Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ajakan makan siang pada pertengahan Maret 2010 tak ditampik Muhammad Husairi Kurnia. Pegawai Bagian Hubungan Masyarakat Kantor Wilayah Pajak Jakarta Timur ini segera meluncur ke Kementerian Keuangan, menemui Benny Maurits Limbong, Sekretaris Inspektur Jenderal. Mereka berjanji bersantap di Restoran Ny. Filly, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. ”Kami sering makan bersama. Kurnia seperti anak saya sendiri,” kata Benny kepada Tempo pekan lalu.
Sebelum tiba di tujuan, Kurnia menelepon Eva Junita, Kepala Seksi Tata Usaha Direktur Keberatan dan Banding Direktorat Pajak. Ia mengajak perempuan itu bergabung. Punya masalah dengan atasannya yang menuding ia lalai karena sejumlah surat penting tak diproses hingga setahun, Eva mengiyakan ajakan Kurnia. Ia berpikir Benny Limbong mungkin bisa membantunya.
Di Restoran Ny. Filly, Kurnia dan Benny memesan ikan bakar, menu utama restoran tua yang menjual makanan khas Manado itu. Keduanya duduk di kursi bagian dalam. Sekitar pukul 14.00, ketika nasi di piring nyaris tak bersisa, Eva muncul. Dia tidak datang sendiri. Seorang pria menemaninya. Dialah Gayus Halomoan Tambunan, yang beberapa waktu setelah makan siang itu menjadi sangat populer.
”Waktu itu dia belum setenar sekarang. Tidak ada yang kenal siapa dia,” kata Benny Limbong mengenang pertemuan itu. Tanpa canggung, Gayus—ketika itu pegawai Direktorat Pajak golongan IIIa yang bertugas di Bagian Penelaah Keberatan pada Seksi Banding dan Gugatan—bergabung dan ikut makan siang bersama.
Kurnia ingat pertemuan mereka hampir satu jam. Percakapan berlangsung hangat. ”Gayus sangat percaya diri,” kata Kurnia mengingat pertemuan itu. Gaya bertutur Gayus tegas dan tak menyimpan keraguan. Dia pun sigap tatkala usai makan. Kurnia, yang hendak membayar, didahului Gayus ke meja kasir. ”Makan untuk empat orang habis sekitar Rp 200 ribu,” ujar Kurnia.
Obrolan mereka berempat tak berkisar jauh dari persoalan Eva. Belakangan, Gayus nimbrung. Dia bercerita baru saja divonis bebas dari Pengadilan Negeri Tangerang. Didakwa perkara transaksi keuangan yang mencurigakan berkaitan dengan Rp 400 juta di rekeningnya, ia dinyatakan bebas. ”Dia bilang, apa ada kemungkinan Inspektorat Jenderal memeriksanya dan apa yang mesti dia lakukan,” kata Benny. ”Saya menyarankan dia mengikuti saja aturannya.”
Tak disangka-sangka, sepekan setelah makan siang itu, Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI Inspektur Jenderal Susno Duadji meledakkan kasus Gayus di media massa. Gayus disebut-sebut menyuap polisi, jaksa, dan hakim untuk lolos dari jerat hukum di Pengadilan Negeri Tangerang itu. Kekayaannya pun ternyata bejibun: rekening banknya berisi duit Rp 28 miliar dan simpanan di safety box ada Rp 84 miliar. Semua heboh. Gayus pun raib.
”Waktu televisi ramai memberitakan kasus Gayus, saya bilang ke kawan-kawan: saya tahu orang itu, dia pernah makan siang dengan saya,” kata Benny Limbong sambil tertawa. Pengakuan Benny itu menarik perhatian auditor internal Kementerian Keuangan.
Mei 2007, Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan Permana Agung menggelar pernikahan putrinya di Gedung Dhanapala, Kementerian Keuangan. Benny Limbong didaulat menjadi ketua panitia resepsi. Malam itu, ribuan tamu mengalir tak putus-putus. Total 12 kotak penampung angpau penuh. Ada pula satu kardus besar penuh hadiah dari mereka yang hadir.
Hampir semua pegawai Inspektorat Jenderal hari itu juga menjadi anggota panitia perhelatan. Di antara puluhan anggota panitia, ada seorang pegawai Direktorat Pajak. Dialah Maruli Pandapotan Manurung, atasan Gayus Tambunan. ”Bisa saja dia menjadi anggota panitia acara itu. Saya tidak kenal semua satu per satu,” kata Permana Agung ketika dimintai konfirmasi soal ini dua pekan lalu.
Benny bersikeras Maruli bukanlah salah satu anggota panitia. Dia mengaku hanya pernah bertemu satu kali dengan pria itu pada akhir Maret 2010. ”Waktu itu ada pertemuan Komisi Pengawas Perpajakan di Kantor Pajak Madya, Jalan Ridwan Rais,” katanya. Seseorang memperkenalkan Maruli kepada Benny. ”Itu pertemuan pertama dan terakhir saya dengan Maruli,” ujarnya.
Dua kejadian itulah—makan siang di Restoran Ny. Filly dan resepsi pernikahan putri Permana Agung—yang kini disebut-sebut dalam pemeriksaan internal Inspektorat Bidang Investigasi sebagai simpul penghubung antara jejaring Gayus-Maruli dan tiga pejabat Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan: Sutardi-Benny Limbong-Permana Agung.
Dua simpul itu jadi penting karena—di hadapan polisi—Gayus menyebut Maruli Manurung berperan membagikan suap US$ 1,5 juta dari Bumi Resources untuk orang-orang Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan.
Nama Permana Agung muncul bukan semata-mata karena dialah pucuk pimpinan Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan ketika kasus ini terjadi. Namanya muncul juga karena ”nyanyian” Gayus Tambunan ketika diperiksa tim Inspektorat. Dia terang-terangan menyebut nama Permana—dan Sutardi—sebagai bagian dari jejaringnya.
Setelah Sutardi dan Benny Limbong dijatuhi sanksi pertengahan tahun lalu, ada yang menduga sasaran berikutnya adalah Permana Agung. Pasalnya, dua pejabat itu orang yang diangkat sendiri oleh Permana ketika dia naik menjadi Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan, pada 2007. ”Saya yang memilih mereka,” kata bekas Direktur Jenderal Bea-Cukai itu.
Benny sebelumnya adalah pejabat di Direktorat Anggaran, sementara Sutardi pegawai Bea-Cukai. Selain memilih dua orang ini, Permana mengangkat Eddy Setyo, inspektur di Direktorat Bea-Cukai. Menurut Permana, ketiga orang ini dia butuhkan untuk memperkuat kinerja Inspektorat Jenderal.
”Saya mengikuti rekam jejak mereka,” ujar Permana. ”Mereka orang yang punya prinsip dan berani mempertaruhkan jabatan,” katanya lagi. Di masa Permana Agung menjabat Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan, semua orang tahu ketiga pejabat itu adalah ”orang-orang” dia.
Benny mengajukan pembelaan. Dia mengatakan, setelah makan siang dengan Gayus di Restoran Ny. Filly, ia segera melaporkannya ke seorang inspektur di Kementerian Keuangan. ”Waktu itu saya minta Gayus secepatnya diperiksa,” kata Benny. Sayangnya, permintaan itu tidak direspons. Alasannya, tidak ada informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. ”Padahal saya melapor sampai dua kali,” ujarnya.
Soal Maruli, Benny juga angkat tangan. Menurut dia, Maruli sering membawa-bawa namanya dalam pelbagai urusan. ”Dia selalu merasa kenal saya, padahal saya sama sekali tidak tahu siapa dia,” kata Benny.
Lika-liku Surat Sakti
2006
18 April
Direktorat Jenderal Pajak memeriksa pajak penghasilan badan Kaltim Prima Coal untuk tahun pajak 2000, 2001, 2002, 2003, dan 2005.
2007
12 April
Terbit surat pemberitahuan hasil pemeriksaan dari Ditjen Pajak. Kaltim Prima Coal menyetujui sebagian hasilnya.
30 Mei
Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan I Direktorat Jenderal Pajak Pusat mengirim nota perhitungan—menggunakan satuan dolar Amerika Serikat—kepada Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Satu, Gambir. Alasannya: laporan keuangan KPC dibuat dalam dolar.
7 Juni, 3 Juli, dan 30 November
Dalam tiga surat terpisah, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Gambir meminta penegasan soal penggunaan satuan mata uang dolar ini ke Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak Pusat.
2008
12 Mei
Bumi Resources mengirim surat pengaduan ke Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan, meminta bantuan soal macetnya proses pemeriksaan Kaltim Prima Coal. Dalam suratnya, Denny Adrianz, Vice President Bumi, terang-terangan meminta Irjen membantu proses terbitnya surat ketetapan pajak Kaltim Prima.
4 Juni
Inspektur Sutardi menerima surat pengaduan PT Bumi Resources di ruang kerjanya. Dia mengaku surat itu diantar seorang pengusaha bernama Subandi Hartanto.
16 Juni
Sutardi bertemu dengan Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak Djalintar Sidjabat. Sutardi menanyakan kasus keterlambatan surat ketetapan pajak Kaltim Prima Coal. Djalintar menjelaskan, proses penetapan nota penghitungan pajak hanya butuh waktu dua hari. Pertemuan ini tidak dilaporkan kepada atasan Sutardi.
27 Juni
Sutardi mengirim dua nota dinas ke Permana Agung. Nota pertama meneruskan pengaduan Kaltim Prima Coal. Sedangkan nota kedua berisi konsep surat tanggapan Inspektur Jenderal untuk Dirjen Pajak. Dalam konsep surat itu, Sutardi minta Dirjen Pajak segera menerbitkan surat ketetapan pajak untuk Kaltim Prima Coal.
30 Juni
Surat Permana Agung sebagai Inspektur Jenderal dikirim ke Dirjen Pajak. Surat ditembuskan kepada Menteri Keuangan, Direktur Peraturan Perpajakan I, dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Satu di Gambir.
8 Juli
Sutardi dan tiga auditor mulai melakukan kajian terstruktur soal pengaduan Kaltim Prima.
16 Juli
Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak mengirim surat kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Satu, mengizinkan penggunaan satuan mata uang dolar dalam surat ketetapan pajak Kaltim Prima Coal.
2010
Medio Maret
Benny Limbong, Sekretaris Inspektur Jenderal, bertemu dengan Gayus Tambunan di restoran Ny. Filly sekitar sepekan sebelum Gayus melarikan diri ke Singapura. Benny mengaku baru pertama kali bertemu dengan Gayus pada saat itu. Gayus yang membayari makan siang tersebut.
31 Maret
Benny Limbong bertemu dengan Maruli Pandapotan Manurung di Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Satu, Gambir, saat sosialisasi batas akhir penyampaian surat pemberitahuan pajak. Benny mengaku itulah pertama kali dia bertemu dengan Maruli.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo