Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAMU itu datang menjelang petang, beberapa hari sebelum bulan puasa lalu. Inspektur Jenderal Mathius Salempang menerimanya di rumah dinas Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Timur, Jalan Sudirman, Balikpapan. "Ia mengenalkan diri sebagai Basuki," kata orang dekat Mathius kepada Tempo.
Mathius biasa menerima tamu di rumah dinasnya. Tapi tamu sore itu sungguh istimewa. Sang tamu mengaku membawa pesan dari lingkaran dekat Istana: dialah Wijiasih Cahyasasi alias Wiwiek, kakak ipar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kepada Mathius, menurut sumber itu, Basuki meminta "bantuan" agar kasus dugaan pembalakan liar yang menjerat petinggi PT Sumalindo Lestari Jaya "diselesaikan".
Sekitar tiga bulan sebelumnya, Kepolisian Sektor Sebulu, Kutai Kartanegara, menangkap empat pemasok kayu buat Sumalindo. Mereka dituduh mengalirkan kayu ilegal sekitar 3.000 batang di Sungai Mahakam ke penampungan perusahaan itu. Karena pengiriman kayu didasarkan atas perjanjian yang diteken Presiden Direktur Amir Sunarko dan wakilnya, David, dua orang itu pun terseret. Pada Juni lalu, polisi menahan mereka (lihat "Terantuk Meranti di Bawah Air").
Kepada orang-orang dekatnya, Mathius menceritakan, sore itu ia segera berdiri dan mengajak tamunya bersalaman-mengusir secara halus. Ia mengatakan, "Terima kasih, saya akan membicarakannya dengan Kepala Polri." Tamunya menyorongkan kartu nama dan segera berpamitan.
Dua pekan lebih melacak identitas Basuki, Tempo menemukan titik terang, pekan lalu. Ia bukan "pembawa pesan" sembarangan. Pernah menjadi Wakil Presiden A1 Grand Prix Indonesia-balap mobil yang dibuat untuk menyaingi Formula 1-ia kini menjadi perwakilan Syekh Maktoum, juragan tajir asal Uni Emirat Arab. "Saya dari dulu membantu Ibu Wiwiek," kata Basuki, yang menemui Tempo di Hotel Grand Hyatt Jakarta, Senin pekan lalu.
Basuki mengaku menemui Salempang sekitar 10 menit. Ia menyangkal telah "diusir". Menurut dia, ia buru-buru pulang karena mengejar penerbangan terakhir menuju Jakarta. "Saya mengajukan permohonan penangguhan penahanan Amir dan David kepada Kepala Polda," katanya. "Mereka diperlukan ribuan karyawan karena saat itu menjelang Lebaran."
Menerima Tempo di kantor Sumalindo, kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu pekan lalu, Wijiasih pun membenarkan ketika itu memerintahkan Basuki buat menemui Salempang. "Saya ingin tahu duduk masalah yang sebenarnya agar tidak salah persepsi," katanya.
Dimintai konfirmasi, Mathius Salempang mengatakan mendukung penuh langkah anak buahnya. Soal adanya utusan kerabat Istana yang menemui untuk meminta penangguhan penahanan, Mathius tidak membantah. "Memang ada yang datang dan meminta itu," katanya.
Polisi tak menggubris kedatangan utusan Wijiasih. Amir dan David tetap dalam status tahanan. Sumalindo pun menggunakan jalur formal. Oto Hasibuan, kuasa hukum perusahaan itu, mengajukan penangguhan ke Kepolisian Resor Kutai. Kepala Kepolisian Resor Kutai Ajun Komisaris Besar Fadjar Abdillah mengatakan dua kali penasihat hukum Amir dan David mengajukan penangguhan penahanan. "Kami tolak karena kebijakan Polri untuk tidak memberikan penangguhan pada kasus illegal logging," ujarnya.
Angin berubah setelah Kepolisian Kutai Kartanegara menyerahkan berkas perkara ke kejaksaan Negeri Tenggarong, 17 September lalu. Pada hari proses penyerahan, Kejaksaan menyatakan tidak menahan Amir dan David dengan alasan sakit. "Ini alasan kemanusiaan," kata Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Tenggarong, Suroto. Amir dan David pun melenggang.
Empat hari setelah itu, Sumalindo menggelar rapat umum pemegang saham luar biasa di Hotel Manhattan, Jakarta. Rapat tetap mendudukkan Amir dan David di posisi semula. Presiden Komisaris Ambran Sunarko mengundurkan diri. Lalu muncullah tokoh yang dianggap banyak membantu pembebasan Amir: Wijiasih Cahyasasi alias Wiwiek.
DUA pekan sebelum mengirim utusan menemui Mathius Salempang, Wiwiek sendiri yang mendatangi Kepala Kepolisian RI Jenderal Bambang Hendarso Danuri. Pertemuan dilakukan di rumah dinas Kepala Kepolisian, Jalan Pattimura, Jakarta Selatan. "Ibu protes ke Kepala Polri, mengapa kasus kecil ini dipersoalkan sedemikian rupa," kata orang dekat Wiwiek.
Dalam pertemuan itu, menurut sumber yang lain, Bambang berjanji meminta keterangan lebih jauh tentang kasus Sumalindo. Wiwiek meminta bisa bertemu Salempang. Namun Bambang mengatakan tidak perlu dan berjanji membicarakannya dengan anak buahnya itu. Tapi tak pernah ada kabar dari Jenderal Bambang. Karena itu, Wiwiek mengutus Basuki ke Balikpapan buat menemui Salempang.
Sumber lain mengisahkan Salempang sebenarnya telah dipanggil Bambang untuk menjelaskan soal ini. Namun Salempang meyakinkan Kepala Kepolisian bahwa kasus Sumalindo sangat kuat. "Orang-orang yang membawa kayu sedikit saja ditangkap, masak yang ini mau dibebaskan," kata Salempang, seperti ditirukan sumber Tempo. "Nanti apa kata rakyat?"
Menurut sumber itu, Bambang, yang masa dinasnya menjelang akhir, memberikan lampu hijau kepada Salempang. Ia justru meminta berkas kasus ini segera diserahkan ke kejaksaan. "Agar kalau ditanya Bu Wiwiek lagi, dia bisa menjawab: kasusnya sekarang bukan di polisi lagi," kata sumber itu.
Wiwiek menolak memberikan konfirmasi tentang pertemuannya dengan Jenderal Bambang. "Silakan tanyakan ke Pak Bambang Hendarso Danuri. Terserah beliau akan menjawab apa," katanya. Bambang Hendarso belum bisa dimintai komentar. Adapun Wakil Kepala Divisi Humas Markas Besar Polri Brigadir Jenderal Ketut Yoga Ana mengaku tidak tahu soal itu. "Kasus itu sepenuhnya wewenang Polda Kalimantan Timur," katanya.
"Gerakan pembebasan" Amir dan David dilakukan simultan. Pada 27 Agustus 2010, Sumalindo mengirim surat ke Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, serta Kejaksaan Agung dan Kementerian Kehutanan. Lembaga-lembaga itu bergerak cepat. Pada 7 September, Sekretaris Menteri Koordinator Politik Hotma Mangaradja Panjaitan mengirim undangan ke sejumlah lembaga, termasuk Badan Intelijen Negara. Surat yang salinannya diperoleh Tempo itu mengundang pejabat lembaga itu buat rapat "Membahas Pengaduan Masyarakat Tentang Illegal Logging di Provinsi Kalimantan Timur dan Papua", esok harinya.
Rapat itu dihadiri Direktur Jenderal Administrasi Hukum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, serta Direktur V Tindak Pidana Tertentu Badan Reserse Kriminal Mabes Polri. Selain itu, datang Deputi II Badan Intelijen Negara dan Wakil Asisten Teritorial Panglima Tentara Nasional Indonesia.
Sumber Tempo mengatakan, kendati tak khusus mencantumkan kasus Sumalindo, sepanjang rapat dibahas langkah hukum polisi terhadap perusahaan itu serta penahanan Amir dan David. Semua peserta rapat diberi kesempatan menyampaikan pendapat.
Opini para pejabat tercatat dalam notulensi yang sempat dibaca Tempo. Pertemuan itu menghasilkan kesimpulan, antara lain penahanan dua bos Sumalindo dinilai berdampak buruk terhadap iklim investasi. "Itu karena Sumalindo perusahaan terbuka," ujar sumber tadi.
Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Hadi Daryanto yang hadir dalam pertemuan itu membenarkan peserta rapat menyoroti penahanan dua petinggi Sumalindo. Apalagi, kata dia, penahanan dilakukan sebelum tuduhan perusahaan menampung kayu gelap dibuktikan. "Bagi kami clear, tidak ada pelanggaran yang dilakukan Sumalindo," katanya.
Direktur V Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Suhardi Aliyus, yang juga hadir dalam rapat itu, menolak berkomentar. "Kasus itu sepenuhnya ditangani Polda Kalimantan Timur. Tanya mereka saja," katanya.
Menteri Djoko membantah ada perlakuan khusus dalam rapat koordinasi terbatas itu. Menurut dia, kasus Sumalindo terkait dengan masalah hukum, sehingga dinilai perlu ada sinkronisasi antarlembaga. Tujuannya, agar semua cepat mendapat kepastian dan keadilan. "Tidak spesifik membahas kasus per kasus," katanya. "Rapat itu insidental dan biasa dilakukan."
Beberapa hari setelah rapat koordinasi, Direktorat V Tindak Pidana Tertentu Badan Reserse Kriminal melakukan gelar perkara kasus Sumalindo. Sejumlah saksi ahli dari Kementerian Kehutanan diundang. "Hasil gelar perkara itu dinyatakan tidak ada pelanggaran pidana dalam kasus itu," kata sumber.
Ito, yang dihubungi Tempo pada Jumat pekan lalu, mengakui gelar perkara Sumalindo. Menurut dia, sejumlah saksi ahli dimintai pendapat tentang posisi hukum kasus tersebut. "Tapi saya tidak bisa buka kesimpulan rapat itu," ujarnya.
Wiwiek juga tidak tinggal diam. Ia menemui Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan di kantornya. Ini bukan perkara sulit. Sebab, David bukan orang asing bagi Pak Menteri. "Dia itu anggota tim ahli saya," kata Zulkifli kepada Tempo.
Zulkifli pun dengan cepat memberikan surat jaminan kepada Kejaksaan Negeri Tenggarong agar penangguhan penahanan kedua petinggi Sumalindo bisa dilakukan. "Jaminan itu diberikan atas nama institusi Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan," kata Hadi Daryanto.
Menteri Zulkifli mengulang pendahulunya, Malem Sambat Kaban, yang juga pasang badan ketika dua raksasa bubur kertas-PT Riau Andalan Pulp and Paper dan PT Indah Kiat Pulp and Paper Tbk-berseteru dengan Kepolisian Daerah Riau. Ketika itu dua perusahaan tersebut dituduh merusak hutan alam dan menampung kayu ilegal. Tapi Kaban menyatakan dua perusahaan itu tak bersalah.
Surat jaminan yang diberikan Kementerian Kehutanan terbukti manjur. Ketika berkas tersangka Amir Sunarko dan David diputuskan lengkap oleh Kejaksaan Negeri Tenggarong pada 17 September lalu, mereka langsung menghirup udara bebas. Amir Sunarko tak perlu lagi bermalam di sel seperti saat menjalani proses penyidikan di kepolisian.
Sekretaris perusahaan Sumalindo, Hasnawiyah Kono, membantah permintaan penangguhan penahanan dua anggota direksi perusahaannya bermasalah. Menurut dia, pertemuan yang dilakukan Wijiasih dan para pejabat pemerintah "resmi dan terbuka". "Kami melakukan hal itu untuk menuntut keadilan," katanya.
WIWIEK bukan orang baru bagi keluarga Amir Sunarko. Tak mengherankan bila ia begitu bersemangat berusaha membebaskan Amir-juga David-dari tahanan.
Ayah Amir, Hasan Sunarko, adalah kongsi Sunarti, ibunda Wiwiek. Pada Februari 1995, Sunarti mendirikan PT Wanatirta Edhie Wibowo, yang menggarap bisnis perdagangan, pertambangan, dan perkebunan. Dalam akta pendirian perusahaan, Sunarti-istri Sarwo Edhie, yang kini dipanggil sebagai "Ibu Ageng"-menjadi salah satu pendiri yang menyetorkan modal Rp 100 juta. Ia menjadi direktur utama dan Wiwiek menjadi komisaris perusahaan. Perusahaan ini memperoleh konsesi lahan 206 ribu hektare di Kabupaten Mappi, Papua.
Hasan adalah nakhoda Grup Hasko, yang dikenal sebagai raja kayu lapis. Ia kemudian memasang putranya, Amir Sunarko, menjadi komisaris Wanatirta. Ketika keluarga Sunarko kemudian masuk ke PT Sumalindo, Wiwiek pun masuk perusahaan ini. Tapi ia tetap berada di belakang layar. Ia baru tampil setelah menjadi presiden komisaris perusahaan itu.
Ia masuk di tengah konflik keluarga Sunarko. Menurut sumber, Amir bersengketa dengan Deddy Hartawan Djamin, adik iparnya. Lingkaran Amir menuduh Deddy berada di balik huru-hara Sumalindo. Ia dianggap hendak mendongkel Amir dari posisi puncak perusahaan.
Pertikaian itu tampak dalam rapat umum pemegang saham luar biasa Sumalindo di Ruang Indiana, Hotel Manhattan, Jakarta, 21 September lalu. Rapat digelar buat membahas antara lain pembentukan tim ahli independen untuk meneliti keterlibatan Amir dan David dalam pembelian kayu hasil pembalakan liar serta perubahan susunan direksi dan komisaris.
Agustinus Dawarja, kuasa hukum yang ditunjuk Deddy Hartawan, pemilik 11,3 persen saham Sumalindo, mengakui kliennya mendesak pergantian Amir Sunarko dan David. Deddy pula yang menuntut pembentukan tim independen. "Di tangan mereka kinerja perseroan tak kunjung membaik," katanya. "Sumalindo merugi tapi induk usaha mereka di Singapura terus untung."
Agustinus membantah bahwa tuntutan itu berkaitan dengan konflik keluarga. Toh, sampai rapat usai, dua tuntutan Deddy tak dipenuhi peserta rapat.
Wijiasih juga menjadi Presiden Komisaris Sumalindo di tengah keuangan perusahaan yang tak cemerlang. Putra tertua Sarwo Edhie itu menganggapnya sebagai tantangan. Ia mengatakan, "Menjadi salah satu target saya untuk memperbaiki."
Budi Setyarso/Setri Yasra, Wahyu Dhyatmika (Jakarta), Firman Hidayat (Samarinda)
Pohon Saham Sumalindo
Pemilik awal Sumalindo adalah Astra International Tbk., yang kemudian menjual mayoritas sahamnya ke Hasko Group pada 2002. Enam tahun kemudian Sampoerna masuk ke Hasko Group, dengan membeli saham Samko Timber. Berikut ini komposisi kepemilikan saham Sumalindo dan jejaring bisnisnya per awal 2010.
PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk. PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk.: PT Sumber Graha Sejahtera: PT Buana Semesta Alam: Samko Timber Ltd.: SUMBER: ANNUAL REPORT PT SUMALINDO 2007 Primadona Dikepung Utang 1980 1996 2002 2004 2007 2008 2009 2010
- Inti Prona
- Nityasa Prima
- Sumalindo Mitra Resindo
- Kalimantan Powerindo
- Essam Timber
- Sumalindo Alam Lestari
- Wana Kaltim Lestari
- Karya Wijaya Sukses *
*) bergerak dari hulu sampai hilir dalam industri hutan
- Publik48,37%
- PT Sumber Graha Sejahtera 51,63%
- PT Buana Semesta Alam 51,63%
- Samko Timber Ltd. 48,37%
- Amir Sunarko 30%
- Ambran Sunarko 30%
- Aris Sunarko 40%
- Sampoerna Forestry 39,63%
- Publik 20,36%
- Keluarga Sunarko 40,01%
Sumalindo berdiri sebagai perusahaan kayu lapis dan penguasa HPH seluas 130 ribu hektare di Kalimantan.
Melakukan ekspor perdana ke pasar Asia dengan produk jenis kayu MDF. Sepanjang dekade 1990, Sumalindo aktif mengakuisisi sejumlah perusahaan kayu lapis untuk memperluas area hutan yang dikuasai dan kapasitas produksinya sendiri.
Astra International menjual 75 persen kepemilikan sahamnya di Sumalindo kepada PT Sumber Graha Sejahtera milik keluarga Sunarko. Astra mengaku ingin melepaskan diri dari beban utang Sumalindo yang jumlahnya mencapai Rp 1,7 triliun.
Sebagian besar utang Sumalindo dapat direstrukturisasi. Sebagian utang dikonversi menjadi modal perseroan. Pada periode ini, Sumalindo juga berhasil mendapat sertifikat pengelolaan hutan berkelanjutan dari Forest Stewardship Council (FSC).
Sumalindo mulai merugi.
Sampoerna Forestry membeli saham Samko Timber di Singapura, dan dengan demikian menjadikannya sekaligus sebagai pemilik sebagian saham Sumalindo.
Sumalindo menjual anak perusahaannya, Sumalindo Hutani Jaya, ke Tjiwi Kimia seharga Rp 7,2 miliar plus hak tagih atas utang senilai lebih dari Rp 150 miliar. Belakangan dikabarkan ada temuan deposit batu bara di atas lahan HTI Sumalindo Hutani.
Polisi menuding Sumalindo menadah kayu hasil pembalakan liar. Presiden Direktur dan Wakil Presiden Direktur Sumalindo, Amir Sunarko dan David, ditangkap dan ditahan polisi di ruang sel Polres Kutai Kartanegara. Pemilik saham minoritas, Dedy Hartawan Djamin, berusaha menggeser keduanya dari pucuk pimpinan perusahaan lewat rapat umum pemegang saham luar biasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo