Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Agar Litbang Lebih Berkembang

Riset oleh badan penelitian dan pengembangan di kementerian dianggap belum optimal. Pemantiknya anggaran yang terbatas dan minimnya jumlah peneliti.

8 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Penelitian kolaborasi antara Arkenas dan Griffith University Australia tentang lukisan purba di dinding Leang Bulu’ Sipong 4, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Juli 2017. Foto:/Dok. Arkenas

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADHI Oktaviana masih terus meneliti lukisan purba yang diperkirakan berusia 44 ribu tahun itu. Lukisan di dinding Leang Bulu’ Sipong 4, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, yang ditemukan pada Desember 2017 itu menggambarkan adegan makhluk setengah manusia setengah hewan sedang berburu celeng dan binatang seperti kerbau dengan semacam tombak. “Bisa jadi lukisan itu petunjuk tentang awal budaya agama modern,” kata Adhi, arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Arkenas), saat dihubungi pada Kamis, 6 Agustus lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain dikerjakan Arkenas, penelitian di satu dari ratusan situs gua di wilayah karst Maros-Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) itu melibatkan tim dari Balai Pelestarian Cagar Budaya serta ilmuwan Griffith University, Australia. Namun pandemi virus corona membuat proses riset itu dihentikan sementara. Fokus riset pun berubah ke studi literatur. “Pemerintah Australia menghentikan penelitian, padahal masih banyak potensi wilayah di sana,” ujar Adhi. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Adhi, peran Griffith University penting karena dukungan mereka tak sebatas pada keilmuan, tapi juga sebagian fasilitas dan alat. Misalnya untuk metode penanggalan uranium series yang mereka gunakan untuk mengetahui usia lukisan. Oleh tim peneliti, sampel berupa potongan kecil stalaktit gua itu dibuat lagi subsampelnya untuk dicek di laboratorium Australia. 

Proses ini tak hanya membutuhkan peralatan canggih, tapi juga biaya. Adhi mengatakan anggaran di Indonesia hanya menghitung maksimal 10 sampel untuk satu penelitian. Sedangkan anggaran di luar negeri mencakup 20-30 sampel dengan biaya per subsampel lebih dari US$ 500. Idealnya, menurut Adhi, satu penelitian menggunakan minimal 20 sampel. 

Nota kesepahaman yang dibuat antara Arkenas dan Griffith University itu juga menyebutkan ihwal kerja sama di bidang pendidikan. Sejumlah peneliti Arkenas, termasuk Adhi, mendapat beasiswa kuliah doktoral di kampus yang berlokasi di Queensland itu sebagai timbal balik atas akses peneliti Griffith University terhadap situs karst Maros-Pangkep. Total ada sekitar 300 situs wilayah itu yang sudah dikerjakan bersama oleh peneliti kedua negara sejak 2015. 

Kerja sama dengan kampus mancanegara lumrah terjadi di Arkenas, yang membawahkan sepuluh kantor cabang di Indonesia. “Selain bertukar pengalaman, kami bekerja sama di bidang pendidikan. Seperti saat ini, ada empat peneliti kita yang sedang kuliah doktoral di luar negeri. Mereka juga memberi dukungan dalam bentuk teknologi serta aktif menulis jurnal bersama,” tutur I Made Geria, Kepala Pusat Penelitian Arkenas, Rabu, 5 Agustus lalu. 

Geria menyebutkan, meski jatah anggaran Arkenas mencukupi untuk ongkos operasional, ada sejumlah kebutuhan alat riset yang belum terpenuhi. Misalnya alat untuk membaca usia benda purbakala yang harganya mencapai belasan miliar rupiah. “Kami akhirnya menumpang dulu di negara lain untuk membaca umur benda purbakala,” ucapnya. Geria menyadari ketersediaan sarana mesti dibarengi kemampuan peneliti. “Mesti melatih manusianya dulu agar terbiasa dengan alat itu, salah satunya lewat kerja sama dengan peneliti luar.” 

Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) Berry Juliandi menilai anggaran riset Indonesia jauh dari cukup. Selama lebih dari 20 tahun, anggaran belanja untuk penelitian dan pengembangan (litbang) di Indonesia hanya 0,1-0,3% dari pendapatan domestik bruto (PDB). Negara tetangga, seperti Malaysia dan Thailand, menganggarkan lebih dari 1 persen dari PDB-nya. Selain itu, pendanaan yang sudah lama terikat di bawah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara membuat riset tak optimal. Sebab, hal itu tak ubahnya membelenggu peneliti untuk merampungkan risetnya hanya dalam setahun. Padahal temuan riset di lapangan selama ini terbuka untuk dikembangkan. 

Menurut Berry, idealnya anggaran riset dikelola lembaga independen agar periset lebih leluasa mengembangkan diri dan penelitiannya. “Sebab, kalaupun dana riset meningkat, jika manajemen pendanaannya tidak diperbaiki akan sama saja,” ujar dosen Departemen Biologi Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat, ini, Kamis, 6 Agustus lalu. Penelitian yang dilakukan oleh badan litbang kementerian satu dengan yang lain juga kadang tumpang-tindih sehingga secara penganggaran kurang efektif. Hasilnya jadi kurang inovatif. 

Arkeolog dai tim peneliti Arkenas mengukur lukisan purba di dinding Leang Bulu’ Sipong 4, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Juli 2017./Dok. Arkenas

Problem lain yang terkait dengan pendanaan adalah kurangnya kompetisi di kalangan peneliti. Berry menilai pendanaan riset di sejumlah badan litbang kementerian cenderung top-down. Kondisi itu membuat sebagian peneliti justru berada di zona nyaman. Lain halnya bila dana diberikan lewat kompetisi proposal. Menurut Berry, hal ini bisa memicu peneliti mengembangkan diri dan merangsang kreativitasnya. Terlebih banyak orang mengambil jabatan fungsional peneliti di litbang bukan karena panggilan jiwa sehingga dalam melaksanakan tugasnya kurang produktif. Belum lagi jika ekosistem dan atmosfer di kementerian tak mendukung peneliti untuk berkembang. 

ALMI pernah menelaah kinerja sejumlah badan litbang di kementerian dan menemukan hanya sebagian yang melakukan kerja penelitian dan pengembangan. Di antaranya Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sebagian lainnya melakukan riset sebatas untuk menopang kebijakan. Hasil telaah ALMI itu disampaikan kepada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). “Kami merekomendasikan agar yang bergabung dengan BRIN adalah litbang yang betul-betul melakukan riset, bukan yang sekadar membuat laporan atau memenuhi target,” kata Berry. “Begitu pun pendanaan, mesti dievaluasi, dibuat kompetitif agar litbang kementerian berlomba-lomba mengajukan proposal risetnya.”

Peneliti di Kementerian Komunikasi dan Informatika, Riza Azmi, menjelaskan bahwa hasil riset di badan litbangnya cenderung untuk kebutuhan pembuatan kebijakan. Termasuk penelitian yang saat ini masih ia lakukan, terkait dengan penomoran dan kesadaran warga akan keberadaan saluran televisi digital. “Hasilnya tidak untuk konsumsi publik langsung,” ucapnya. Kondisi ini, tutur dia, dilematis. Sebab, sebagai peneliti, ia sejatinya mesti mempublikasikan karya ilmiah. Sedangkan di badan litbang kementerian saat ini output riset lebih banyak untuk konsumsi internal. 

Dalam setahun, Riza melanjutkan, badan litbang kementeriannya menggarap lima riset. Dua di antaranya berlangsung sepanjang tahun dan sisanya riset pendek enam bulanan. Tapi, akibat pandemi, anggaran riset dipangkas sehingga hanya ada tiga studi yang dilakukan oleh 14 peneliti di bidang telekomunikasi. Hasil riset mereka dipublikasikan di Jurnal Penelitian Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi, juga di Bpostel

Selain pendanaan, kualitas dan kuantitas peneliti mesti menjadi perhatian. Menurut Made Geria, jumlah peneliti Arkenas hanya 122 orang yang disebar di penjuru Nusantara. Bahkan di Kalimantan hanya ada satu peneliti. Walhasil, banyak potensi obyek riset yang belum tertangani karena sumber daya manusia terbatas. Ujung-ujungnya, peneliti asing yang justru lebih aktif berkecimpung di sejumlah daerah negeri ini. 

Soal sumber daya manusia itu mendapat sorotan arkeolog Arkenas, Shinatria Adhityatama. Menurut Adit—sapaan Adhityatama—penyebab minimnya jumlah peneliti di Indonesia ada pada sistem perekrutan. Di Indonesia, seleksi peneliti masih disamakan dengan jalur aparatur sipil negara. “Padahal proses penjaringan seperti itu cenderung menyulitkan peneliti,” ujar peneliti arkeologi bawah air atau maritim lulusan Universitas Gadjah Mada ini. 

Idealnya, kata Adit, jalur perekrutan peneliti dibuat khusus. Adapun seleksi persyaratannya bisa berupa portofolio riset dan publikasi. “Jadi jangan sampai tes masuk peneliti malah enggak ada korelasinya dengan jalur risetnya. Ini penting karena berpengaruh juga ke urusan kaderisasi,” ucapnya. Adit sendiri kini masih berstatus pegawai kontrak sejak bergabung dengan Arkenas pada 2013. “Yang penting saya sudah berusaha untuk berkontribusi bagi negeri ini.” 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus