Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
sebagai Kepala Staf Umum Markas Besar ABRI, Letnan Jenderal (Purn.) Soeyono dituding sengaja "menghindar" menjelang peristiwa Sabtu Kelabu, 27 Juli 1996. Empat hari sebelumnya, ia meninggalkan Jakarta menuju Jawa Timur, lantas terbang ke Sulawesi Utara. Pada saat Ibu Kota mulai genting, dia disebut-sebut malah asyik bermotor besar di Manado hingga mendapat kecelakaan yang mencederai kaki dan mematahkan tangan kirinya.
Soeyono membantah tudingan itu. Malam sebelum penyerbuan ke markas Partai Demokrasi Indonesia itu, dia memang sudah berada di Jakarta. Namun, akibat kecelakaan, dia langsung dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto di kawasan Kwitang. "Berjalan saja susah sekali," katanya.
Soeyono juga mengaku tak tahu-menahu soal operasi penyerbuan itu. "Saya tidak pernah diajak bicara karena itu operasi sosial dan politik," katanya. Namun, begitu penyerangan di Sabtu subuh itu memicu kekacauan yang meluas, mau tak mau Soeyono mengambil inisiatif komando. Ia memanggil Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang kala itu menjabat Kepala Staf Komando Daerah Militer Jaya, yang menurut dia berada di sekitar lokasi kejadian di Jalan Diponegoro 58 pagi itu.
Untuk menegaskan versinya tentang peristiwa itu, pada 18 Juni lalu Soeyono menggelar konferensi pers dan menghadirkan petugas keamanan rumahnya, Chairul Anwar, 37 tahun, sebagai saksi. Chairul mengaku, pada Sabtu pagi 27 Juli 1996 itu dia sempat mengantar Sutiyoso dan SBY bertemu dengan Soeyono di rumah sakit. Kedua petinggi militer itu sebelumnya masuk rumah Soeyono, yang hanya berselang satu rumah dengan kantor Dewan Pimpinan Pusat PDI yang diserbu, dengan melompati pagar.
Kepada Agung Rulianto dan Y. Tomi Aryanto dari TEMPO, Soeyono sendiri bercerita hampir dua jam tentang hari-hari yang kontroversial itu. Dia tetap dengan pandangan yang sudah sering dikemukakan, bahwa meski terlibat dalam operasi, SBY bukan orang yang harus dimintai pertanggungjawaban. Petikannya:
Anda dianggap sengaja menghindar dari operasi 27 Juli itu?
Memang cerita seperti itu sengaja disebarkan. Saya dikatakan pergi tanpa izin. Padahal saya ke Jawa Timur meninjau pabrik gula milik (mantan Menteri Keuangan) Pak Radius Prawiro yang sedang menghadapi sengketa pertanahan, lalu ke Sulawesi bertemu dengan panglima kodam karena akan ada latihan militer bersama Filipina. Ada dua izin yang saya kantongi.
Bukankah Anda ikut reli motor besar?
Pejabat lain kalau mau main golf di Bali juga sering berbarengan dengan saat menjalankan tugas kunjungan. Kebetulan saya kan tidak suka golf, tapi suka motor besar. Dan kebetulan lagi waktu itu lintasan yang mereka lewati sama dengan daerah yang saya kunjungi.
Bagaimana mungkin Anda tidak tahu operasi itu?
Saya tidak pernah diajak bicara karena itu operasi sosial dan politik. Jadi, itu berada di bawah Syarwan Hamid sebagai Kepala Staf Sosial Politik ABRI kala itu. Tapi, begitu penyerbuan itu memicu kerusuhan luas, otomatis itu jadi urusan saya karena melibatkan pengerahan pasukan lebih besar, yang tidak hanya berasal dari satu kesatuan atau kodam. Dan hasilnya, kekacauan teredam dua hari kemudian.
Anda memerintah pasukan dari rumah sakit?
Saya panggil SBY yang waktu itu ada di sekitar lokasi kejadian. Perintah saya jelas, kerahkan pasukan sebanyak-banyaknya ke Ibu Kota. Beberapa pemberangkatan pasukan ke daerah pun kami batalkan. Bahkan ada kapal yang sudah berangkat mau ke Kalimantan kami perintahkan untuk kembali.
Kenapa Anda mengontak SBY, bukannya Sutiyoso sebagai panglima kodam?
Saya ini orang kedua, jadi komunitasnya biasanya juga lebih akrab dengan orang nomor dua. Saya tahu Sutiyoso pasti sibuk waktu itu.
Jadi benar bahwa SBY ada di sana ketika penyerbuan itu?
Seorang kepala staf biasanya selalu mendekati daerah operasinya. Tugasnya memperlancar komunikasi dengan panglima. Diminta atau tidak, dia harus memberikan masukan. Soal dipakai atau tidak, itu sudah keputusan panglima.
Sebagai kepala staf kodam, tentu SBY tahu benar operasi itu?
Kepala staf itu ibarat leher. Apa pun yang masuk atau keluar mulut pasti akan melalui dia juga. Tapi, kalau ada apa-apa, sering ia yang digantung duluan. Padahal mestinya tidak begitu. Dalam militer itu semuanya sangat jelas tentang siapa bertugas apa. Dalam hal ini, tanggung jawab ada di panglima. Meskipun dia (SBY) memimpin rapat-rapat, itu harus dilihat dia hanya melaksanakan keputusan dan perintah panglima. Tanggung jawab komando itu sangat jelas, dan dalam militer dipertegas melalui tanda kepangkatan yang dikelilingi warna merah plus tongkat komando. Seorang kepala staf (seperti SBY) tidak punya keduanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo