Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sebuah puisi

Puisi tentang stasiun.

27 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

STASIUN adalah sebuah puisi dan peluit kereta yang membelah malam berbisik tentang hati manusia. Di setiap peron ada sebuah penantian. Di setiap lubang loket ada akar yang tercerabut, ketika kampung halaman ditukar dengan sebuah impian, dan dendang ibu diganti sunyi malam. Stasiun adalah batu nisan bagi kota-kota kecil yang ditinggal pergi. Dan, bila malam turun gemeretak roda besi di atas rel membawa kabar tentang si anak hilang yang semakin jauh, semakin jauh, semakin jauh. "Rinduku untukmu, Ibu ...," demikian ia akan menyurati, dalam tulisan tangan anak-anak. Tadi, di stasiun terakhir, ia turun. Sederetan nama kota yang dilafalkannya sepanjang jalan tinggal debu di jendela kereta yang memang kusam. Kantuknya tersentak oleh coretan-coretan di dinding kumuh stasiun: Keluar Masuk, Awas Listrik!, Awas Copet!. Dipeluknya bingkisannya erat-erat. Ini awal sebuah per- jalanan, bukan akhir, bisiknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus