Hubungan intim antara pemain bukan rahasia. Soal transfer dan bajak-membajak sudah biasa. MALAM baru saja turun di Desa Pejaten, Kecamatan Kroya, In- dramayu. Sinar purnama yang jatuh di Kamis malam akhir Juni itu menyinari kerumunan orang-orang yang memenuhi pelataran rumah Wirata. Mereka bukan sedang menikmati siraman bulan yang lagi matang-matangnya itu, tetapi menunggu penampilan grup sandiwara Gema Nusantara. Malam itu, di rumah Wirata sedang ada hajatan besar, yakni pesta khitanan anaknya. Di pelataran rumah, agak ke kanan, ber- diri sebuah panggung berukuran 8 X 10 meter. Layar belum dibuka. Obrolan pengunjung yang bersahut-sahutan menyela alunan degung Indramayuan yang dimainkan oleh pemusik Gema Nusantara dengan lembut. Bulan terus merambat naik, pengunjung juga semakin berjubel dan mulai tak sabar. Di belakang panggung, tampak pemilik dan pemimpin Gema Nusantara, Tarmani, sedang dipijati anak buahnya. Hampir sebulan penuh ia dan grupnya berpentas. Sebuah per- jalanan yang melelahkan. Di belakang panggung juga terlihat sang primadona. Rini alias Surini, 28 tahun, sedang mengobrol dengan sesama pemain yang sibuk kerokan. Karena berwajah paling cantik -- di antara empat pemain wanita dari Gema Nusantara -- Rini terpilih sebagai primadona. Peran yang digelutinya sejak bergabung dengan grup ini empat tahun lalu. Ini adalah lahan baru bagi Rini, yang tak makan sekolah ini, setelah ia meninggalkan pentas tari topeng. Alasannya, tentu saja karena di sini ia mendapatkan bayaran yang lebih besar dibanding sebagai penari topeng dari kelas "biasa-biasa" saja. Setiap berpentas ia selalu mendapat peran sebagai putri. Di cerita "Misteri Warisan Pusaka Leluhur" malam ini, ia mendapat peran sebagai putri Sekar Kedaton. Yakni putri raja Cirebon yang diculik oleh Abah Barok, bapak tokoh jahat Jaka Ribut. Sebagai primadona, ia dibayar Rp 25.000 sekali pentas. Uang itu, katanya, untuk keperluan belanja sehari-hari, menam- bah penghasilan suaminya yang pedagang. Untuk menjadi ratu panggung, ia tidak merasa perlu latihan. Tidak juga persiapan. "Tidak ada resep apa-apa untuk menjadi primadona," katanya polos. Dan ia tidak punya niat untuk pindah ke grup lain. "Primadona itu modalnya cuma cantik," celetuk seorang penonton ketika ditanya soal akting Rini. Bayaran yang diterima Rini bukan honor tertinggi buat seorang primadona. Primadona Candra Kirana, Uun Unari misalnya, mematok harga Rp 75.000 sekali pentas. "Karena saya adalah pemain putri terbaik di Indramayu," kata Uun, 31 tahun, penuh percaya diri. Tapi mungkin ada sebab lain mengapa ibu dua anak ini tidak diprotes pemain lain. Selain sebagai pemain, Uun adalah manajer sandiwara yang berpusat di Cirebon ini, di samping sebagai istri Edi Rasmita si pemilik sandiwara. Selain itu, di grup yang menetapkan tarif Rp 900.000 sampai Rp 1,3 juta sekali lamar ini rata-rata pemain mendapat honor yang tinggi. Pemain putri lainnya mendapat honor Rp 50.000. Bandingkan dengan pendapatan Rini dari Gema Nusantara. Sedang- kan pemain musik atau nayaga masing-masing diberi Rp 25.000. Soal kemampuan Uun memang diakui banyak orang. "Belum ada orang yang bisa menandinginya," kata tamu yang bertamu ke rumah Uun karena ingin mengundang pentas. Darah seni panggung memang sudah menitis di tubuh wanita yang masih kelihatan cantik ini dari bapaknya, yang mendirikan grup Candra Kirana (CK) sebelum dipegang suaminya. Setiap kali ada kelompok yang pentas, di belakang panggung tidak hanya diisi oleh wanita-wanita dari kelompok sandiwara saja. Di samping mereka, sudah ada pula "tamu tetap", wanita- wanita dengan dandanan menor. Seperti ketika grup Erlangga asal Indramayu sedang main di Subang beberapa waktu yang lalu, ada lima wanita yang tak jelas asalnya ikut nimbrung bersama-sama pemain. Sudah lumrah, Mas, komentar seorang pemain mengomentari kehadiran mereka. Wanita-wanita tadi adalah pelacur yang sengaja datang untuk menghibur pemain lelaki. Di kalangan pemain sandiwara, soal begituan memang sudah urusan masing- masing. Setiap kali ada grup yang tampil, pasti ada wanita yang siap menghibur pemain lelaki. Kalau mereka berminat, di sela-sela pementasan, bisa saja si pemain menghilang barang beberapa menit dengan salah seorang pelacur tadi dan kembali ke belakang panggung menunggu giliran tampil. "Yang penting bukan istri orang," kata seorang pemain menuturkan "aturan main" di kalangan anak panggung. Dengan jadwal pentas yang begitu padat, bagaimana para pemain wanita menghadapi godaan semacam itu? Rini, primadona Gema Nusantara, mengaku sering mendapat godaan. Tapi ia mengaku bisa menahan diri. Ibu satu orang anak ini terpaksa menitipkan buah perkawinannya itu kepada ibunya. Soal pisah dengan suami, ia berkata, "Suami saya tidak pencemburu." Tapi ada versi lain tentang pemain wanita. Hubungan mesra antara pemain wanita dan pria sudah jadi rahasia umum. Meskipun itu merupakan salah satu larangan dalam peraturan yang ditetap- kan oleh pemimpin, mereka sempat melakukannya dengan mencuri- curi. Mungkin karena mereka tahu juga, kebanyakan "bos" mereka biasanya menjalin hubungan cinta dengan primadona grup. "Seperti istri simpanan, begitulah," celetuk seorang awak panggung. Yang lebih aneh, dalam dunia sandiwara ini, ada "bos" yang sengaja membiarkan anak buahnya melanggar peraturan, tapi dengan syarat. Jika anak buahnya -- laki-laki -- ingin "begituan" dengan pemain wanita atau pelacur, ia harus bersedia diintip si "bos". Namun, itu kembali kepada kepribadian masing-masing. Irama degung kembali terdengar. Kali ini alunan suling Didi Kurnadi melantunkan nada-nada yang mengelus-elus telinga pendengarnya. Dengan memejamkan mata, bapak tiga orang anak ini tampak terhanyut oleh irama yang dilantunkannya sendiri. "Saya belajar suling dari seorang guru di Indramayu," kata Didi, 46 tahun, di sela-sela permainannya. Sebagaimana para pemusik atau nayaga kelompok sandiwara yang lainnya, Didi juga sudah melompat dari satu grup ke grup yang lain. Bahkan, ia sengaja memilih untuk tidak bergantung pada satu kelompok dengan harapan bisa mendapat penghasilan yang maksimal. Karena ia bisa ikut main di kelompok yang sedang mendapat lamaran. "Kalau loncat-loncat, memang banyak uangnya. Tapi sering juga uangnya macet, lama-lama capek juga," katanya sambil mengembuskan asap kretek. Akhirnya ia memilih menetap di Gema Nusantara, dengan pertim- bangan ia bisa memperkirakan penghasilan yang bakal dia terima setiap bulannya. Di sini, dengan frekuensi pementasan yang relatif stabil, dengan honor Rp 10.000 sampai Rp 12.000 -- tergantung besarnya uang lamaran -- yang dia terima setiap pentas, ia merasa lebih terjamin. Kalaupun musim paceklik datang, ia bisa bebas menggeluti pekerjaan asalnya sebagai buruh tani. "Tapi dari bermain musiklah saya bisa mendapatkan kehidupan perekonomian yang lebih baik," kata lelaki yang tak pernah mengenyam pendidikan formal ini. Rata-rata dalam sebulan sulingnya menghasilkan Rp 150.000. Cukup untuk hidup dengan seorang istri. Di dalam kelompok sandiwara, primadona dan pemeran utama -- yang disebut dalang -- merupakan pemain dengan bayaran yang tinggi. Tetapi, di kelompok pemusik, pemain suling dan pemain gendanglah yang menerima bayaran tertinggi. "Soalnya, untuk jadi pemain suling dan gendang, dibutuhkan teknik tinggi," kata Didi. Maksudnya, keahlian khusus. Kepindahan seorang awak sandiwara biasanya ada kaitannya dengan usaha meningkatkan pendapatan. Istilah transfer dan "bajak-membajak" pemain adalah soal yang biasa. Jika seorang pemain ditaksir oleh pemimpin grup lain, biasanya ia ditawari bayaran yang lebih bagus. Selain itu, si penaksir harus pula membayar utang si pemain kepada "bos" lamanya. Inilah peluang bagi pemain untuk selingkuh. Kadang, ia sengaja meminjam uang dari pemimpinnya, agar kelak kalau di-"bajak" ia bisa menarik keuntungan. Tapi akal bulus semacam itu sudah dihafal oleh pemilik sandiwara. Karena itu, setiap pemain punya plafon seberapa banyak ia boleh meminjam uang. Semakin penting pemain tersebut, semakin tinggi pula "uang pengikat" atau plafon tadi. Basir, 22 tahun, pemain kelas menengah -- biasanya menjadi orangtua primadona atau kepala prajurit -- dari Erlangga, mengaku hanya punya uang pengikat ratusan ribu. Beda misalnya dengan si primadona, Iwung Purnamawati, 24 tahun, yang uang pengikatnya terbilang jutaan. Tapi tidak semua punya uang pengikat. Bagi awak panggung yang punya bayaran paling kecil, hanya Rp 5.000, tidak diberikan uang pengikat. Tiba-tiba lampu di atas panggung mati. Musik degung berhenti. Pertanda pertunjukan segera dimulai. Beberapa menit setelah pukul 09.00, dari pengeras suara terdengar suara seperti layaknya di film-film horor. Mulanya perlahan dan akhirnya semakin keras. Dari arah belakang panggung, sekonyong-konyong ada benda yang turun. Begitu lampu dihidupkan, ternyata di dalam sebuah plastik, sudah ada seekor buaya, tentu saja diperankan manusia. Buaya penunggu telaga yang harus dikalahkan oleh Jaka Ribut untuk merebut Sekar Kedaton. Dengan tipuan-tipuan tertentu, buaya penunggu telaga tadi tampak hidup dan seakan-akan berada di dalam telaga sungguhan. Inilah hasil kerja orang-orang di bagian peralatan. Dari tangan-tangan merekalah lahir bunga-bunga api dan asap sebagai bentuk kesaktian tenaga dalam para pelakon. Atau semburan asap dan api dari mulut naga. Urusan beginian, di kelompok Erlangga, ditangani oleh Rusalan, 31 tahun, dengan pangkat juru teknik. Tamatan sekolah teknik menengah ini, sejak Erlangga berdiri lima tahun lalu, sudah mencurahkan pengetahuannya untuk sandiwara. Dari tangan- nyalah lahir spektekel-spektekel naga menyemburkan lidah api dan sebagainya. Untuk itu ia hanya menerima Rp 5.000 setiap pertunjukan. "Saya belajar dari pengalaman," kata Rusalan tentang keahliannya itu. Pengalaman dan ilmunya di bangku STM jurusan listrik dia padukan untuk kepentingan panggung. Setiap ada grup lain yang main dan punya teknik spektekel baru, ia "mengintip" dan dicobanya sendiri. Sebelum mencoba "temuan- temuannya" itu, ia terlebih dahulu berkonsultasi dengan pemimpinnya. Tepat pukul 01.00 malam, tiba-tiba terdengar tepukan disertai suitan penonton. Di atas panggung, rupanya sudah berdiri Gendut dengan sosok dan tampang yang menggelikan. Inilah yang ditunggu penonton, sang merk dagang Gema Nusantara. "Goblok," maki Gendut kepada salah seorang pemeran prajurit. Penonton pun "gerrr". Tidak jelas di mana lucunya. Nama sebenarnya, Romli, kini berusia 50 tahun, hidup dengan seorang istri dan ketujuh anaknya. Tetapi tahun 1970-an, namanya pun "berubah" menjadi Gendut. Ini berawal ketika ia masih bergabung dengan kelompok Candra Kirana, mereka pernah memainkan cerita kepahlawanan Untung Surapati. Nah, Romli mendapat peran sebagai kepala penjaga penjara, dengan nama Tong Gendut. Karena kekocakannya banyak menarik perhatian penonton, jadilah teman-temannya memberi nama baru Gendut. Namanya tadi kebetulan cocok dengan bentuk tubuhnya. Dengan berat sekitar 85 kilogram, ia memang kelihatan subur. Gelar barunya ini juga sesuai dengan perannya dalam setiap cerita, sebagai ulucumbu atau peran pengocok perut. Dia memang termasuk ulucumbu paling top di antara kelompok sandiwara. "Gendut adalah andalan kelompok kami," kata Tarmani, pemimpin Gema Nusantara. Karena itu, Tarmani tak segan-segan memberi bayaran tertinggi kepada Gendut dibanding pemain lainnya, yakni Rp 35.000. Maskotnya ini baru setahun bergabung dengan Gema Nusantara. Perjalanan Gendut sebagai pemain sandiwara sudah dimulai sejak ia berusia 14 tahun. Ketika itu, tahun 1955, ia bergabung dengan kelompok sandiwara milik tentara di Indramayu. Di kelompok yang namanya ia sudah lupa itu, Gendut tampil sebagai figuran, pemeran lakon perang. Dari sandiwara tentara inilah ia banyak menimba ilmu pentas, ditambah lagi dengan perjalanannya dari satu kelompok ke kelompok yang lain. "Satu hal yang paling berarti yang saya dapat adalah kebiasaan membaca," kata lelaki yang sempat duduk di bangku SD kelas 6 ini. Mulai dari buku-buku pengetahuan tentang sastra dan drama, novel sampai ke komik ia lalap di sela-sela perjalanan panggungnya. Dari bahan bacaannya itulah ia kemudian bisa mengembangkan dirinya, hingga sekarang ini. Selain sebagai ulucumbu, ia juga dipercaya Tarmani sebagai sutradara dan pembuat cerita di Gema Nusantara. "Ceritanya saya karang sendiri atau cuplikan dari beberapa cerita novel yang saya gabung," kata Gendut. Perjalanan Gendut menjelajah dunia sandiwara tidak terbatas pada kelompok-kelompok di Indramayu saja. Tahun 1960-an, ia sempat mengadu kemampuan aktingnya di grup sandiwara Dewi Sinta dan grup Miss Samudra di Jakarta. "Saya menganggap selama bergabung di situ sebagai sekolah," kata Gendut. Setelah merasa "lulus", Gendut kembali ke kotanya dan bersama teman- temanya mendirikan Candra Kirana. Di sinilah ia mencapai puncak kariernya sebagai ulucumbu jempolan. Dikenalnya nama Gendut dalam masyarakat pesisir utara itu tidak hanya dari penampilannya di panggung. "Yang membuat saya lebih terkenal yaitu dari cerita sandiwara yang direkam di kaset," ujar Gendut. Selama di Candra Kirana, ia sudah memerankan puluhan cerita untuk rekaman. Ia mewarisi bakat seni dari bapaknya, yang dikenal sebagai dalang wayang kulit. Sebagai pelakon yang sukses, Gendut sudah berketetapan hati untuk hidup semata-mata dari dunia panggung. "Sepenuhnya hidup saya saya gantungkan di dunia sandiwara," tuturnya. Padahal, itu bukan cita-citanya. "Sejak kecil saya ingin jadi tentara," katanya lagi. Tapi karena ibunya melarang, jadilah ia hanya bergabung di lingkungan tentara sebagai pemain sandiwara. Itu kata Gendut cukup mengobati rasa kecewanya. Dari penghasilan bermain sandiwara Gendut mengaku dapat hidup dengan layak. Dalam bulan-bulan panen, ia bisa membawa pulang ke rumah uang sekitar satu juta rupiah setiap bulan. "Kalau tentara pangkatnya apa, ya?" tanya Gendut membandingkan. Ketika diberi tahu bahwa penghasilannya sama dengan tentara yang berpangkat kolonel ke atas, Gendut tampak senang sekali. "Coba kalau saya jadi tentara, paling pangkatnya sersan. Gajinya kan kecil," kata Gendut menghibur diri. Dari penghasilan inilah Gendut bisa menyekolahkan anaknya yang kini duduk di bangku SMP. Sekarang ia sudah memiliki dua rumah di Kecamatan Sukra, Indramayu. Dibandingkan dengan rumah tetangga, bangunan rumahnya juga cukup menonjol. Berdinding tembok dan dicat dengan baik. Tapi tidak sepanjang tahun berarti masa panen bagi Gendut. Ketika musim hujan tiba, dan padi masih hijau, lamaran pentas menyusut. Di sini ia menerapkan kiatnya untuk bertahan hidup. "Menjual barang-barang," katanya. Selama masa-masa lamaran padat, ia menabung uangnya dengan cara membeli barang-barang atau perhiasan. Begitu pemasukan seret, ia menjual kembali barang dan perhiasan tersebut. Entah mengapa ia tidak menyimpan uangnya di bank atau membeli sawah. Ketika kokok ayam mulai bersahutan pukul tiga dini hari itu, cerita memasuki babak terakhir. Gendut si pelawak istana mem- buka kedok. Jaka Ribut si Raksasa jahat. Berkat bantuan Raden Suta sang jagoan, Jaka Ribut ditumpas. Dan naiklah Raden Suta ke pelaminan bersama Sekar Kedaton dan memerintah kerajaan Cirebon dengan adil dan bijaksana. Tidak ada tepukan dari penonton yang sudah menyusut jumlahnya, sebagai pertanda sandiwara telah usai. Para pemain langsung mencopoti kostum dan membersihkan diri. Bagian peralatan membereskan perlengkapan dan meringkasnya ke atas truk. Pemain bersiap-siap naik ke mini bus yang akan mem- bawa mereka pentas ke desa yang lain. Generator dimatikan, dan listrik pun padam. "Pet". Rustam F. Mandayun, Gangsar Sukrisno, dan Dwiyanto Rudi S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini