putri, tapi kini sang primadona bisa menyanyikan dangdut sebelum tampil. Tak ada penjelasan di keraton mana ada budaya dangdut. Pokoknya, penontop keplok. Umumnya, pemain tak bisa menjelaskan bagaimana mereka bisa menciptakan dialog-dialog. Semua mengalir begitu saja, spontan. Tarmani, yang kekar dengan kumis melintang, juga memainkan tokoh penting dalam cerita. Ia sudah tak canggung kalau ada "kecelakaan" di panggung. Dalam salah satu adegan, ketika merayu sekar kedaton, yang dimainkannya dengan serius, penonton terbahak. Rupanya, celananya melorot tercantol di salah satu dekor. Tarmani tak panik. "Aku jatuh cinta sekali padamu, sampai celanaku melorot," katanya dengan tenang sambil mengikat lagi celananya kembali. Tak jarang penonton hanyut dalam permainan. Umpamanya ketika sang jagoan terancam serangan macan, penonton berteriak, "Awas, ada macan!" Tapi tak semua. Biasanya, pemuda-pemudi yang menjadikan tempat itu untuk mencari jodoh. Ada macan atau tidak, pokoknya bisa melirik si enok atau si kacung. Yang tampaknya paling ditunggu adalah lawakan dalam goro- goro. Bebas sekali para punakawan melucu, menggaplok lawan main, memeluk, dan mencolek bokong pemain putri. Konon, para badut seperti Gendut di Gema Nusantara dan Bogel di Erlangga dititipi untuk membawa pesan pembangunan, misalnya KB dan kebersihan. Untuk keringat yang dikeluarkan, Gema Nusantara mendapat bayaran terendah Rp 600 ribu dan tertinggi Rp 1,7 juta. Naik turunnya tarif tergantung lokasi penanggap. Harga Rp 1,7 juta itu, misalnya, dipasang Gema untuk panggilan ke Tegal, Jawa Tengah. Grup Candra Kirana memasang tarif Rp 900 ribu sampai Rp 1,7 juta. Yang Rp 1,7 juta ini untuk panggilan ke arah barat, wilayah Karawang. Sedangkan ke timur, ke Brebes, misalnya, cukup Rp 1,3 juta. Candra Kirana atau Gema Nusantara memang termasuk papan atas. Tapi untuk grup papan tengah, macam grup Indra Mulya dari Desa Anggasari, Pamanukan, Subang, penanggap cukup mengeluarkan Rp 350 ribu sampai Rp 400 ribu. Orang semacam Tarmani mengaku tak terlalu mengejar duit. "Jiwa rasanya muda terus kalau mengurus sandiwara," ujar Tarmani, sambil melirik Surini, sang primadona. Ketika masih berseragam polisi, Tarmani sudah jatuh cinta pada kesenian. Itu sebabnya ia selalu diangkat jadi panitia bila kesatuannya membuat pesta. Mungkin karena ia sudah kenal dengan kesenian dari kecil. Ayahnya pemilik grup wayang orang. Dengan modal Rp 10 juta, dari keuntungan udang-udangnya, Tarmani mulai membeli peralatan pokok grup sandiwara dan merek- rut pemain. Uang diperlukan untuk menjaring pemain, karena tradisinya, kalau mau membajak pemain berpengalaman dari grup lain, ia perlu melunasi utang-utang pemainnya di grup lama. Sekarang, supaya pemainnya betah di grupnya, ia membayar para pemain di atas honor rata-rata grup sandiwara. Tarmani juga buka kantong pinjaman untuk para pemain. Anak buahnya senang karena Tarmani dianggap royal. "Ia kan pemilik tambak udang, jadi sering kelebihan uang," kata Suratno, salah seorang pemain. Selain pengeluaran ini, Tarmani menyediakan biaya rutin untuk perawatan alat dan kumpul-kumpul, Rp 600 ribu tiap bulan. Untuk menjaga keutuhan grup, ia melarang pemainnya menenggak minuman keras, dan antarpemain yang sudah berkeluarga dilarang saling mencintai. Dan diharamkan mengganggu suami atau istri orang. "Kalau ketahuan, langsung saya pecat. Saya tidak mau itu merusak nama baik grup saya," kata Tarmani. Kendati mengaku lebih banyak senangnya mengurus grup sandiwara, ia tak ingin keturunannya meneruskan jejaknya. Tarmani, lulusan sekolah menengah ekonomi pertama, percaya bahwa grupnya berumur panjang karena setia pada pola teater tradisional. Semakin pintar sandiwara, akan makin ditinggalkan penonton," kata Sularno, "pemain tengah" merangkap pelukis layar di Gema Nusantara. Maksud Sularno, drama pintar itu adalah drama dengan teknik teater modern, yang mengenal skenario, pemeranan, pengaturan letak pemain, dan sebagainya. Selain itu, tentu, perlu ada promosi supaya tetap punya pelanggan. Grup seperti Indra Jaya Mulia dari Desa Anggasari, Pamanukan, Subang, selain memasang iklan dalam billboard kecil, mempopulerkan grupnya dengan cara yang mereka sebut "moster." Yaitu memanfaatkan hubungan keluarga dengan penduduk desa lain. "Kalau ada yang hajatan, kami memberi harga khusus untuk mereka. Rugi sedikit tak apa, asalkan dikenal di desa itu, kata Warta Dipraja, 45 tahun, wakil ketua kelompok Indra Jaya. Tarif yang biasanya Rp 350 ribu sampai Rp 400 ribu sekali main dibanting setengahnya. Pokoknya, asalkan grupnya jalan terus. Ia tak mau mengulang sejarah pamannya. Semasa kecil, sekitar tahun 1950, Warta ting- gal bersama pamannya, Anin, yang punya kelompok kesenian di kampungnya di Subang. "Grup seperti sandiwara sekarang ini. Kalau zaman dulu namanya ketoprak," ujar Warta. Ia ingat namanya kelompok Rukun Tani. Duduk di sekolah rakyat, Warta mulai ikut naik panggung. Perannya kecil-kecilan, prajurit perang. Ia ingat paman dan kawan-kawannya mati-matian mempertahankan grupnya. Kalau ada peralatan rusak, mereka memborong pekerjaan menanam padi untuk mendapat biaya perbaikan. Tapi, akhirnya, sekitar tahun 1960, grupnya mati setelah pamannya jatuh bangkrut. Lima tahun lalu, Warta, yang punya nasib baik menjadi pengusaha tambak dengan enam hektare empang, menyisihkan Rp 4 juta untuk mendirikan grup sandiwara. Semula, namanya Putra Kurnia. Tiga tahun kemudian, ganti nama menjadi Kurnia Jaya dan akhirnya, tahun ini, muncul nama Indra Jaya Mulia, dengan 47 personel yang semuanya warga Desa Anggasari. "Nama ini menemukan rezeki," kata Warta, bapak lima anak dari dua istri. Kalau permintaan mulai menurun, Warta lari ke orang-orang pintar. Minta dicarikan nama yang membawa hoki. Ketika Putra Kurnia baru diluncurkan, permintaan datang dari sana-sini. "Sebulan, kami bisa mentas 15 kali," katanya. Sekitar lima tahun lalu itu, biaya menanggap kelompoknya masih Rp 100 ribu sampai Rp 200 ribu. Sayang, usaha tambaknya merosot. Katanya, gara-gara itu juga grupnya ikut suram. Tiga tahun lalu, Indra Jaya pernah coba-coba "ngamen" atau "ngarcis" -- maksudnya membuat pertunjukan sendiri di daerah Purwodadi. Hasilnya? "Tekor, biaya transportasi saja tidak kembali," ujar Warta. Penontonnya memang meruah, tapi masuknya bukan lewat pintu resmi, melainkan menerobos pagar dan bedeng. Ak- hirnya, bukan Warta saja yang kapok, tapi pemainnya juga, karena terpaksa main gratis. Warta lalu mengalihkan kepemimpinan kepada saudaranya, Pawakil Talan, yang dianggap lebih profesional. Karena Pawakil Talan adalah seorang aktor sandiwara yang terkenal dengan nama panggung Mama Hendrawan. Sedangkan Warta jadi wakil ketua kelompok saja. Kelompoknya memang tak mati. Sedikitnya satu bulan sekali masih ada yang memanggil. Apalagi grup ini punya primadona cakap, Akem Diana Ayu, yang aslinya bernama Tarkem. Candra Kirana juga punya pemain putri andalan, Uun Unarti. Ia kini manajer di Candra Kirana dan berkantor di Desa Cilandak- lor, Sukra, Indramayu. Uun ini, putra Wartaka, salah seorang pendiri Candra Kirana. Sebelum mengambil nama putri keraton Kediri, Galuh Candra Kirana, grup ini berdiri dengan nama Panca Tunggal, 20 tahun lalu. Dari modal sebuah sepeda motor Honda, Candra Kirana kini men- jadi kelompok sandiwara Cirebonan yang mapan. Menurut Uun, Candra Kirana adalah pelopor munculnya pemain wanita sungguhan di panggung. Sebelumnya, grup ketoprak yang ada hanya berani menampilkan banci. Terobosan tahun 1975 itu membuat nama Candra Kirana meroket. Setahun, kata Uun, Candra Kirana bisa mentas 200 kali. Sampai diminta masuk studio rekaman kaset, dengan nilai kontrak Rp 4 sampai 5 juta pada tahun 76. Lakon Munding- wangi dan Rajawali Sakti berkali-kali naik pentas karena paling disukai penonton. Dari ledakan itu, Wartaka makmur. Ia bisa membangun rumah dan memperbaiki pondok lama di daerah Gegesik. Dan ke mana-mana naik Colt atau sedan Corona. Bahkan, sudah direncanakan mem- bangun studio rekaman segala. Grup ini juga bisa masuk gedung tahun 1985 dan berhasil mendatangkan penonton yang mau membeli karcis Rp 2.000. Empat tahun lalu, Candra Kirana juga pernah diminta tampil di televisi membawakan lakon Babad Cirebon. Tapi permintaan ini ditolak Wartaka. Sebabnya, televisi minta babad itu dirangkum dalam satu jam penayangan. Itu yang tidak mungkin, menurut Wartaka, karena ceritanya bakal tidak seru lagi. "Itu sama saja dengan bunuh diri," kata Uun, ibu dua anak. Persoalan yang sama juga dihadapi dalam tawaran kaset. Produser minta ceritanya diringkas -- supaya bisa dalam satu kaset saja. Jawaban Wartaka, yang kini pegawai Departemen P & K, sama. Kekuatan Candra Kirana yang punya 50 personel itu, tampaknya, karena pengelolaan yang lebih profesional. Kelompok ini, misal- nya, mengenal latihan untuk para penari, pemusik sampai rom- bongan perang. Uun sering turun tangan melatih penari muda dan mengajarkan tari kreasi baru. "Supaya penonton tidak jenuh," kata Uun, lepasan kelas 3 SMP itu. Candra Kirana mendatangkan nayaga -- penabuh gamelan -- dari Cirebon untuk tiap pementasan. Perangkat gamelannya juga lebih canggih. Gongnya, umpamanya, ada sembilan, sedangkan grup lain paling-paling dua buah saja. Penabuh gongnya dari wilayah Gegesik, Cirebon, yang memang terkenal piawai dalam hal itu. Papan reklame grup Candra Kirana juga paling besar, 2 X 3 meter, di antara papan-papan yang terpajang antara Subang dan Indramayu. Sedangkan aktor dan aktrisnya diambil dari segala penjuru In- dramayu, karena grup ini paling banyak ditanggap di daerah itu, dan berani membajak pemain kawakan dari grup lain. Awal Juli lalu, rombongan Candra Kirana diundang pentas di salah satu pulau di Kepulauan Seribu. Di antara grup sandiwara yang bertebaran di segi tiga Subang- Indramayu-Cirebon itu ada grup kagetan, yang menyewa pemain dan peralatan jika ada panggilan pentas. Nasibnya, jelas, tak semakmur Candra Kirana, tapi mereka ada di sana, siap dipanggil dan menggembirakan penonton. Grup-grup ini belum terlindas oleh kehadiran panggung video sewaan atau layar tancap. "Budaya sastra lisan tidak bisa digantikan oleh media elektronik." Itu kata Jakob Sumardjo, dosen Akademi Tari (ASTI) Bandung. Dwiyanto Rudi, Gangsar Sukrisno, dan Bunga Surawijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini