TADINYA kemacetan lalu-lintas di kota Singapura selalu
menghantui para pengendara. Di negara dan sekaligus kota dengan
penduduk sekitar 2 1/2 juta itu terdapat 180.000 buah mobil
pribadi -- di luar bus, truk, sepeda motor dan
kenderaan-kenderaan lainnya. Jumlah ini dengan cepat bertambah
setiap tahun, sehingga jalan yang lebar-lebar dan bersih itupun
selalu penuh sesak. Memang telah dicoba membuat jalan-jalan
baru maupun melebarkan yang telah ada, namun ini tak mengatasi
kemacetan-kemacetan.
Tapi kekusutmasaian lalu-lintas serupa itu hampir tak terdapat
lagi di Singapura lebih setahun belakangan ini. Pemerintahan Lee
Kuan Yew menyatakan perang terhadap kemacetan. Pada mulanya
diminta bantuan ahli-ahli dari Unctad dan Bank Dunia untuk
melakukan penelitian setahun lamanya. Kurang dari setahun
berikutnya dibuatlah tempat-tempat parkir luas di pinggiran kota
berikut peralatannya, di samping pembuatan dan pelebaran jalan
masih terus dilakukan. Akhirnya keluar pengumuman pemerintah
yang tentu tak populer bagi para pemilik mobil pribadi. Yaitu
antra lain, pajak jalan, bea balik nama, uang pendaftaran
mobil baru dan uang parkir dinaikkan berlipat ganda. Selain itu
pusat-pusat bisnis dinyatakan sebagai restricted zone yaitu
daerah yang terbatas untuk mobil -- termasuk taksi umum -- pada
jam 07 sampai 10.15. Bila hendak masuk wilayah ini
pengendara-pengendara harus membayar S$ 4 untuk mobil pribadi
dan S$ 8 untuk kendaraan perusahaan. Ketentuan ini dikecualikan
bagi mobil preman yang berpenumpang tak kurang dari 4 orang
(termasuk supir).
Bagi para warga yang hendak memasuki daerah bisnis tapi
keberatan membayar cukai masuk restricted zone dipersilakan
menunggu sampai jam larangan lewat. Atau menaruh mobilnya di
tempat parkir di pinggiran kota itu lalu melanjutkan
perjalanannya dengan bus. Adapun kendaraan umum ini disamping
bertarif murah (antara 20 hingga 50 sen dolar Singapura)
jumlahnya terus ditambah. Sekarang tiap 2 atau 3 bulan jumlahnya
ditambah rata-rata 50 buah bus baru sehingga dari kebutuhan yang
direncanakan semua akan berjumlah 3.000 buah sekarang sudah
mencapai 2.000 buah. Sementara itu pemerintah juga menganjurkan
dilakukan sistim pooling penumpang. Artinya, orang yang biasa
mengendarai mobilnya sendirian boleh mencari kawan seperjalanan
3 atau 4 orang hingga tak perlu bayar bea masuk restricted zone.
Di antara mereka dapat bergiliran memakai mobil masing-masing.
Dan sekarang setelah sistim ini cukup lama berjalan,
kelompok-kelompok itu sudah mempunyai teman seiring secara
tetap. Bagi yang tak punya mobil biasanya membantu ongkos bensin
sekedarnya. Kepada instansi-instansi pemerintah maupun swasta
pemerintah Singapura juga menganjurkan agar mengadakan pembedaan
jam masuk dan pulang kerja.
Pada mulanya protes datang dari para pemilik mobil. Tapi apa
boleh buat peraturan jalan terus. Bagi pemilik mobil kini tak
ada jalan lain kecuali menjual mobilnya karena tak tahan
menanggung segala bea yang serba tinggi. Susahnya pula tak
begitu saja sang mobil dapat dilego, karena toh penduduk
Singapura sama-sama tahu risiko memiliki mobil. Harga mobil
terbanting, terutama yang telah berumur 7 tahun ke atas. Sebab
makin tua umurnya, pajaknya juga semakin mahal, bukan
sebaliknya. Akibatnya tak sedikit kenderaan yang masih berjalan
mulus dijual sebagai barang rongsokan seharga S$ 50 -- inipun
harus diantarkan penjualnya ke pabrik baja di Jurong, pusat
industri itu. Tak heran kalau banyak juga yang menawarkan
mobilnya secara cuma-cuma.
Semenjak itu memang lalu-lintas terasa lebih longgar, walaupun
tak berarti kemacetan hilang samasekali. Yang pasti karena beban
pajak begitu tinggi, jumlah mobil pribadi sangat jauh merosot.
Pasaran mobil juga belakangan ini telah merosot hingga 70%
dibanding sebelum ada perang anti kemacetan. Kalau dulu setiap
bulan sekitar 600 mobil baru terjual, akhir-akhir ini hanya
sekitar 200 buah saja. Tentu pukulan dirasakan langsung oleh
para pemilik perakitan maupun dealer mobil, bahkan hampir
seperduanya tutup usaha.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini