Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Duta Besar Indonesia untuk Cina melobi bos Sinovac untuk mendapatkan vaksin.
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menolak memberikan uang muka.
Berkat lobi Sri Mulyani dan Retno Marsudi, Indonesia bisa mendapatkan vaksin gratis dari GAVI.
KEDATANGAN tamu spesial pada 16 November tahun lalu, Duta Besar Indonesia untuk Cina dan Mongolia, Djauhari Oratmangun, menyiapkan berbagai penganan khas Nusantara. Nasi goreng, rendang, dan sate tersaji untuk Chief Executive Officer Sinovac Biotech Ltd Yin Weidong. “Saya bercerita bahwa Indonesia punya banyak makanan enak,” kata Djauhari dalam wawancara virtual dengan Tempo, Rabu, 13 Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ditemani kopi asal Indonesia, mereka lalu membicarakan berbagai hal, dari makanan hingga lukisan karya istri Djauhari, Sih Elsiwi Handayani. Keduanya juga berdiskusi soal vaksin produksi Sinovac, yang saat itu sedang diuji coba di Indonesia. Djauhari tak mengingkari persamuhan dengan Yin Weidong bertujuan memperlancar pengiriman vaksin ke Indonesia. Pada pengujung 2020, sebanyak 3 juta dosis vaksin Sinovac pun tiba di Tanah Air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Djauhari, komunikasi dengan Sinovac mulai terjalin pada Maret 2020. Ketika itu, ia ditugasi Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mencari vaksin Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Para diplomat di Cina pun bergerak mencari informasi soal perusahaan farmasi yang melakukan riset pembuatan vaksin. Kepada Tempo pada Kamis, 14 Januari lalu, Retno membenarkan jika disebut menugasi sejumlah duta besar mencari vaksin Covid-19. “Kami membuka akses dan meratakan jalan untuk mendapatkan vaksin,” ucap Retno.
Para diplomat Indonesia di Negeri Panda menemukan ada tiga perusahaan farmasi yang melakukan riset, yakni Sinovac Biotech, CanSino Biologics, dan Sinopharm. Setelah melapor kepada Kementerian Luar Negeri, Djauhari diminta lebih kencang melakukan negosiasi dengan Sinovac. “Karena Sinovac telah lama bekerja sama dengan PT Bio Farma,” ujar Djauhari.
Seorang diplomat yang mengikuti jalannya negosiasi bercerita, staf KBRI baru bisa bertemu dengan pejabat Sinovac ataupun berkunjung ke pabriknya pada Mei 2020. Penyebabnya, pemerintah Cina mengeluarkan larangan bepergian sejak akhir 2019 hingga April 2020 akibat pandemi corona. Komunikasi antara para diplomat dan pejabat Sinovac pun berjalan melalui aplikasi WeChat. Menurut diplomat tersebut, pemerintah Indonesia mengajukan sejumlah permintaan dalam pengadaan vaksin Sinovac, seperti transfer teknologi, produksi massal oleh Bio Farma, dan kehalalan vaksin.
Pada 20 Agustus 2020, Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir meneken nota kesepahaman (MOU) dengan Sinovac di Hainan, Cina. Sinovac berjanji menyediakan setidaknya 40 juta dosis vaksin sejak November 2020 hingga Maret 2021, menyuplai bulk vaksin hingga akhir 2021, dan melakukan transfer teknologi. Penandatanganan kerja sama itu disaksikan oleh Menteri Retno Marsudi, Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir, dan Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin.
Budi Gunadi, kini menjadi Menteri Kesehatan, mengatakan Sinovac dipilih karena harga vaksinnya terjangkau. Metode pembuatan vaksinnya, yaitu membuat vaksin dari virus yang dilemahkan atau inactivated, juga cocok dengan teknologi yang dimiliki Bio Farma. “Sinopharm dan CanSino harganya mahal, dan kita tak bisa mengikuti teknologinya,” tuturnya kepada Tempo, Jumat, 15 Januari lalu. Harga vaksin Sinovac tak sampai Rp 200 ribu per dosis. Hingga 12 Januari lalu, 3 juta dosis vaksin dan 15 juta vaksin curah buatan Sinovac telah tiba di Indonesia.
Menteri Retno bercerita, pemerintah mencari vaksin ke berbagai negara untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri. “Ada dinamika pencarian vaksin di dunia,” katanya. Pada pertengahan Oktober 2020, Retno, Erick Thohir, Budi Gunadi Sadikin, dan tim dari Kementerian Kesehatan terbang ke London. Retno bercerita, pertemuan di London bertujuan membahas pembelian vaksin dengan AstraZeneca PLC. Bersama University of Oxford, perusahaan farmasi itu mengembangkan vaksin dengan metode rekombinasi DNA untuk memicu kekebalan tubuh terhadap virus corona.
Penandatangan perjanjian pembelian vaksin dengan AstraZeneca PLC, yang disaksikan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Menteri BUMN Erick Thohir di London, Oktober 2020. Twitter Menlu_RI
Sebelum para pejabat itu terbang ke London, pemerintah berkomunikasi secara daring (online) dengan petinggi AstraZeneca. Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Oscar Pribadi mengatakan pembicaraan itu terjalin sejak Juli 2020. Indonesia menyatakan minatnya membeli 100 juta dosis vaksin dari perusahaan tersebut. “Kami berniat menuntaskan perjanjian pembelian di muka pada akhir Oktober 2020,” ujarnya dalam siaran pers, Kamis, 15 Oktober 2020.
Dua pejabat pemerintah bercerita, kerja sama dengan AstraZeneca tak berjalan mulus. Penyebabnya, korporasi itu meminta uang muka sebesar US$ 250 juta atau sekitar Rp 3,5 triliun. Permintaan tersebut ditolak oleh Menteri Kesehatan saat itu, Terawan Agus Putranto. Seorang bekas anggota staf Terawan mengatakan penolakan dilakukan lantaran ada kekhawatiran vaksin AstraZeneca tak ampuh. Apalagi saat itu belum bisa dipastikan tingkat efikasi atau kemampuan vaksin mencegah penyakit dalam hasil uji klinis yang dilakukan kepada populasi dalam jumlah terbatas.
Permasalahan juga terjadi ketika Indonesia ditawari vaksin gratis dari Aliansi Global untuk Vaksinasi dan Imunisasi (GAVI), yang menginisasi vaksin Covax. Syarat mendapatkan vaksin gratis itu adalah negara anggota harus berkontribusi di Koalisi untuk Inovasi Kesiapsiagaan Pandemi (CEPI), yang mengembangkan vaksin. Seorang pejabat yang mengetahui proses negosiasi dengan GAVI mengatakan Terawan ogah memberikan duit kepada CEPI.
Agar Indonesia bisa mendapatkan vaksin cuma-cuma, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menghubungi Melinda Ann Gates dan GAVI. Sri dikenal dekat dengan Melinda saat dia bekerja di Bank Dunia. Melinda, filantropi yang juga istri pendiri Microsoft, Bill Gates, adalah salah satu donor terbesar CEPI dan GAVI melalui Yayasan Gates. Pada pertengahan tahun lalu, Sri Mulyani pun berkomunikasi dengan Melinda dan GAVI secara daring.
Kepada Tempo, Sri Mulyani membenarkan komunikasi tersebut. Ia mengaku kerap berkomunikasi dengan GAVI dan Melinda sejak awal pandemi. Menurut Sri, dia meminta Indonesia bisa memproduksi vaksin Covax. “Dan Indonesia bisa mendapatkan jatah vaksin Covax,” ucapnya. Belakangan, pemerintah Indonesia pun memberikan sumbangan US$ 1 juta untuk CEPI.
Terawan tak merespons panggilan telepon dan pesan pendek dari Tempo. Mantan anggota staf khusus Menteri Kesehatan Terawan, Alexander Ginting, membenarkan penolakan tersebut. Terawan, kata Alexander, menilai sistem uang muka itu berisiko jika vaksin AstraZeneca gagal. “Seperti membeli telepon genggam, kalau produknya gagal, risiko ditanggung pembeli meskipun belinya mencicil dengan kartu kredit,” ucap Alexander pada Jumat, 15 Januari lalu.
Rombongan pejabat Indonesia juga bertandang ke Jenewa, Swiss, pada pertengahan Oktober 2020. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan pemerintah ingin menegaskan kepada Chief Executive Officer GAVI Seth Berkley dan Direktur Jenderal Badan Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus agar Indonesia bisa mendapatkan vaksin. Apalagi, kata Retno, GAVI telah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo pada pertengahan September 2020. “Intinya mengatakan Indonesia adalah salah satu penerima,” ucapnya.
Setelah Terawan dicopot sebagai Menteri Kesehatan pada 23 Desember 2020, masalah dengan AstraZeneca pun selesai. PT Bio Farma meneken perjanjian dengan AstraZeneca pada 30 Desember 2020 untuk membeli 50 juta dosis vaksin. Seorang pejabat yang mengetahui kesepakatan itu bercerita, keterlambatan penandatanganan kerja sama membuat harga vaksin AstraZeneca yang dibeli Indonesia lebih mahal US$ 1 dari kesepakatan pada Oktober 2020. Namun Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan keterlambatan itu berpengaruh pada alokasi pengiriman.
Dua pejabat yang mengetahui proses perburuan vaksin menyatakan kunjungan para pejabat itu ke Eropa menggunakan pesawat Boeing Business Jet Max 7 milik pengusaha Andi Syamsuddin Arsyad atau Haji Isam. Mengaku tak mengetahui pemilik jet tersebut, Menteri Retno Marsudi membenarkan penggunaan pesawat pribadi itu karena yang mengurus transportasi adalah Kementerian BUMN. Menurut Retno, saat itu belum ada pesawat komersial yang mempunyai sambungan penerbangan yang cepat akibat pandemi. “Kita berpacu dengan waktu dan banyak pihak,” ujarnya.
Budi Gunadi pun mengatakan tak tahu pemilik pesawat yang ditumpanginya. Sedangkan Menteri Erick Thohir belum bisa dimintai tanggapan. Melalui anggota stafnya, ia berjanji segera menjawab pertanyaan yang diajukan Tempo. Adapun Isam tak merespons panggilan telepon dan pesan yang dikirimkan Tempo.
Pencarian vaksin juga dilakukan oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, yang bertandang ke Amerika Serikat pada pertengahan November 2020. Salah satu yang ditemui Luhut adalah Menteri Kesehatan Amerika Alex Azar. “Akan ada kerja sama vaksin Pfizer dengan Bio Farma,” kata Luhut. Direktur Utama PT Bio Farma Honesti Basyir mengatakan salah satu yang masih didiskusikan dengan Pfizer adalah permintaan agar tak dijerat secara hukum terkait dengan efek yang muncul dari vaksinasi.
HUSSEIN ABRI DONGORAN, DEVY ERNIS, RAYMUNDUS RIKANG
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo