Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kapal itu sangat mencolok di antara kapal lain yang bersandar di dekat Hotel Duma Sari, Tuktuk, Samosir, Sumatera Utara, Selasa dua pekan lalu. Kapal motor dengan dek tingkat itu panjangnya 21 meter dan tinggi 6 meter. Kapal berkapasitas 150 penumpang itu meriah dengan aneka warna: hijau, merah muda, biru, dan putih.
Di geladak kapal itu berdiri Sandra Niessen, antropolog lulusan Universitas Leiden, Belanda. "Selamat datang di rumah kami," ujarnya disusul senyum lebar. Sandra bertubuh jangkung. Rambut pirangnya dipotong cepak dan di sela-selanya sudah mulai tumbuh uban. Sore itu ia mengenakan jaket merah, celana bahan krem berlapis sarung, dan kacamata oval tanpa bingkai.
Kapal itu adalah alat transportasi utama Sandra dalam program Pulang Kampung III, kunjungan ketiganya ke kampung-kampung di pinggiran Toba dan sekitarnya untuk berkampanye tentang tenun ulos. Perjalanan yang dilakukan dengan kapal bermotor ini mereka namakan Boat Budaya. Tapi perjalanan kali ini beberapa kali tertunda karena cuaca tak memungkinkan.
Siang itu bahkan awan gelap sudah menggantung di langit. Ruangan dek atas kapal tempat kami berbincang jadi gelap. Sandra lalu meminta dua gadis Batak yang ikut rombongan itu, Lasma Sitanggang dan Febrina Pakpahan, menyalakan dua lampu tenaga surya. Kedua gadis itu kemudian bergabung mengobrol dengan kami di atas tikar plastik biru.
Di ruangan itu ada pula M.J.A. Nashir, seniman asal Pekalongan yang selama ini mendampingi Sandra sejak awal proyek Pulang Kampung, yang dimulai pada 2010. Ada pula dua lelaki Batak, Ojak Tamperaja Silaban dan Paul Manahara Tambunan, serta Jery, lelaki dari Yogyakarta yang disebut Sandra "si manajer yang bisa membereskan segala hal". Mereka adalah anggota rombongan yang menemani Sandra sejak awal September lalu dalam "kapal budaya"-nya.
Di kapal itu, Sandra dan rombongan menyimpan perlengkapan, beristirahat, tidur, mengetik, dan menggelar pameran ulos sebagai bagian dari Festival Danau Toba 2013. Sarapan, makan siang, dan makan malam juga mereka lakukan di dalam kapal. Sang koki, Jery, jago meracik beragam masakan, seperti cap cay, tumis kangkung, dan sop ikan.
Kapal dipilih Sandra sebagai moda transportasi karena ia ingin bernostalgia dengan kebiasaan warga Tuktuk di masa lampau. "Orang Batak zaman dulu berdagang ulos memakai perahu, mengunjungi onan bolon (pasar besar) yang digelar seminggu sekali di berbagai daerah sekitar Toba," ujar perempuan Belanda yang fasih berbahasa Indonesia dan Batak itu. "Lagi pula, pakai perahu asyik. Lebih sehat, nyaman, dan 'lebih Batak'," katanya.
Dengan kapal itu mereka berkampanye tentang pentingnya menjaga tradisi ulos, kain tradisional Batak. Kampanye tak hanya dilakukan lewat diskusi dengan penduduk kampung di sekitar Danau Toba, tapi juga dengan memutar film tentang ulos, Rangsa Ni Tonun, di berbagai tempat yang disinggahi. Kapal itu mulai berlayar dari pelabuhan Tigaras, Kabupaten Simalungun, di utara Toba, pada 6 September lalu, dan merapat di Tuktuk pada 9 September sore. Kapal kembali bergerak pada 12 September menuju Kecamatan Nainggolan. Dari Tuktuk ke Nainggolan dibutuhkan waktu sekitar empat jam.
Dari Nainggolan, kapal kembali berlayar selama satu jam hingga akhirnya menepi di Kecamatan Muara, Tapanuli Utara. Keesokan harinya, Boat Budaya melanjutkan perjalanan selama dua jam ke Kecamatan Laguboti. Di sana Sandra menggelar diskusi tentang ulos di Universitas Del. Selepas diskusi, Boat Budaya kembali ke Tuktuk untuk menghaÂdiri penutupan Festival Danau Toba.
Perjalanan Sandra kali ini membawa misi penting: mengembalikan 17 ulos tradisional yang hampir punah ke tano Batak. Kain-kain itu dihibahkan oleh Stephanie Belfrage, warga Australia yang terkesan oleh perjuangan Sandra untuk menghidupkan kembali tradisi ulos. Nantinya kain itu akan disimpan di Museum Tekstil Jakarta.
Mereka juga memutar film Rangsa Ni Tonun (Paparan tentang Tenun) karya Sandra dan Nashir. Film tersebut merupakan visualisasi naskah berjudul sama yang dibuat orang Batak Toba, Guru Sinangga ni Adji, pada 1872. Yang mencengangkan bagi Sandra, naskah itu justru tak ia dapatkan di tanah Batak, tapi di Museum Vereinte Evangelische Mission di Wuppertal, Jerman. "Jadi pemutaran film ini semacam memulangkampungkan budaya Batak ke 'rumah'-nya," ujar Sandra.
Gerimis belum berhenti saat Sandra berkisah tentang petualangannya ke kampung-kampung sekitar Danau Toba. Menurut Sandra, karena tak dikejar target, mereka tak terlalu ngoyo menjalankan proyek ini. Yang jelas, dalam satu titik singgah, mereka berusaha menjangkau sebanyak mungkin orang untuk menonton film Rangsa Ni Tonun dan mengajak berdiskusi tentang ancaman kepunahan tenun ulos.
Tempat Sandra memutar film itu beragam. Di Tigaras, semula mereka mengajak warga kampung menonton di lapangan terbuka. Tapi, karena hujan, acara pun pindah ke rumah seorang warga setempat. Meski demikian, Sandra bersyukur, hal itu tak menyurutkan niat para pemuda kampung untuk menyaksikan karyanya.
Lain lagi saat di Hasinggaan. Di sana acara berlangsung di altar gereja berkat dorongan salah seorang penenun kampung itu, Ompu Sandra. Tapi acara di Silalahi gagal karena cuaca buruk. "Malam itu hujan deras dan gelombang (danau) cukup besar, sehingga membuat kami tidak berselera turun ke kampung," kata Sandra.
Acara ini sekaligus jadi kesempatan bagi Sandra untuk berjumpa kembali dengan para penenun ulos yang sudah sepuh. Para penenun itulah yang sejak 1979 membantu perempuan kelahiran Toronto, 17 November 1954, tersebut menggarap tesis untuk gelar PhD-nya yang berjudul Motifs of Life in Toba Batak Texts and Textiles dan buku tentang ulos, Legacy in Cloth: Batak Textile of Indonesia (2009).
Dalam acara serupa tahun lalu, Sandra berkeliling membagikan buku Legacy in Cloth seharga sekitar Rp 1 juta itu kepada para penenun ulos tersebut. Menurut Sandra, apa yang dilakukannya seperti menanam benih. "Saat itu saya membagikan buku ke sana-sini, tapi tidak tahu seperti apa hasilnya. Yang saya harapkan, buku ini akan memberi makna di kampung si penenun," ucapnya.
Harapan Sandra terkabul. Jauh hari setelah buku itu dibagikan, Sandra menerima pesan di akun situs jejaring sosial Facebook miliknya dari seseorang bernama Febrina Pakpahan dari Kabanjahe, ibu kota Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Gadis itu berterima kasih kepada Sandra karena telah membuatnya lebih menghargai budaya Batak lewat buku yang dulu dibagikan.
Keduanya kemudian berkomunikasi lewat Facebook, hingga akhirnya Febrina tertarik mengikuti perjalanan Sandra dengan "kapal budaya"-nya. "Febrina, seperti halnya Lasma Sitanggang yang ikut kapal ini, adalah anak yang cerdas dan baik. Saya melihat anak-anak dengan kapasitas dan kecerdasan seperti itulah yang nantinya bisa melestarikan budaya mereka sendiri," ujar Sandra.
Ketertarikan Sandra pada budaya Batak dimulai ketika dia membaca buku The Structure of the Toba-Batak Belief in The High God (1962) karya Philip Lumbantobing. Buku yang diperkenalkan oleh Profesor Shuichi Nagata itu pula yang mempengaruhi Sandra untuk mengubah fokus risetnya, dari yang semula tentang tulisan Batak menjadi tradisi tenun ulos.
Pada 1979, perempuan murah senyum itu pun mulai "menyusup" ke pelbagai pelosok di Sumatera Utara yang dikenal sebagai penghasil ulos, seperti Toba, Simalungun, dan Karo. Namun yang dijumpainya ternyata tenun ulos tak lagi jadi primadona seperti zaman dulu. Hanya segelintir perempuan tua yang mahir menenun ulos. Sedangkan anak mudanya memilih merantau atau mencari pekerjaan lain.
Situasi itu membuat Sandra terpukul. "Pada satu sisi, saya melihat bagaimana keterampilan membuat ulos sangat tinggi. Ada keterampilan dan kekayaan budaya yang mewujud dalam sebuah ulos. Sedangkan di sisi lain, saya melihat anak-anak sekarang yang lebih suka main komputer dan 'memakan' apa saja yang disajikan Amerika lewat televisi. Dunia macam apa ini?" katanya.
Bagi Sandra, ulos semestinya lestari dan terus dihidupkan oleh manusia, terutama warga Batak. Sebab, dalam jalinan benang lungsin dan pakan pada ulos terdapat pesan para leluhur. Ia mencontohkan lembaran ulos jenis Ragi Idup yang dimilikinya sejak berpuluh tahun lalu. Pada ulos tersebut, perempuan berkacamata itu dapat menyimak pandangan hidup khas Batak zaman dulu. Misalnya soal tiga tingkat dunia: atas, tengah, dan bawah, yang terwujud dalam tiga bagian ulos.
"Ulos yang baik itu seperti yang dibuat pada zaman dulu. Proses penenunannya serupa dengan meditasi bagi partonun (penenun). Dalam ulos tersebut ada doa yang ditiupkan untuk tujuan-tujuan yang baik bagi pemakainya kelak," kata Sandra. "Pada ulos pula terdapat pandangan hidup orang Batak. Ibaratnya, jika kita memberikan sebuah kain ulos untuk orang lain, kita seperti memberikan seluruh dunia kepadanya," ujarnya.
Isma Savitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo