Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) punya sebutan baru untuk memanggil calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sementara sebelumnya bekas Menteri Koordinator Polkam itu biasa disapa SBY, kini kubu Mega mengusulkan memanggilnya "Jenderal Susilo". "Harus dibiasakan. Namanya kan bagus, Jenderal Susilo. Jadi, biar jelas," kata Dwi Ria Latifa, anggota DPR dari PDIP.
Tentu bukan hanya soal sebutan yang diributkan kubu banteng. Dengan menyebut Jenderal Susilo, kubu banteng ingin menegaskan Susilo sebagai bekas militer, juga tokoh yang terkait dengan tragedi 27 Juli.
Seiring dengan seruan Dwi Ria, di pagar bekas markas Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat, tergantung spanduk bertuliskan "Delapan tahun yang lalu di tempat ini Jenderal SBY membantai puluhan orang". Spanduk lain: "Jenderal Susilo harus bertanggung jawab atas tragedi 27 Juli!".
Yudhoyono, bekas Kepala Staf Kodam Jaya saat tragedi itu berlangsung, kini sedang bertarung dalam pemilihan langsung Presiden RI. Menurut Tabulasi Nasional Pemilu, posisinya kini melejit. Dia meraup suara terbesar pada putaran pertama, 5 Juli lalu. Saingan terkuatnya, Megawati Soekarnoputri, kini masih menjabat Presiden RI sekaligus Ketua Umum PDI Perjuangan. "Ini bukan kampanye hitam bagi SBY," ujar Jimmy Matitaputty, Ketua Nasional Peringatan Tragedi 27 Juli.
Kampanye hitam atau bukan, nama Yudhoyono sekarang sontak jadi incaran dalam perkara itu. Serangan ke arahnya bahkan kian deras. Dua pekan lalu, Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) meminta Tim Koneksitas mengubah status SBY dari saksi menjadi tersangka. "SBY memimpin rapat penggalangan massa di Kodam Jaya," ujar R.O. Tambunan, ketua tim pembela itu. Memang bukan cuma SBY yang akan didongkrak jadi tersangka. Pejabat militer lainnya adalah bekas Panglima ABRI Jenderal (Purn.) Feisal Tanjung, bekas Kepala Polri Jenderal (Purn.) Dibyo Widodo, dan bekas Kepala Staf Sosial Politik Letnan Jenderal (Purn.) Syarwan Hamid.
Ihwal keterlibatan SBY, kata Tambunan, bermula dari cerita Sutiyoso, bekas Panglima Kodam Jaya yang kini menjabat Gubernur DKI. Saat mengobrol empat mata, kata Tambunan, Sutiyoso mengakui keterlibatan Yudhoyono dalam aksi berdarah itu. "Pengakuan Sutiyoso itu sebelum dia terpilih sebagai Gubernur DKI kedua kalinya," ujarnya. Sebagai Kepala Staf Kodam, kata Sutiyoso, SBY memimpin rapat di Kodam Jaya dalam rangka aksi penyerbuan itu. "Jawaban Sutiyoso, yang melaksanakan adalah staf-stafnya, yaitu SBY," ujar Tambunan. Kesaksian lain, masih kata Tambunan, datang dari Kolonel Inf. Haryanto, Asisten Intelijen Kodam Jaya. Haryanto dalam berkas pemeriksaan menyebut Yudhoyono memimpin rapat beberapa kali di Kodam Jaya.
Sutiyoso membantah cerita itu. Dia malah mengaku belum pernah bertemu Tambunan, dan bahkan tidak mengenal pengacara senior itu. "Tak pernah. Saya tidak pernah bertemu dia. Seratus persen itu ngawur," ujarnya.
Pengacara Sutiyoso, Victor Nadapdap, mengatakan kliennya hanya melaksanakan tugas negara. "Itu perintah dari Presiden Soeharto untuk mengosongkan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro," ujar Victor. Pernyataan serupa pernah dilontarkan Sutiyoso empat tahun silam.
Soal keterlibatan SBY, satu dokumen dari Laporan Akhir Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bocorannya diperoleh TEMPO menyebut pertemuan tanggal 24 Juli 1996 di Kodam Jaya dipimpin oleh Kasdam Jaya Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono. Hadir pada rapat itu adalah Brigjen Zacky Anwar Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko Santoso, dan Alex Widya Siregar. Dalam rapat itu, SBY memutuskan penyerbuan atau pengambilalihan kantor DPP PDI oleh Kodam Jaya.
Sebelumnya, kata dokumen itu, aksi penyerbuan adalah garapan Mabes ABRI c.q. Badan Intelijen ABRI bersama Alex Widya S. Diduga, Kasdam Jaya menggerakkan pasukan pemukul Kodam Jaya, yaitu Brigade Infanteri 1/Jaya Sakti/Pengamanan Ibu Kota pimpinan Kolonel Inf. Tri Tamtomo untuk melakukan penyerbuan. Seperti tercatat di dokumen itu, rekaman video peristiwa itu menampilkan pasukan Batalion Infanteri 201/Jaya Yudha menyerbu dengan menyamar seolah-olah massa PDI pro-Kongres Medan. Fakta serupa terungkap dalam dokumen Paparan Polri tentang Hasil Penyidikan Kasus 27 Juli 1996, di Komisi I dan II DPR RI, 26 Juni empat tahun silam.
Cerita menarik datang dari bekas Kepala Staf Umum (Kasum) ABRI, Letjen (Purn.) Soeyono. Dia tak ikut dalam aksi itu karena, "Saya tak pernah diajak bicara karena itu operasi sosial-politik," ujarnya. Soeyono juga digeser dari jabatan kasum dua pekan setelah tragedi itu. Menurut Soeyono, dia sempat memanggil SBY, yang menurut dia saat itu berada di sekitar lokasi. (lihat, "SBY Ada di Lokasi, tapi ...").
Keberadaan Yudhoyono, kata dia, sebatas memudahkan komunikasi dengan Panglima Kodam Jaya. Saat menggelar acara jumpa sebulan silam, Soeyono bahkan menyodorkan saksi Chairul Anwar, penjaga rumahnya. Katanya, pada pagi 27 Juli 1996 itu, Chairul sempat bertemu Sutiyoso dan SBY. Kedua jenderal itu, kata Chairul, masuk ke rumah Soeyono dengan melompati pagar. Kepada wartawan Koran Tempo Eduardus Karel Dewanto, Chairul mengaku bahkan sempat mengantar kedua jenderal keliling rumah Soeyono.
Meski begitu, Soeyono melihat Sutiyoso seharusnya yang memikul tanggung jawab tragedi itu sebagai Panglima Kodam Jaya dan Panglima Komando Lapangan dan Operasi. Sedangkan Yudhoyono, kata dia, hanya kepala staf yang tak punya kuasa memberi perintah penyerbuan. "Kalau dilihat dari struktur tentara, tidak mungkin kasdam mempertanggungjawabkan apa yang diputuskan panglimanya," ujar Soeyono, pendiri Partai MKGR yang mendukung kandidat SBY-Jusuf Kalla dalam putaran pertama pemilihan presiden.
Yudhoyono lebih suka tak banyak berkomentar atas kasus delapan tahun silam itu. Kepada TEMPO, yang mewawancarainya selepas pemilu 5 Juli lalu, ia mengatakan menyerahkan semuanya pada proses hukum. Ketika dicegat lagi seusai salat Jumat di Masjid Al-Azhar, Jakarta, pekan lalu, ia memilih tak bicara.
Dijepit sekian berkas dan juga tudingan, nasib Yudhoyono belum berubah sampai hari ini. Menurut Tim Koneksitas, dia tetap sebagai saksi dalam berkas pemeriksaan Sutiyoso, dan bukan tersangka. "Kita belum sampai ke situ, kita lihat saja petunjuk jaksa," kata Ketua Pelaksana Penyidikan Tim Koneksitas, Brigjen Pol. Aryanto Sutadi, kepada Tempo News Room Senin pekan lalu. Menurut Aryanto, tim ini masih menggarap berkas sesuai dengan petunjuk jaksa. "Kalau tak ada bukti-bukti, ya, gimana?" ujarnya.
Sulitnya pembuktian diakui juga oleh bekas Kepala Polri Jenderal (Purn.) Chairuddin Ismail, yang pernah memimpin Tim Tetap Koneksitas, pada saat kasus itu dibuka kembali empat tahun silam. Dia menyebut, sejak awal perkara itu sudah lekat dengan perkara politik.
Chairuddin saat itu menelisik kembali fakta dan bukti dari peristiwa empat tahun lewat. Dia berhasil memetakan konspirasi pejabat militer, polisi, dan kelompok sipil yang menggeruduk markas partai berlambang banteng itu. "Sekarang, sangat mungkin politisasi kasus ini muncul kembali," ujarnya. Soal SBY, kata Chairuddin, sejauh yang dapat diungkap Tim Tetap Koneksitas, tak terlibat dalam memerintahkan penyerbuan. "Di pengadilan, harus ada bukti kuat. Keterangan saksi saja tak cukup," ujarnya.
Nezar Patria, Tomi Y. Aryanto, Hanibal W.Y.W
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo