Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Nurcholish Madjid:"Saya Akan Pasif Saja"

25 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CENDEKIAWAN berumah di atas awan? Kali ini Nurcholish Madjid, lelaki dengan beragam predikat itu, tampaknya turun ke bumi. Di masa lalu, pada saat-saat genting negeri ini gonta-ganti presiden, dia selalu menolak dicalonkan, tapi kini ia mulai goyah untuk hanya duduk di atas awan dan mengatakan dalam pemilihan 2004 "saya akan pasif saja." Maklum, begitu banyak pinangan dari berbagai partai besar dan partai kecil yang penting, sementara negara ini sudah kehilangan kepemimpinan yang beres. Tentu sulit untuk tidak tersedot pada sosok yang jujur ini.

Dia adalah satu dari sedikit makhluk langka di Indonesia yang terkenal dengan keteguhannya memegang prinsip, lurus, tidak maniak dalam arus perebutan kekuasaan, dan menempatkan dirinya sebagai guru dan tempat bertanya berbagai kelompok dan kalangan masyarakat.

Pada awal Orde Baru, Nurcholish Madjid—akrab dipanggil Cak Nur—masuk dengan gerakan pembaruan Islam. Bersemboyan "Islam yes, partai Islam no," Cak Nur menganggap semua yang vital untuk manusia itu diberikan oleh Allah secara gratis. Udara, air, gratis. Islam yang vital bagi manusia, oleh karena itu, juga gratis. Di masa itu, seakan-akan banyak orang yang merasa tidak pantas menyebut-nyebut Islam kalau mereka bukan anggota partai Islam. Gerakan Islam kultural kemudian dicanangkan Cak Nur.

Nurcholish Madjid, bersama tokoh-tokoh lain, juga dalam catatan sejarah dianggap menjadi sosok yang berperan di balik kemunduran Soeharto. Tanpa tedeng aling-aling, Cak Nur saat itu mengatakan kepada Soeharto bahwa yang diinginkan rakyat Indonesia adalah Soeharto mundur.

Nurcholish lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939. Ayahnya, K.H. Abdul Madjid, dikenal sebagai pendukung Masyumi. Setelah melewati pendidikan di berbagai pesantren, termasuk Gontor, Ponorogo, Rektor Universitas Paramadina ini menempuh studi kesarjanaan di IAIN Jakarta. Pada 1978, tokoh Himpunan Mahasiswa Islam ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat, dengan disertasi tentang filsafat dan khalam Ibnu Taimiyah.

Saat Sidang Umum MPR pada Oktober 1999 berlangsung, Nurcholish Madjid menolak diunggulkan menjadi calon Presiden RI 1999-2004. Cak Nur juga menolak tawaran mantan presiden Soeharto untuk duduk di Komite Reformasi.

Kini, setelah Pemilu 2004 makin mendekat, alumni Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam IAIN (kini Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah, Jakarta, ini kembali santer disebut sebagai salah satu calon presiden yang diusulkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), meski masih dalam perdebatan. Sampai saat ini, PKB belum memutuskan calonnya. Tomi Lebang dan Arif Zulkifli dari TEMPO mewawancarainya di Universitas Paramadina Mulya. Berikut ini petikannya.


Mengapa Anda meminta Megawati tidak lagi mencalonkan diri sebagai presiden?

Sebetulnya saya tidak dengan tegas menganjurkan supaya Mbak Mega tidak maju sebagai presiden lagi. Itu hanya seandainya. Mbak Mega dulu berniat hanya akan menjalani kepresidenan untuk satu kali masa jabatan. Yang saya pahami, dia akan betul bertindak sebagai presiden dalam situasi krisis. Bila itu terjadi, mungkin banyak perbaikan yang bisa diperoleh, karena dengan begitu, dia dan para pembantunya tidak melakukan kegiatan-kegiatan dalam rangka Pemilu 2004. Jadi, pernyataan saya itu bersifat kalkulasi politik.

Artinya, seharusnya tidak sampai 2004-2009?

Ya, seharusnya tak sampai periode 2004-2009. Indonesia sedang dalam keadaan krisis dan sudah dibanjiri retorika politik. Sayangnya, Mbak Mega bertindak seolah-olah dia adalah presiden dalam negara yang dalam keadaan normal. Dia melakukan segala sesuatu dengan sikap business as usual. Dengan asumsi doing business as usual itu saja dia masih di bawah standar.
Misalnya, kedudukannya sebagai panglima tertinggi angkatan perang seharusnya tidak menimbulkan efek yang menimbulkan ketidakpastian. Saat ini di kalangan tentara ada semacam kehilangan sense of direction, juga seperti kehilangan tujuan, sense of purpose. Kehilangan itu juga meliputi seluruh bangsa. Itulah yang membuat menggejalanya sikap-sikap melanggar hukum, lawless.

Kritik Anda ini bagi sementara kalangan PDIP dianggap sebagai upaya menyaingi Mega dalam pencalonan presiden. Menurut Anda?

(Tertawa.) Itulah yang saya ingatkan kepada teman-teman yang gigih mau mensponsori saya. Misalnya saya menuruti keinginan mereka dengan menjawab ya, maka seluruh credentiality saya hilang. Sebab, nanti ditafsirkan seperti itu. Makanya saya selalu diplomatis. Kalau toh ada dukungan, saya tidak akan menempatkan diri dalam posisi aktif. Pasif saja.

Apakah posisi sebagai cendekiawan—yang mengatasi semua golongan—yang jadi pertimbangan untuk tidak menerima dukungan teman-teman Anda tadi?

Ya. Titik tolaknya adalah persoalan sumbangan. Bagaimana menyumbang negara, bukan dalam menyumbang uang. Apalah artinya. Sumbangan di sini berarti sumbangan pikiran dan sebagainya, hal-hal yang memberikan sense of direction kepada bangsa. Pertimbangan berikutnya, mana yang lebih efektif? Di dalam atau di luar? Sementara orang mungkin di dalam, yang lain lebih efektif di luar. Untuk menjadi efektif memang harus terlibat dalam proses yang real, yaitu pemerintahan.

Bila dibuat mudah, persentase Anda menerima dukungan itu dan tidak bagaimana?

Saya kira masih 60-40. Angka 60 untuk tidak menerima.

Mungkinkah partai juga menyebut nama-nama yang kuat kredibilitasnya itu hanya untuk mendapatkan dukungan di pemilu?

Itu semua tafsir yang saat ini ada. Semua punya peluang.

Kita pernah punya contoh baik intelektual yang jadi presiden. Vaclav Havel, misalnya. Mungkin di dalam negeri ada Abdurrahman Wahid. Mungkinkah akan terjadi lagi?

Maksudnya, saya jadi seperti itu? Mungkin ada persamaan dan perbedaan. Yang sama, saya dengan Gus Dur sama-sama dari Jombang, sama-sama dari dunia pesantren, sama-sama berkultur NU, biarpun sering berbeda. Keluarga saya NU, politiknya Masyumi. Itu kan kecil. Boleh diabaikan.

Anda siap untuk pemilihan langsung pada 2004?

Secara pribadi, saya akan pasif saja. Itu karena saya punya pertaruhan yang besar sekali. Kalau sampai hancur, rugi saya.

Siapa saja yang telah meminang Anda?

Dari partai-partai yang bisa dibayangkan dari semula, memang mereka-mereka juga. Ya… kalau Golkar, Anda sudah tahu, PKB Anda sudah tahu, PK juga. Ada juga dari partai lain yang datang sebagai individu.

Siapa saja mereka?

Untuk keamanan mereka, tak usahlah saya menyebutkan nama mereka. Itu bagian dari konflik intern mereka.

Anda punya kritik buat Abdurrahman Wahid?

Gus Dur itu adalah manusia garis besar. Jadi, sisi-sisi besarnya itu luar biasa. Selain itu, dia itu betul-betul tulus. Kalau ia bicara mengenai demokrasi, pluralisme, toleransi, serta obsesinya untuk melindungi kelompok kecil, itu tidak muncul tiba-tiba hanya karena alasan-alasan politik jangka pendek. Kekurangannya dalam garis kecil. Kalau garis besarnya, dia luar biasa. Kekurangan itu antara lain karena terhambat kondisi fisiknya.

Bila Anda melihat tanda-tanda awal dari Gus Dur, mengapa tidak berbicara dari dulu? Dalam banyak hal, Gus Dur juga tak mampu mengatasi birokrasi yang telanjur busuk….

Itulah sebabnya kita harus menilai, melihat kembali harapan-harapan itu. Harapan-harapan itu lekas sekali membuat kecewa karena kita meletakkan dalam kerangka semua ini bisa diselesaikan dalam jangka pendek. Kemudian, kalau birokrasi, mana mungkin? Mungkin puluhan tahun baru kita bisa.
Cuma, ada yang masih mengecewakan dari Gus Dur itu. Ia tidak tegas dalam sebuah agenda politik untuk menangani masalah militer. Dia bisa tegas dalam soal demiliterisasi politik atau depolitisasi militer. Tapi tegasnya disebabkan by accident, bukan by concept yang komprehensif. Kebetulan ia sudah lama menyimpan persepsi bahwa tentara tidak boleh berpolitik. Juga terhadap Departemen Penerangan. Maka, begitu ada kesempatan, dia langsung melaksanakan idenya dan membubarkan Departemen Penerangan, tanpa menjelaskan mengapa departemen itu perlu dibubarkan.
Padahal, misalkan, sebelum departemen itu dibubarkan ada penjelasan tujuan reformasi, yang salah satunya memerlukan kebebasan pers, kan bisa. Mungkin gagasannya sendiri benar. Belum lagi dengan tingkah laku yang betul-betul bersifat personal style yang tidak menolong. Tapi, saya kira, suatu saat nanti, ketika orang lupa hal-hal yang bersifat personal style, masyarakat akan mengingat, menghargai, dan mencatat Gus Dur sebagai salah seorang perintis demokrasi.

Ada pendapat bahwa untuk membersihkan yang kotor, selalu kecipratan kotoran juga. Dalam hal Gus Dur, misalnya kasus Bulog….

(Menyergah.) Saya kira tidak betul bahwa untuk membersihkan yang kotor kita harus kena kotoran. Dalam fikih (hukum Islam) saja, ada kategori air suci mensucikan dan air suci tidak mensucikan. Ada juga air kotor, yang selain tidak suci, juga tidak mensucikan.
Jadi, dengan logika itu, saya kira tidak benar kalau kita harus ikut kotor. Malah justru kita harus konsekuen bersih agar punya efek pembersihan.
Contohnya, majalah Playboy pernah mewawancarai pemimpin masyarakat muslim Amerika, Wallace Deen Mohammed. Saya pernah mendengarkan khotbah Idul Fitrinya yang bagus sekali. Wawancaranya juga bagus sekali. Nilainya tinggi. Tapi, yang menarik, di akhir wawancara itu, redaktur mengatakan, "Mungkin para pembaca heran mengapa majalah seperti Playboy mewawancarai orang suci seperti Wallace Deen Mohammed. Untuk apa? Karena kami percaya pepatah bijak lama bahwa Tuhan tidak akan menghancurkan suatu bangsa kalau di sana masih ada orang baik."

Mungkinkah juga karena susahnya menegakkan aturan?

Perubahan akan makan waktu. Taruhlah pada 1999 saya mau jadi presiden. Pasti nanti saya akan mengalami seperti itu karena ada gap yang terlalu besar antara harapan dan kenyataan. Sayup-sayup kan sampai juga sebuah kritik kepada saya: "Anda bertanggung jawab karena dulu tidak mau (jadi presiden—Red)." Wah, bisa terbalik. Seandainya saya mau, dan ternyata gap antara harapan dan kenyataan begitu tinggi, orang akan mengatakan juga, "Benar, kan, demokrasi itu memang hak partai? Orang di luar partai ya tidak boleh."
Nah, sekarang dengan adanya pengalaman lima tahun ini, negara dan masyarakat sudah mulai berpikir realistis. Indonesia, karena terlalu lama di bawah pemerintahan rezim totaliter, tidak biasa mengambil inisiatif dari bawah dengan menyadari realitas harian, lalu lompat. Rusia itu kan begitu, beretorika dan mengungkapkan kata glasnost, sehingga rakyatnya mengira semua problem bisa beres.

Menurut Anda, siapa calon presiden yang memiliki kans terbaik?

Kalau soal itu, selalu ada kemungkinan tak terduga, seperti Jimmy Carter sebelum menjadi presiden. Orang menyebutnya "Jimmy who? Jimmy siapa ini?" Tapi ternyata, setelah menjadi presiden, dia bagus.

Ada kesesuaian dengan semangat zaman, barangkali?

Jadi, di antara nama-nama yang kini beredar, selalu ada kemungkinan itu. Karena itu, ekstremnya, karena kita telah mengalami demokrasi, siapa pun yang dipilih rakyat, itulah pilihan kita. Memang bisa saja ada kecelakaan. Bisa saja pilihan kita adalah orang yang lemah atau orang buta huruf. Tapi itu absah. Setan gundul pun, kalau jadi presiden pilihan rakyat, apa mau dikata. Kasarnya begitu. Itu yang dulu saya bilang sama Pak Harto ketika beberapa pihak keberatan dengan Habibie. Kalau memang rakyat menghendaki, kenapa tidak? Kriteria pendidikan kan bisa dibuktikan dengan formal seperti ijazah, tapi soal kepemimpinan itu tak bisa diukur. Ada orang yang kita anggap punya leadership tapi ternyata anggapan kita salah. Ada yang SD saja tidak lulus ternyata malah memiliki leadership.

Bila tahun 2004 itu momentum yang benar-benar jujur, kira-kira siapa pemenangnya?

Siapa pun pemenangnya, saya ingin, demokrasi kita ini ibarat pohon yang baru dipindah dari pot ke tanah. Sebab, akarnya harus menyesuaikan diri dengan ekologi baru. Seperti itulah demokrasi kita. Itulah mengapa saya ingin melindunginya. Saya tak ingin itu mati prematur.
Kita berharap, pada tahun 2004, akarnya bisa kita anggap sudah memasuki tanah. Jadi, kita tidak lagi harus memperlakukannya bagai pohon yang stres. Pohonnya sudah berdiri betul. Karena itu, tekanannya saat ini, presiden jangan dijatuhkan dulu. Itu tetap konsisten dengan ide presidensial bahwa lembaga kepresidenan harus dihormati.
Nanti juga harus begitu, tapi dengan tambahan presiden jangan merasa aman-aman saja. Bisa dijatuhkan kalau melanggar hal-hal seperti keterlibatan suap, korupsi.

Misalnya ada orang-orang dengan track record yang penuh tanda tanya seperti Wiranto berkonsolidasi, apa kita harus membiarkan semata karena demokrasi?

Kalau memang terpaksa juga, artinya proses yang membawa kita ke sana itu faktor yang paling dasar, yaitu yang paling dikehendaki rakyat melalui pemilihan umum, itu harus dihormati. Sama saja dengan contoh kasus AS, misalnya Bush. Bush kalah oleh Al Gore dalam popular vote, tapi dalam electoral vote persis sama. Dia menang dengan hasil di Florida itu, kan? Itu yang kemudian disahkan Mahkamah Agung. Tapi, begitu diputuskan, Al Gore datang, memberi selamat. Itulah yang harus terjadi.
Al-Quran juga mengajarkan, kita harus bermusyawarah dalam sebuah perkara, tapi begitu diputuskan, kita harus bertawakal kepada Allah. Kalau tidak begitu, tak akan ada kepastian. Hampir-hampir, biarpun keputusan itu salah, itu lebih baik daripada tidak ada keputusan.

Anda kabarnya punya peran dalam terjunnya Amien Rais ke partai politik?

Sebelum membuat partai, memang Amien sempat datang ke saya, sebagaimana dia datang kepada rekan-rekan lain. Saya mengatakan, jika dia membayangkan diri sebagai pilihan terbaik rakyat, ya go ahead. Dalam berdemokrasi, tak mungkin tidak berpartai.
Tapi ada masalah platform. Mau eksklusif Islam ataukah inklusif? Kalau eksklusif Islam, ada problem. Orang-orang nonmuslim yang mau mendukung dia mungkin akan urung. Tapi, kalau inklusif, dia tidak punya track record yang baik. Dia ambil yang inklusif. Ketika itu ditawarkan kepada teman-temannya, ditolak, kan? Maka dia ditinggal. Mereka mendirikan PBB tanpa Amien Rais.

NurcholisH Madjid

Lahir:

  • Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939

Pendidikan

  • Pesantren Darul `ulum Rejoso, Jombang, Jawa Timur, 1955
  • Pesantren Darul Salam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, 1960
  • Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1965 (Sastra Arab)
  • Institut Agama Islam Negeri Jakarta, 1968 (Doktorandus, Sastra Arab)
  • The University of Chicago (Universitas Chicago), Chicago, Illinois, USA, 1984 (Ph.D, Studi Agama Islam)

Pekerjaan

  • Peneliti Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial (LEKNAS-LIPI), Jakarta, 1978-1984
  • Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, 1984-sekarang
  • Dosen Fakultas Pascasarjana, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta 1985-sekarang
  • Rektor Universitas Paramadina Mulya, Jakarta, 1998 _ Sekarang
  • Anggota MPR-RI 1987-1992 dan 1992-1997
  • Ketua Yayasan Paramadina, Jakarta, 1985-sekarang
  • Anggota KOMNAS HAM, 1993-sekarang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus