Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Lenyapnya Para Guru Tenun

Di tanah Batak, jumlah penenun ulos semakin tipis. Bahkan banyak teknik pembuatan tenun ulos warisan leluhur yang hilang.

23 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adong do partonun dison? (apakah di sini ada penenun)," tanya Sandra Niessen kepada orang-orang yang dijumpainya setiap kali tiba di kampung di sekitar Danau Toba.

"Ndang adong be halak na martonun dison (tak ada satu pun penenun di sini)," jawab mereka.

Berkali-kali antropolog Belanda itu menjumpai jawaban serupa ketika dia berkeliling Sumatera Utara pada 2010. Waktu itu dia hendak membagikan bukunya, Legacy in Cloth: Batak Textile of Indonesia (KITLV, 2009), kepada para penenun (partonun) yang dulu menjadi narasumber penelitiannya. Di berbagai daerah, jumlah penenun ulos menipis, entah karena sudah tua, berganti profesi, entah tutup usia. Yang kian menyesakkan dada Sandra, "guru" ilmu tenun yang dia kenal pada 1980-an di Harian Boho, Ompu ni Sihol, sudah meninggal.

Padahal, lebih dari 30 tahun sebelumnya, tepatnya pada 1979, antropolog lulusan Universitas Leiden, Belanda, itu masih menjumpai banyak penenun ulos. Saat itu, Sandra tengah melakukan riset untuk tesis PhD-nya yang berjudul Motifs of Life in Toba Batak Texts and Textiles.

Ketika Sandra, kini 59 tahun, kembali ke sana dua pekan lalu, dia semakin kaget. Dari beberapa tempat yang dia singgahi dengan "kapal budaya"-nya, ia menemukan bahwa penenun ulos yang masih hidup semakin langka. Itu pun kebanyakan usianya sudah uzur.

Kali ini Sandra berkelana bersama rekannya, M.J.A. Nashir, fotografer asal Pekalongan, serta kelompok musik Suarasama dan beberapa anak muda Batak yang ingin menggali kembali kekayaan seni tenun ulos. Perjalanan yang dilakukan dengan kapal bermotor ini mereka namakan Boat Budaya dan bagian dari program Pulang Kampung III, yang menandai kunjungan ketiga mereka ke sana.

Kamis dua pekan lalu, mereka mendatangi Desa Hutanagodang, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara. Daerah yang berada di sebelah selatan Pulau Samosir itu dulu punya banyak penenun. Hari itu mereka memutar Rangsa Ni Tonun, film tentang tenun ulos yang disutradarai Nashir dan diproduseri Sandra, di lapak salah satu penjual tenun ulos di pasar desa itu.

Ompu Nurhaida Siregar alias Ompu Rido, penenun ulos motif harungguan, asyik menonton film itu. Dia juga salah satu pemain dalam film tersebut, dan ini pertama kali dia menontonnya. Perempuan bertubuh mungil itu masih tampak amat cekatan di usia 55 tahun. Senyumnya lebar, cara bicaranya penuh semangat. Saat mengobrol tentang ulos, matanya tampak berbinar. Ia tertawa­ saat Tempo minta diajari membuat ulos. "Susah membuatnya. Bertahun-tahun (belajar) belum pasti bisa," kata ibu lima anak ini.

Sembari berjalan ke rumahnya, sekitar seratus meter dari pasar, Ompu Rido menceritakan ihwal putrinya, Lita Pakpahan, 23 tahun. Lita, kata dia, sudah bertahun-tahun belajar tenun ulos, tapi belum juga bisa mewarisi kemampuannya membuat ulos motif harungguan, ulos para raja yang langka. Menurut Ompu Rido, motif itu memang sulit, karena harus menyandingkan 15 motif ulos. Perlu keterampilan luar biasa dalam membuatnya.

Di kampung itu Ompu Rido adalah salah satu penenun yang bisa membuat ulos motif harungguan. Beberapa penenun lain hanya bisa membuat satu-dua motif ulos, seperti mangiring dan sibolang. "Pinginnya Lita bisa bikin harungguan juga seperti saya. Tapi memang butuh waktu buat dia untuk belajar," ujar penenun yang dulu berguru pada Naderpin Opu-Pahala boru Tobing (almarhum), tetangganya yang ahli tenun ulos, itu.

n n n

Selain di Muara, kelangkaan penenun terjadi di berbagai daerah di Sumatera Utara, seperti Samosir, Simalungun, Nainggolan, Simanindo, dan Parapat. Sandra tak menemukan lagi penenun di sana, padahal daerah-daerah itu dulu menghasilkan ulos berkualitas baik. Di Silindung masih ada penenun, tapi hanya segelintir yang paham benar soal ulos.

Banyak hal yang jadi penyebab menyusutnya jumlah penenun ulos di tano Batak. Salah satunya adalah nilai jual ulos yang tergolong rendah. Harga selembar ulos tak sebanding dengan kerumitan dan lamanya pengerjaan kain tersebut. Sebuah selendang ulos harungguan berukuran 1 x 2,4 meter bikinan Ompu Rido, misalnya, dibanderol Rp 300 ribu. Padahal, untuk membuat sebuah selendang, dia butuh waktu sepekan.

Prosesnya lama karena mencakup tahap meng-unggas (mencerahkan warna) benang, mangani atau merapikan benang, menenun, dan menambahkan sirat atau hiasan pengikat rambu ulos. Tahap mangani dan menenun sendiri membutuhkan waktu masing-masing dua hari agar menghasilkan kain yang indah dan rapi.

Rendahnya harga ulos itulah yang dianggap Sandra jadi salah satu penyebab banyak penenun akhirnya ogah-ogahan menekuni ulos dan memilih profesi lain, seperti pedagang dan petani. Di pasar sekarang memang masih banyak ulos, tapi kebanyakan bikinan mesin. "Di Simalungun, kain ulos dijual dengan harga lebih rendah daripada benang. Dengan kondisi seperti itu, bagaimana partonun sanggup terus menenun?" kata Sandra.

Anak-anak muda Batak juga tak melirik lagi pekerjaan menenun. Mereka lebih memilih profesi lain yang lebih praktis dan menjanjikan secara ekonomi. Kebanyakan putra atau kerabat penenun juga tak mewarisi ilmu menenun ulos, karena mempelajarinya butuh ketekunan dan ketelatenan tinggi serta waktu yang tak sebentar.

Menurut Sandra, saat ini kebanyakan warga Batak tak begitu kenal kualitas ulos. Banyak orang tertipu membeli ulos biasa dengan harga yang seharusnya untuk kualitas terbaik. Seorang penjual ulos kenalan Sandra di Silindung, Tapanuli Utara, misalnya, memberikan ulos kualitas kedua kepada pembeli yang meminta kualitas pertama. Mereka berani melakukan itu karena tahu pembeli mereka banyak yang tak memahami kualitas ulos. "Ulos bagi pembeli saat ini sekadar simbol, bukan lagi kebutuhan. Sebab, kalau itu kebutuhan, mereka akan peduli untuk mendapat ulos berkualitas," kata Sandra. "Di sisi lain, si penjual tahu, sekarang adalah zaman mereka akan dapat untung kalau mereka bisa memproduksi banyak barang."

Yang juga menggelisahkan Sandra adalah bergesernya tradisi ulos di kampungnya sendiri. Menurut Sandra, ada beberapa teknik menenun ulos yang kini tak digunakan oleh partonun. Misalnya teknik dalam pembuatan ulos runjat na bolak, yang memerlukan pewarna alam dari mengkudu untuk menghasilkan warna merah khas Batak. Pembuatan warna itu membutuhkan waktu hingga tahunan.

Maestro tenun ulos di Muara adalah ­Mutiara boru Pandiangan atau Ompu Ruth. Dia dulu, seperti penduduk Muara lain, biasa membuat ulos sejak dari membuat pewarna dari nila (salaon) hingga men­jadi kain. Namun tradisi itu kini hilang. Tak ada lagi yang membuat pewarna dan benang, sehingga Ompu Ruth pun harus membeli benang dan pewarna dari pasar.

Masyarakat Batak kuno sebenarnya menguasai teknik membuat ulos tanpa mesin. Itu tertuang dalam sastra lisan Batak, Rangsa Ni Tonun, yang kemudian diangkat Nashir dalam film yang berjudul sama. Film itu menggambarkan tahap-tahap pembuatan ulos, sejak dari kapas mentah hingga menjadi kain. Tak mudah untuk membuatnya, karena banyak peralatan pembuat ulos yang sudah tak ada lagi di sana. Untuk kebutuhan visualisasinya, Nashir memakai peralatan serupa dari daerah lain, seperti alat pemisah kapas dari biji yang memakai alat dari Bali.

Teknologi modern telah melenyapkan banyak teknik yang dulu dikuasai penenun, seperti membuat benang dan pewarna alam. "Separuh dari tahap-tahap itu sudah tak ada lagi," kata Sandra. Tradisi itu mulai terkikis sejak masa penjajahan Belanda, ketika Belanda membangun pabrik benang di Medan.

Penggunaan sejumlah motif ulos juga mulai berkurang, seperti motif tolu toho atau tiga garis horizontal. Menurut Sandra, bentuk motif ulos saat ini cenderung lebih besar karena lebih mudah dan cepat dibuat. "Padahal dulu orang membuat ulos dengan benang yang halus untuk menghasilkan ulos bermutu," katanya.

Tanda meredupnya tradisi tenun ulos sudah tampak nyata. "Ulos bisa punah 20 tahun mendatang," ujar Sandra.

Isma Savitri, Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus