MOHAMMAD Laica Marzuki mulai sebal dengan telepon genggamnya. Bukan karena usang di model, melainkan lantaran deringnya yang bertubi-tubi belakangan ini. Saat ditemui TEMPO Rabu pekan lalu di kantornya, pesawat telepon di meja kerjanya terus-menerus minta diangkat. Telepon seluler di saku bajunya kerap juga memanaskan telinga. "Tak biasanya ini terjadi," katanya, jengkel.
Laica kini jadi orang penting. Hakim agung ini termasuk dalam tim hakim di Mahkamah Agung yang tengah menangani perkara kasasi Akbar Tandjung. Ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golkar itu kini tengah menunggu hari-hari penting menyangkut kasus pidana korupsi dana non-bujeter Bulog Rp 40 miliar. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI sama-sama memvonisnya penjara tiga tahun—lebih ringan setahun ketimbang tuntutan jaksa, dan, hebatnya, ia tak sampai meringkuk di bui.
Telepon dari Akbar? Bukan, cuma dari orang-orang yang peduli dengan kasus bos Partai Beringin ini. Kalau ada nomor yang tak dikenal, ia cuek bebek. Tak perlu ia reken. Dari sejumlah penelepon yang masuk, isinya selalu seragam. Dari yang caranya sopan, sekadar menanyakan kelanjutan kasus Akbar, sampai yang agak kurang ajar: ngotot memaksa agar yang bersangkutan dibebaskan. "Macam-macamlah alasan mereka," ujar Laica.
Kasus korupsi dana non-bujeter Bulog memang sudah sampai ke meja mahkamah pengadilan tertinggi republik ini. Tak lama setelah Pengadilan Tinggi Jakarta mengukuhkan vonis sebelumnya yang menghukum Akbar dengan kurungan tiga tahun, Ketua Umum Partai Golkar ini langsung mengajukan kasasi. Pekan lalu Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan selesai membentuk tim majelis kasasi untuk kasus tersebut.
Cuma kasus kakap ini disikapi lain. Biasanya MA cukup membentuk tim beranggotakan tiga hakim agung. Tapi majelis kasasi untuk kasus Akbar diisi lima orang. Selain Laica, majelis yang diketuai Hakim Agung Paulus Effendy Lotulung ini juga beranggotakan Parman Soeparman, Arbijoto, dan Hakim Agung Muchsin. Sebab, "Kasus ini besar, penting, dan menyita perhatian masyarakat," kata Bagir Manan, yang tengah melawat ke Turki, lewat telepon selulernya.
Gemuknya majelis diharapkan menelurkan putusan cermat. Juga adil. "Paling tidak, lebih banyak kepala sebelum putusan diketuk," kata Bagir. Berbeda dengan pengalaman Laica, Bagir mengaku tak pernah ada yang meneleponnya untuk urusan kasus tersebut. Toh, katanya, ada juga satu-dua orang petinggi partai yang menemuinya di sela-sela acara resmi atau pesta-pesta selamatan. Biasa, melobi sambil bisik-bisik. "Biasanya cukup saya jawab dengan tertawa," kata Bagir.
Bagir ingin benteng terakhir peradilan luput dari intervensi. Apalagi dua pengadilan sebelumnya banyak dikritik. Kendati memvonis Akbar bersalah, dua pengadilan sebelumnya tak pernah meminta eksekusi segera dilakukan. Akibatnya, hingga hari ini Akbar masih melenggang kangkung memimpin di Senayan. Di pengadilan banding, hanya Akbar yang hukumannya tidak berubah. Dua terhukum lainnya—Winfried Simatupang dan Dadang Sukandar— dihukum dua kali lebih berat.
Terlalu pagi untuk mereka-reka putusan lima pendekar hukum itu. Menurut Bagir Manan, hasilnya akan terkuak dalam tiga sampai empat bulan ke depan. Ini terbilang cepat. Bagaimana kemungkinan nasib Akbar? Ia bisa lolos dari kurungan? Majelis hakim menolak menjawab soal itu. Karib Akbar, Mahadi Sinambela, juga tak hendak meramal. "Saya tak bisa bicara soal itu," katanya.
Hakim Laica juga tak bisa buka suara soal peluang Akbar. Tapi soal bakal derasnya dering telepon di seluler dan meja kerjanya, ia bertekad menghadapi tanpa tedeng aling-aling. Akankah ia bergeming? "Saya tak bakal mengotori baju toga saya," ujarnya tegas. Bagus. Publik dan sejarah menunggu keputusan adil itu.
Darmawan Sepriyossa dan Ecep S. Yasa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini