Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tak Sekedar Jual Beli Rumah

Ft-ui mengadakan seminar real estate di hotel hori son. dari 5 pemrasaran, 3 orang dari luar negeri. kesimpulannya bahwa sistem per-undang-undangan indonesia kurang membantu perkembangan real estate.

30 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MESKIPUN kegiatan jual beli tanah dan rumah sudah lama berlangsung dan dikenal di Indonesia, tak begitu dengan kegiatan yang disebut real estate. Usaha ini sebenarnya lebih luas dari sekedar usaha jual beli rumah maupun tanah. Namun di saat mulai merosotnya perdagangan rumah mewah dan setengah mewah -- yang di sini biasa dikenal sebagai salah satu kegiatan real estate -- kaum pengusaha real estate (REI) bekerjasama dengan Departemen PDK PUTL dan UI serta ITB masih sempat memikirkan perlunya pendidikan real estate di Indonesia. Untuk itu, dengan mengambil tempat di ruang Pulau Seribu, Hotel Horizon pertengahan Oktober yang lalu berseminarlah para kalangan yang dianggap bisa menyumbangkan fikirannya -- untuk pendidikan itu. FTUI bertindak sebagai penyelenggara. Memang, membandingkan Indonesia dengan Singapura misalnya, dalam kegiatan real estate terasa kurang senonoh. Tapi memulai sesuatu dengan perbandingan tak kurang artinya bagi pengenalan "apa itu real estate dan berapa luas jaringan kegiatannya". Maka itu dalam seminar ini tak urung dari 5 orang pemasaran, 3 di antaranya didatangkan dari luar negeri. Yaitu Prof. Eric Lim dari University of Singapore, Daniel Teo Tong How, dari Singapore Land & Housing Developers Association dan Alexis Nolde, sekretaris jenderal International Real Estate Federation (FIABCI). Dua pembicara dari Indonesia masing-masing Eric Samola SH, Ketua REI dan Padmo Wahyono SH dari FH-UI. Sebagai pembahas bertindak antara lain ir. Ciputra, Dr. Djunaidi Hadisumarto (FE-UI), Sarjono dari PUTL. Dan seminar yang dimaksudkan untuk menjajagi kemungkinan diselenggarakannya suatu pendidikan tentang "kereal-estatetan" itupun pada akhirnya tak banyak bicara tentang rencana pendidikan itu sendiri. Tapi lebih banyak mengutarakan masalah-masalah yang dihadapi usaha real estate di Indonesia. Perundang-undangan Sebagai usaha yang masih baru dan lebih banyak mencontoh negara-negara maju, kegiatan ini tentu saja masih banyak terbentur dengan perundang-undangan mengenai tanah dan bangunan di Indonesia. Katakanlah seperti yang disimpulkan seminar, "sistim perundangundangan di Indonesia tidak seluruhnya membantu perkembangan kegiatan real estate antara lain hak guna tanah yang jangka waktunya amat terbatas". Tak sekedar itu, masih seperti yang disimpulkan seminar, "prosedure pembelian tanah yang terlalu panjang dan perbedaan antara pengusaha Pemerintah dan swasta, dan mengenai penjualan tanah matang yang tak dibolehkan tanpa dibangun lebih dahulu", merupakan hal-hal yang oleh seminar dianggap kurang membantu lancarnya usaha di bidang ini. Sebab itu pula, seminar menyarankan agar terlaksana pendidikan real estate antara lain dengan mengusahakan kemungkinan penyusunan bahan-bahan bidang hukum. Tapi sebenarnya bukan cuma masalah perundang-undangan yang memungkinkan kurang lancarnya usaha ini. Bagi Indonesia yang menganut faham bahwa tanah memiliki fungsi sosial, kegiatan real estate seperti yang ada di negara-negara maju atau setengah maju, seperti Singapura, taklah mudah untuk ditrapkan begitu saja. Sebab itu pula seperti dikemukakan Sarjono dari PUTL, "kita harus membedakan antara housing need dan housing demand". Di Indonesia yang terbesar adalah kebutuhan rumah (housing need) tapi tak berarti permintaan akan rumah (housing demand) juga besar, tambahnya' Dan secara tegas dia menunjukkan bahwa permintaan akan rumah itu banyak kaitannya dengan tingkat kemampuan rakyat. Dengan kata lain -- kalau mau berbicara tentang penyediaan perumahan rakyat -- peranan Pemerintah sangat menentukan dalam hal ini. Sebagai perbandingan di Singapura bagi pembangunan rumah-rumah rakyat Pemerintah menyediakan kredit dengan bunga yang rendah dan jangka pembayaran kembali sekitar 30 sampai 60 tahun. Maka itu pula semacam rumus umum pun ditawarkan oleh Sarjono, "bahwa untuk mengusahakan penyediaan rumah rakyat perlu ada bank yang memberi kredit pada pembangun developer), kontraktor dan rakyat yang akan memiliki rumah tersebut". Namun harga tanah yang cukup mahal -- terutama di Jakarta -- menurutnya cukup menyulitkan dalam mengusahakan pembangunan rumah rakyat itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus