Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kartu Truf di Putaran Kedua

Menjelang pemilihan presiden putaran kedua, kasus kerusuhan 27 Juli diungkit lagi. Alih-alih diungkap tuntas, tragedi ini jadi komoditas politik yang tak habis-habisnya.

26 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepenggal jalan di jantung Kota Jakarta tiba-tiba menjadi ladang kuburan pekan lalu. Puluhan nisan tripleks berserakan di kanan-kiri jalan di depan bangunan kusam di Jalan Diponegoro 58. Seorang sopir taksi melambatkan laju mobilnya, melongok ke bangunan yang mendadak ingar-bingar dan ramai spanduk itu. "Wah, mau ada rame-rame lagi, Pak?" katanya kepada seorang lelaki berbaju hitam yang berdiri di trotoar. "Ya, ini peringatan 27 Juli," kata lelaki itu.

Sejak awal pekan lalu serangkaian acara peringatan peristiwa 27 Juli 1996 telah digelar di bekas Kantor Pusat Partai Demokrasi Indonesia (PDI) itu. Selain pemasangan nisan di sepanjang jalan, mereka pun membentangkan spanduk, menggelar diskusi dan mimbar bebas, serta memainkan musik keras. Malam harinya beberapa film pun diputar.

Tak cuma di Jakarta, peringatan serupa akan dilakukan korban dan simpatisan PDI Perjuangan serentak di 47 kota lainnya. "Kami ingin mengingatkan kembali arti penting tragedi ini kepada generasi muda," kata Jimmy Matitaputty, ketua panitia nasional.

Yang membedakan peringatan kali ini dengan sebelumnya adalah konteksnya. September nanti, kedua orang yang terkait dengan tragedi kelam itu akan maju ke putaran kedua pemilu presiden. Yang satu Susilo Bambang Yudhoyono?ketika itu adalah Kepala Staf Kodam Jaya?dan yang lain Megawati Soekarnoputri, Ketua PDI yang dilengserkan pemerintah Orde Baru.

Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), yang selama ini mendampingi korban, menohok SBY. Mereka mengusulkan kepada Tim Penyidik Koneksitas agar empat bekas perwira tinggi yang selama ini hanya menjadi saksi segera dijadikan tersangka. Selain Susilo, ketiganya adalah Panglima ABRI Jenderal (Purn.) Feisal Tanjung, bekas Kapolri Jenderal Polisi (Purn.) Dibyo Widodo, dan mantan Kepala Staf Sosial dan Politik Letjen Syarwan Hamid. "Aneh jika otak penyerbuan tidak jadi tersangka," kata Ketua TPDI, R.O. Tambunan, tokoh yang pernah dekat dengan Megawati.

Di lain pihak, tak lama setelah Tambunan dan kawan-kawan melontarkan serangan, dari kubu SBY muncul serangan balik. Sejumlah pendukung SBY lalu membentuk Tim Pembela Demokrasi dan Keadilan (TPDK). Dimotori pengacara Firman Wijaya, tim itu menganggap gugatan TPDI tak masuk akal. "Tanpa bukti kuat, mereka mencampuri proses hukum dengan meminta SBY jadi tersangka," ujar Firman. Jakobus Kurniawan, bekas pengurus Partai Rakyat Demokratik yang juga menjadi korban 27 Juli, justru bakal menggugat balik Megawati. "Megawati juga harus diperiksa, dia membiarkan aksi penyerbuan itu terjadi," ujar Kurniawan, yang kini bergabung dengan TPDK. Kini, kata Kurniawan, mereka sedang menyiapkan bukti dan saksi.

Saling serang ini bermula dari kisah 11 tahun lalu. Ketika itu Megawati Soekarnoputri terpilih menjadi Ketua Umum PDI di kongres luar biasa Surabaya. Meski secara resmi telah diterima Presiden Soeharto dan Menteri Dalam Negeri Yogie S. Memed, kepopuleran Mega dianggap bisa "mengganggu" kekuasaan Orde Baru.

Lalu perseteruan internal bertemu dengan kepentingan pemerintah. Fatimah Achmad, salah satu ketua PDI, mengusulkan Kongres PDI ke Departemen Dalam Negeri. Bersama penentang Mega lainnya, akhirnya ia berhasil menggelar kongres di Medan pada Juni 1996. Pemerintah mendukung kongres itu dan Soerjadi terpilih sebagai ketua umum.

Mega dan pendukungnya melawan. Setelah long march ribuan pendukung PDI menuju Monas pada Juni 1996 digebuk aparat Kodam Jaya, Mega bersama para pengurus dan simpatisan PDI yang setia, memilih bertahan di kantor DPP. Para aktivis prodemokrasi pun menyelenggarakan mimbar bebas di kantor itu sebagai bentuk dukungan kepada Mega.

Pemerintah meradang. Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung menilai aktivitas mereka sudah menjurus makar. "Saya kira itu PKI," ujar sang jenderal. Soeharto menyebut di Kantor DPP banyak setan gundul?tuding yang diarahkan ke aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD).

Rencana pengambilalihan Kantor DPP PDI lalu dirancang. Berdasarkan hasil penyidikan Tim Penyidik Polri dipimpin Kepala Korps Reserse Polri Irjen Chairuddin Ismail pada 22 Februari hingga 18 April 2000, terungkap serangkaian pertemuan para pejabat militer dan pendukung Soerjadi. Selain ada pertemuan di rumah Soeharto di Jalan Cendana pada 19 Juli 1996, dokumen penyidikan itu juga mengungkapkan adanya rapat pada 24 Juli 1996 pukul 22.00 di Kodam Jaya, yang dipimpin Kepala Staf Kodam Jaya Brigjen S.B. Yudhoyono (lihat Selimut Politik Sabtu Kelabu). Komnas HAM mencatat dalam insiden Sabtu kelabu itu 5 orang tewas, 149 luka-luka, dan 74 hilang.

Kini tragedi itu jadi konsumsi politik. Kata Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Max Sopacua, usul TPDI untuk mengusut SBY hanyalah upaya tim sukses Mega untuk mengganjal langkah Yudhoyono ke kursi kepresidenan. Sebab, Yudhoyono sudah dimintai kesaksiannya oleh Tim Koneksitas pada tahun 2000 dan 2001. Selama ini Yudhoyono tak pernah ditetapkan sebagai tersangka, dan bahkan diangkat Mega menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan dalam kabinetnya. "Jadi, janganlah membodohi rakyatlah," ujarnya.

Sulit, memang, untuk tidak menduga ada udang di balik kasus ini. Beberapa anggota TPDI yang keras menuding SBY adalah fungsionaris PDIP seperti Amin Arjoso, Trimedya Pandjaitan, dan Didi Supriyanto. Kampanye antimiliter yang didengungkan Jimmy pun jelas menguntungkan Mega.

Sebulan lalu, Yudhoyono pun telah menegaskan bahwa munculnya kembali kasus 27 Juli ini karena keinginan "pusat kekuasaan". Sebagai orang yang pernah menjadi pejabat pemerintah, katanya, ia sangat tahu sesuatu yang wajar dan tak wajar jika suatu masalah diangkat. "Enggak ada angin enggak ada hujan kok tiba-tiba begitu," ujarnya kepada TEMPO.

Namun, Ketua Tim Koneksitas 27 Juli, Komisaris Jenderal Suyitno Landung, membantah adanya instruksi dari pemerintah untuk membuka kasus itu kembali. "Kalau waktunya bertepatan menjelang pemilihan presiden, itu kebetulan saja," ujarnya. Sekretaris Jenderal PDIP Sutjipto juga membantah dugaan bahwa kemunculan kembali kasus ini rekayasa tim sukses Mega.

Menurut Sutjipto, TPDI dan panitia pelaksana peringatan 27 Juli itu tidak ada kaitannya dengan PDIP. "Dengan naiknya kasus ini, mereka malah menggali lubang untuk Mbak Mega," ujarnya. Dwi Ria Latifa, orang dekat Mega, justru menilai kasus ini dipakai untuk memojokkan Mega karena Yudhoyono jadi terkesan teraniaya lagi. "Mbak Mega malah meminta kasus ini diselesaikan setelah pemilu," ujarnya.

Ketua panitia peringatan, Jimmy Matitaputty, maupun Tambunan menyatakan langkah mereka bukan atas perintah Mega ataupun tim suksesnya. "Saya sudah tiga tahun tidak ketemu Mega," kata Tambunan. "Enggak ada dana Mega Center, kita hanya punya tujuh juta perak dan masih ngutang sewa sound system," ujar Jimmy. Tuduhan Sutjipto bahwa R.O. Tambunan mengangkat kembali kasus 27 Juli untuk mendapatkan keuntungan pribadi disangkal Tambunan. "Saya sudah tak punya keinginan politik lagi," katanya.

R.O. Tambunan memang menyebut bahwa setelah pemilu presiden putaran pertama 5 Juli lalu, ia pernah diundang makan pagi di Lagoon, Hotel Hilton, dengan beberapa pengurus Partai Demokrat. "Mereka menawarkan untuk bertemu Yudhoyono, tapi saya enggak mau," ujarnya. Pertemuan itu akhirnya tak berlanjut. Max Sopacua mengaku tidak pernah mendengar ada penugasan Partai untuk menemui Tambunan.

Dengan saling serang ini, akankah selaput kabut 27 Juli terungkap? Direktur Imparsial Munir meragukannya. "Seperti kartu truf, pada saat-saat terdesak seperti saat ini kasus 27 Juli bisa dipakai untuk menekan lawan," ujarnya.

Telah lama memang pemerintah tak serius mengusut kasus ini. Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, Ketua PDI Soerjadi dan wakilnya, Buttu Hutapea, ditetapkan sebagai tersangka dan sempat mendekam di tahanan Markas Besar Polri. Tapi para jenderal militer dan polisi saling lempar tanggung jawab dan saling menyalahkan.

Di pengadilan hanya pelaku sipil di lapangan yang dijamah hukuman. Prajurit Brigif I Jaya Sakti dan Brimob Polda Metro Jaya yang mendukung penyerbuan luput. Para perwira militer dan polisi yang dikelompokkan sebagai perencana dan pendukung operasi disisihkan menjadi saksi. Sedangkan aparat yang terjerat?Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya Kolonel Budi Purnama dan Kapten Soeharto?divonis bebas. "Tak ada unsur kekerasan yang mereka lakukan," kata Rukmini, ketua majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Januari lalu.

Proses penyidikan di Mabes Polri juga terhenti, menyusul kesepakatan DPR dan pemerintah agar kasus 27 Juli 1996 ini ditangani secara koneksitas. Alasannya, militer terlibat dalam penyerbuan kantor itu. "Padahal penyidikan sudah mengarah ke beberapa kategori tersangka," kata Chairuddin. Sejak intervensi parlemen itu pula, kasus 27 Juli 1996 itu macet (lihat infografik).

Mega pun seperti melupakan sejarah kelam tersebut. Ia, misalnya, tak pernah datang ke acara peringatan kerusuhan itu. Keputusan Mega untuk mendukung bekas Pangdam Jaya Sutiyoso menjadi Gubernur DKI Jakarta untuk periode kedua dinilai juga mengkhianati korban 27 Juli.

Itulah sebabnya, kata Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara, demi keadilan, siapa pun presiden yang terpilih nanti, mestinya segera menuntaskan kasus ini. "Siapa pun yang terpilih, ia bertanggung jawab atas penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi di masa lalu dan sekarang," kata Abdul Hakim.

Harapan yang terasa jauh panggang dari api.

Hanibal W.Y. Wijayanta, Agung Ruliyanto, Tomi Aryanto


Pada Awalnya, 27 Juli?

4 Juni 1996
Enam belas pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia, dimotori Fatimah Achmad, S.H.?yang lalu disebut Kelompok 16?membentuk panitia Kongres PDI. Mereka menggugat musyawarah nasional yang memilih Megawati sebagai Ketua Umum PDI. Kelompok ini didukung pemerintah dan ABRI.

5 Juni 1996
Kelompok 16 memutuskan menyelenggarakan kongres di Medan. Kelompok Mega menolak.

19 Juni 1996
Ribuan warga PDI pro-Mega melakukan long march dari Jalan Thamrin ke kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta. Mimbar demokrasi atau sering disebut mimbar bebas pun dimulai. Mega memecat Kelompok 16.

20 Juni 1996
Menteri Dalam Negeri Yogie S.M. membuka Kongres PDI di Medan, Sumatera Utara, dihadiri Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung. Di Jakarta, massa PDI pro-Mega bentrok dengan aparat keamanan di Gambir.

21 Juni 1996
Megawati menyatakan dirinya tetap sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat PDI periode 1993-1998.

22 Juni 1996
Kongres PDI di Medan memilih Drs. Soerjadi sebagai ketua umum dan sehari kemudian menunjuk Buttu Hutapea sebagai sekretaris jenderal.

15 Juli 1996
Pertemuan Kepala Staf Sosial Politik ABRI Letjen Syarwan Hamid, Syamsir Siregar (Badan Intelijen ABRI), dan Asisten Sosial Politik ABRI Soewarno Adiwidjojo membahas dan menyetujui pengambilalihan paksa kantor PDI, pengucuran dana Rp 300 juta, dan penyiapan 500 personel dengan tongkat sebagai senjata.

23 Juli 1996
Kolonel Haryanto, Letkol Budi Purnama, Lukman Mokoginta, dan Sahala Sinaga di Cibubur membicarakan rencana penyerbuan kantor PDI. (Kepada penyidik Markas Besar Kepolisian RI, Lukman mengatakan menolak berpartisipasi dan mengundurkan diri dari operasi itu.)

24 Juli 1996
Pertemuan di Komando Daerah Militer Jaya, yang dipimpin Kepala Staf Kodam Jaya Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono, dihadiri Brigjen Zacky A. Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko Santoso, dan Alex Widya Siregar, memutuskan penyer-buan dan pengambil-alihan kantor PDI.

25 Juli 1996
Presiden Soeharto menerima 11 anggota Dewan Pimpinan Pusat PDI hasil kongres Medan di Bina Graha. Soeharto mengatakan mimbar bebas di Jalan Diponegoro 58 telah disusupi "setan gundul" dan harus dihentikan.

27 Juli 1996
PDI pro-kongres Medan mengambil alih kantor PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat. Bentrokan berdarah pecah. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencatat 5 orang tewas, 149 luka-luka, 23 orang hilang, dan 124 orang ditahan. Sebanyak 22 bangunan terbakar dan 91 kendaraan bermotor hangus. Kerugian material ditaksir sekitar Rp 100 miliar. Pemerintah menuding Partai Rakyat Demokratik (PRD) pimpinan Budiman Sudjatmiko sebagai dalang kerusuhan. Sebelum 27 Juli, hampir selama sebulan, aktivis PRD turut menggelar orasi di halaman kantor PDI.


27 Juli, Pada Akhirnya?

15 Februari 2000
Kepala Kepolisian RI Letjen Rusdihardjo berjanji penyidikan terhadap kasus 27 Juli 1996 akan tuntas dalam waktu tiga bulan.

1 Maret 2000
Sekretaris Jenderal PDI Buttu Hutapea dan Alex Widya Siregar dipanggil tim penyidik Mabes Polri sebagai tersangka.

23 September 2000
Bekas Panglima Kodam Jaya Letjen (Purn.) Sutiyoso menegaskan kembali bahwa pengambilalihan kantor PDI adalah atas perintah Presiden Soeharto. Sutiyoso ditetapkan sebagai tersangka bersama Soerjadi (Ketua Umum PDI) dan Yorrys Raweyai (tokoh Pemuda Pancasila).

5 Desember 2001
Kepala Polri Da'i Bachtiar berjanji akan membuka kembali kasus 27 Juli yang masih terkatung-katung dan belum ada upaya penuntasannya.

Agustus 2002
Kejaksaan mengembali-kan berkas tersangka.

6 Januari 2004
Empat tersangka kasus 27 Juli dibebaskan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mereka adalah Rahimi Ilyas dan Mohamad Tanjung (sipil) serta Kolonel CZI Purn. Budi Purnama (bekas Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya) dan Kapten Inf. Suharto (mantan Komandan Kompi C Detasemen Intel Kodam Jaya).

11 Juni 2004
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Pramono Anung mengatakan Presiden Megawati Soekarnoputri menginginkan pengusutan kasus 27 Juli ditunda sampai pemilihan langsung presiden dan wakil presiden 2004 selesai dilaksanakan.

14 Juni 2004
Tim koneksitas mengirim lagi berkas Sutiyoso dan kawan-kawan ke Kejaksaan Tinggi Jakarta. Berkas pemeriksaan Sutiyoso dijadikan satu dengan berkas tersangka lain, yakni Kolonel Haryanto (bekas Asisten Intelijen Kodam Jaya) dan Kolonel Tri Tamtomo (bekas Komandan Brigade Infanteri 1 Pengamanan Ibu Kota Jaya Sakti).

16 Juni 2004
Tim penuntut umum dibentuk, diketuai Jaksa Bastian Hutabarat.

23 Juni 2004
Berkas dikembali-kan lagi oleh kejaksaan kepada polisi.

16 Juli 2004
Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) mendesak Tim Penyidik Koneksitas Kasus 27 Juli mengubah status bekas Kepala Staf Kodam Jaya Susilo Bambang Yudhoyono menjadi tersangka bersama Panglima ABRI Feisal Tanjung, mantan Kepala Polri Dibyo Widodo, dan mantan Kepala Staf Sosial Politik ABRI Syarwan Hamid.

19 Juli 2004
Ketua Pelaksana Penyidikan Tim Koneksitas Brigjen Pol. Aryanto Sutadi mengatakan Tim Koneksitas masih menetapkan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai saksi atas kasus 27 Juli.

20 Juli 2004
Panitia Nasional Peringatan Tragedi 27 Juli menggelar acara di bekas markas PDI di Jalan Diponegoro 58. Acara akan berlangsung selama sepekan. Sejumlah spanduk menuntut SBY sebagai tersangka.

21 Juli 2004
Juru bicara Kejaksaan Agung RI, Kemas Yahya Rahman, membantah jika dikatakan tuntutan penuntasan kasus 27 Juli adalah pesanan atau titipan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Sumber: Pusat Data dan Analisa TEMPO dan Tim Koneksitas

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus