Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua gadis Batak itu, Lasma Sitanggang, 22 tahun, dan Febrina Pakpahan, 21 tahun, tampak ceria mengikuti rombongan "kapal budaya" Sandra Niessen. Lasma gadis lulusan sekolah menengah asal Simalungun. Sedangkan Febrina gadis lulusan sekolah menengah atas asal Kabanjahe, ibu kota Kabupaten Karo, Sumatera Utara.
Dua gadis itu boleh dibilang adalah kader Sandra. Setiap kali blusukan ke kampung-kampung di tepian Toba, Sandra terus mencari anak muda yang mau belajar tenun dari para penenun yang telah renta. Sandra terutama mencari anak-anak muda yang tinggal di Muara, kampung di tepian Danau Toba yang sesungguhnya masih menyimpan banyak penenun andal.
Adapun Lasma adalah cucu Nai Naga Tua, bekas penenun yang kini sudah sakit-sakitan, dan keponakan Mamak Si Dirita, bekas ahli tenun ulos yang kini mengurus bisnis roti. Semenjak berkenalan dengan Sandra pada 2010, perempuan mungil berkulit sawo matang itu pun mulai mengumpulkan alat tenun dari sekeliling rumahnya yang tak terpakai lagi, terutama milik sang nenek. Ia kemudian belajar menenun dari sang nenek, juga dari setiap penenun yang dijumpainya.
Febrina, setelah bertemu dengan Sandra, pun bertekad terus belajar agar ulos aman dari kepunahan. Dia terus menggali sejarah ulos dari Sandra. Sandra membawa mereka ke Ompu Rido Nurhaida Siregar alias Ompu Rido, 55 tahun, partonun atau penenun asal Desa Hutanagodang, Kecamatan Muara, Tapanuli. Ompu Rido dikenal memiliki keterampilan langka membuat motif harungguan.
Ulos motif harungguan adalah ulosnya para raja. Selendang itu berwarna merah marun terang di sisi kanan dan kirinya. Sedangkan di bagian tengahnya ada lima belas motif berwarna-warni berjejer rapi, di antaranya mangiring, sibolang, ragihotang, maratur toba, surisuri sasnggar, ragi sikkam, ragi bintang, hait marsutsang, hait simullopmullop, dan ragi idup. Ulos harungguan dulunya digunakan untuk acara adat (ulaon) Harajaon dan Hasuhutan. Tak sembarang penenun bisa membuatnya. Banyak perempuan Hutanagadong yang pandai menenun, tapi hanya jari-jemari Ompu Rido yang bisa meracik harungguan.
Ibu lima anak itu belajar menenun sejak masih gadis, saat usianya masih 20-an tahun. Ia berguru pada mendiang Naderpin Opu-Pahala boru Tobing. "Ibu saya dulu hanya bisa membuat motif sibolang, karena itu saya belajar membuat harungguan dari perempuan boru Tobing di kampung ini," katanya kepada Tempo di rumahnya, tak jauh dari Pasar Muara.
Saat ini Ompu Rido tengah menurunkan ilmunya kepada putri keempatnya, Lita Pakpahan, 23 tahun. Dari empat putrinya, hanya Lita yang ingin serius mengulos. Lita belajar harungguan sejak kecil. Toh, hingga kini ilmu tenun harungguan belum dapat dikuasai perempuan kurus berambut panjang itu. "Kalau hanya bertenun, saya bisa. Tapi motif harungguan susah. Belajar bertahun-tahun pun belum pasti bisa," ujar Lita, sarjana bahasa Inggris Universitas Sisingamangaraja.
Kehadiran anak muda seperti Lita, Lasma, dan Febrina serupa cahaya dan harapan bahwa tradisi ulos tak akan sirna. "Ini seperti menanam biji tanpa paksaan. Semoga pengalaman (dengan "kapal budaya") ini bisa membuka mata dan jalan masa depan mereka," kata Sandra.
Isma Savitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo