Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SENJA baru beranjak gelap ketika telepon kantor penampungan kayu PT Sumalindo Lestari Jaya di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, berdering. Jam pada Selasa, 11 Mei 2010, menunjuk pukul 19.00. Ahmad Abdul Gani, karyawan bagian penerimaan kayu, sedang berjaga. Dari ujung telepon, terdengar suara Sriyanto, kepala seksi legal perusahaan. ”Kayu yang di dermaga jangan dibongkar dulu ya,” penelepon memerintah. ”Mau diperiksa dulu oleh Kapolsek.”
Ahmad mengiyakan. Kepada polisi, seperti dikutip sumber Tempo, ia menyatakan meminta anak buahnya menghentikan pengangkatan kayu bulat dari dermaga pelabuhan kayu Sumalindo ke lapangan penampungan kayu perusahaannya. Ketika itu, sekitar 50 batang kayu telah berpindah tempat.
Ribuan batang kayu itu sudah mengapung di tepi Sungai Mahakam, masuk area dermaga Sumalindo, sejak sepekan sebelumnya. Dermaga itu—biasa disebut log pond—ada di Desa Tanjung Harapan, Kecamatan Sebulu, Kabupaten Kutai Kartanegara.
Yang tidak diketahui orang Sumalindo, polisi sudah lama mengintai kayu mereka. Sehari sebelumnya, Kepala Kepolisian Sektor Sebulu, Ajun Komisaris Dedy Anung Kurniawan, bahkan datang ke dermaga. Ia meminta dokumen surat keterangan asal-usul kayu dari pegawai Sumalindo. ”Ada ketidakcocokan,” katanya kepada penyidik kepolisian yang menangani kasus ini.
Jika merujuk pada dokumen asal-usul kayu yang dipegang Sumalindo, tumpukan kayu bulat yang diikat jadi empat rakit itu seharusnya hanya berupa kayu hasil kebun seperti kayu pete, jambon, asam kendis, sengon, dan ketapang. Jumlah totalnya pun seharusnya hanya 2.000 batang.
Temuan polisi di lapangan jauh berbeda. Di bawah susunan kayu sengon, penyidik menyatakan menemukan 3.000-an batang kayu meranti dan kayu rimba lain—jenis kayu yang dilarang diperjualbelikan. Semuanya tanpa dokumen resmi.
Polisi bertindak cepat. Sehari setelah meminta Sumalindo menghentikan pengangkutan kayu dari sungai, aparat keamanan menyita semua kayu di sana. Tempat penampungan dan dermaga pun langsung dipasangi garis polisi. Satu demi satu, karyawan yang mengurusi penerimaan kayu digiring ke kantor polisi untuk diperiksa.
Sepekan kemudian, pada akhir Mei, Dinas Kehutanan setempat diundang polisi untuk memeriksa ulang semua kayu yang dipesan Sumalindo. Hasil pemeriksaan mereka menguatkan tuduhan awal aparat keamanan: tak semua kayu yang dipesan Sumalindo adalah hasil kebun. Sebagian besar justru kayu meranti dan kayu rimba jenis lain.
Berdasarkan hasil pemeriksaan Dinas Kehutanan itulah, polisi menuding Sumalindo menjadi penadah kayu hasil pembalakan liar. Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, petinggi Sumalindo terancam hukuman 10 tahun penjara.
Sebulan kemudian, pada 20 Juni, Polres Kutai Kartanegara mengirim tim untuk menjemput Presiden Direktur Sumalindo, Amir Sunarko, dan wakilnya, David, di Jakarta. Keduanya diundang ke Samarinda sebagai saksi. Namun status keduanya berubah dalam semalam.
”Sesuai dengan Undang-Undang Perseroan Terbatas, jika ada masalah hukum, pimpinan perusahaan harus bertanggung jawab,” kata Kepala Kepolisian Resor Kutai Ajun Komisaris Besar Fadjar Abdillah kepada Tempo, dua pekan lalu. Dinyatakan sebagai tersangka, keduanya langsung ditahan.
Fadjar yakin polisi memiliki bukti dan saksi yang cukup untuk memenangkan kasus ini di meja hijau. ”Kami siap menghadirkan ahli hukum pidana, ahli hukum kehutanan, dan ahli hukum perseroan sebagai saksi ahli nanti di persidangan,” katanya.
Bukti adanya kayu meranti dan kayu rimba lain—semuanya tanpa dokumen sah—yang disembunyikan di antara ribuan batang kayu bulat yang dipesan Sumalindo, menurut Fadjar, sulit dipatahkan.
Sumalindo menolak mentah-mentah tudingan polisi itu. ”Kami sama sekali tidak berbuat kesalahan,” kata Hasnawiyah Kono, Sekretaris Korporasi Sumalindo, pekan lalu. Alasannya, ribuan kayu bermasalah itu belum diserahterimakan ke perusahaan. ”Transaksi belum terjadi,” katanya.
Dalam keterangannya kepada penyidik, sejumlah karyawan Sumalindo mengaku tidak tahu-menahu soal keberadaan kayu meranti ilegal di balik kayu sengon yang mereka pesan. ”Ketika itu kayu belum sempat dinaikkan semua. Jadi kami tidak tahu,” kata Ahmad Yani, petugas penerimaan kayu Sumalindo, kepada penyidik.
Ketika kiriman kayu datang, kata Ahmad, hal pertama yang seharusnya dilakukan staf Sumalindo adalah memeriksa dokumen legalitas kayu bersama petugas Dinas Kehutanan. Setelah semua dokumen dinyatakan legal, barulah kayu-kayu bulat itu diangkat dari sungai dan dipindahkan ke lapangan penampungan untuk pemeriksaan fisik. Jika semua kayu dinyatakan tak bermasalah oleh petugas Dinas Kehutanan, barulah Sumalindo membuat berita acara serah-terima kayu.
Nah, dalam kasus ini, Sumalindo menuding polisi bertindak terlalu dini. Belum tuntas kayu diperiksa, polisi sudah menggerebek. ”Karena itu, kami tidak bisa dipersalahkan terkait adanya kayu meranti itu,” kata Hasnawiyah Kono.
Hasnawiyah juga berulang kali menegaskan bahwa penyalur kayulah yang bertanggung jawab memastikan legalitas kayu. ”Dalam dokumen surat perjanjian jual-beli kayu bulat yang dibuat Sumalindo, ada klausul itu,” katanya.
Ketika diperiksa polisi, Presiden Direktur Sumalindo Amir Sunarko menolak bertanggung jawab atas kiriman kayu meranti ilegal ini. Apalagi perjanjian jual-beli kayu antara Sumalindo dan pengirim kayu meranti itu sudah berakhir pada Maret 2010. Artinya, ketika pengiriman dilakukan pada awal Mei, perjanjian itu sudah kedaluwarsa. ”Seharusnya kayu itu ditolak masuk,” katanya.
Pengirim kayu yang dimaksud adalah Soni Iwan Purboyo. Dia pemain baru dalam bisnis pengiriman kayu di Kutai. Sebelumnya, Soni tinggal di Semarang. Dia baru pindah ke Samarinda pada Januari 2010 dan langsung mendapat kontrak pengiriman kayu 3.000 meter kubik ke Sumalindo. ”Sampai Maret, saya tidak dapat kayu, padahal Sumalindo menagih terus,” katanya kepada polisi.
Soni mengaku juga tertipu. ”Saya tidak tahu kalau ada kayu meranti,” katanya. Ia mengatakan membeli semua kayu pesanan Sumalindo dari dua pengusaha kayu lokal bernama Zulkifli dan Saiful Bahri. ”Saya tidak memeriksa lagi, apakah semuanya sengon atau ada kayu lain,” katanya.
Walhasil, kini semua pihak saling menuding.
Pertanyaannya: siapa sumber informasi polisi yang memastikan ada kiriman kayu meranti ilegal untuk Sumalindo? Sumber Tempo menyebutkan, pembisik polisi adalah seorang aktivis lembaga swadaya masyarakat lokal bernama Ujang S. Sudarno. Lembaganya bernama Pusat Pengamat Umum, Sosial, dan Hak Asasi Manusia, disingkat Puspaham.
Ketika dihubungi, Ujang membenarkan. ”Ketika rakit kayu itu bergerak di Sungai Mahakam, saya langsung memberi tahu Kapolri, Kapolda, dan Kapolres,” katanya. Tapi, dari mana dia tahu ada kiriman kayu liar untuk Sumalindo? ”Saya punya jaringan intelijen yang luas,” katanya. Ketika dimintai konfirmasi, Ajun Komisaris Besar Fadjar Abdillah tak mau berkomentar banyak. ”Info awalnya dari laporan masyarakat,” katanya.
Kalangan dalam Sumalindo menduga, info awal polisi justru berasal dari dalam perusahaan sendiri. Indikasinya, tiga bulan setelah kasus ini, sebagian pemegang saham Sumalindo mendesak diadakan rapat umum pemegang saham luar biasa. Agendanya, mengganti pucuk pimpinan perusahaan.
Wahyu Dhyatmika, Firman Hidayat (Kutai Kartanegara)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo