Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEGERA kita bisa menangkap bahwa lukisan itu berkaitan dengan kisah Nuh. Berduyun-duyun masyarakat beserta hewan ternak, seperti sapi, kambing, kerbau, kuda, ayam, dan bebek, berdesakan menuju sebuah bahtera kayu raksasa yang tengah menepi. Lambung kayu kapal itu demikian tinggi dan panjang. Bahtera itu tampak bisa menampung ribuan orang. Dua buah tangga terjulur dari pintu sempit lambung yang terbuka. Tampak yang pertama ditujukan khusus bagi binatang. Yang kedua untuk para penumpang. Baik binatang maupun manusia naik dan masuk ke lambung kapal dengan tertib.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Burung-burung laut beterbangan. Samudra biru. Langit lumayan cerah. Di atas geladak telah ada puluhan orang. Mereka yang sudah di atas memperhatikan dan melambai-lambai kepada kerumunan di bawah. Di dek paling kanan, di dekat seekor “camar” laut yang bertengger, tampak seseorang berteriak sembari mengacungkan keris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lukisan Budi Ubrux berjudul The Boat of Emancipation and Hope itu merespons cerita salah satu komunitas Ratu Adil yang ditelaah Sindhunata. Dalam disertasi Sindhunata, dikisahkan pada abad ke-19 seorang Indo bernama Coenraad Laurens Coolen di Ngoro, Mojokerto, Jawa Timur, dan Kiai Ibrahim Tunggul Wulung di daerah Bondo, Gunung Muria, Jawa Tengah, menyebarkan kekristenan Jawa yang mempercayai Yesus sebagai Ratu Adil. Keduanya memiliki banyak pengikut. Tuan Coolen mengajarkan syahadat Kristen: La ilaha Illa Allah Jesoes Kristoes Poetrane Allah.
Sementara itu, Tunggul Wulung yang dianggap sebagai misionaris resmi Belanda mencampuradukkan Islam, Kristen, dan Buddhisme. Baik Tuan Coolen maupun pengikut Tunggul Wulung ditulis Sindhunata pernah mendapat penglihatan tentang Nuh. Tuan Coolen mengaku diminta Nabi Nuh mewartakan Ratu Adil. Sementara itu, pengikut Tunggul Wulung di Dukuh Seti percaya akan munculnya sebuah bahtera yang menyelamatkan para pengikut Kristen Jawa.
Betapapun demikian, tanpa membaca tulisan Sindhunata itu, lukisan Ubrux otonom. Karyanya dapat kita nikmati secara mandiri. Kita langsung tahu imajinasinya mengarah pada alegori atau amsal penyelamatan manusia. Ubrux menampilkan delapan lukisan berukuran besar, 200 x 400 sentimeter, dengan penguasaan anatomi dan komposisi warna mumpuni. Semua berkaitan dengan kisah-kisah Mesianis yang ditulis Sindhunata. Namun tidak semua lukisannya dapat langsung kita “pahami” seperti bahtera Nuh sebelumnya. Beberapa lukisan susah diraba bila kita tidak membaca disertasi Sindhunata. Ketegangan antara rasa ingin tahu mengenai konteks lukisan Ubrux dan dugaan imajinasi visual Ubrux tetap menjadi keasyikan tersendiri.
Taruhlah lukisan 18 lelaki petani dengan posisi berdiri dan bersila menatap ke muka itu. Wajah-wajah mereka tanpa sesungging senyum pun. Ada yang bersedekap, ada yang tangannya ngapurancang atau menautkan tangan di bawah pusar. Di belakang mereka terdapat sebuah rumah limasan sederhana dan seekor kerbau. Di depan mereka teronggok hasil panen padi dan kelapa. Tubuh mereka tampak tegang dan kaku. Mata mereka bersama-sama menatap awas obyek di muka mereka. Terutama lihatlah sosok berkumis yang bersila di tengah. Demikian keras roman muka dan sikap waspada silanya. Ada pacul dan arit di tengah-tengah mereka. Judul lukisan Melawan dengan Bertahan membuat kita memperkirakan mereka petani yang membangkang. Pacul dan arit memberi tafsiran mengenai ketegangan yang sewaktu-waktu bisa meledak. Tapi, bila kita membaca disertasi Sindhunata, ilustrasi itu merepresentasikan gerakan protes masyarakat Samin menolak pajak Belanda. Mereka dikenal menganut agama Adam yang diajarkan Samin Surosentiko. Sebuah ajaran yang menekankan perlawanan pasif dan antikekerasan.
Pengunjung melihat lukisan karya seniman Budi Ubrux berjudul "Janji bahagia surga Sukhavati", di Bentara Budaya Jakarta, 18 Januari 2024. Tempo/M Taufan Rengganis
Atau tengoklah lukisan Janji Bahagia Surga Sukhavati. Yang ditampilkan adalah suasana petani bekerja mencangkul dan menanam. Di langit terlihat para Buddha kosmis. Dewi Welas Asih dan para bhante melakukan puja menyinari mereka. Tentu kita tidak tahu inspirasi lukisan ini adalah kisah gerakan apokaliptik Buu Son Ky Huong di Vietnam yang percaya bahwa Maitreya (Buddha masa depan) akan turun di Vietnam. Kepercayaan ini dianut oleh beberapa sekte di Vietnam yang secara tragis pengikutnya banyak yang tewas dibantai partai komunis.
Hal demikian juga bisa kita nikmati dalam lukisan setengah surealis Menjelang Zaman Baru. Kita tak tahu konteksnya. Para penunggang kuda putih dan hitam misterius menerjang, menyerbu, dan memacu kudanya menginjak tumpukan ratusan manusia yang berimpitan. Muka para penunggang itu tertutup. Seorang di tengah yang berkuda hitam mengangkat neraca atau timbangan kecil. Setelah membaca disertasi Sindhunata, kita dapat menghubungkan lukisan ini dengan visi eskatologis rakyat tertindas Abad Pertengahan Eropa. Mereka percaya akan datangnya Kerajaan Allah. Seribu tahun sebelum tibanya Kerajaan Allah, akan datang para Mesias. Kemudian pengadilan Ilahi terhadap mereka yang kaya dan tamak akan berlangsung tanpa ampun.
Lukisan berjudul Menjelang Zaman Baru karya seniman Budi Ubrux di Bentara Budaya Jakarta, 18 Januari 2024. Tempo/M Taufan Rengganis
Yang segera mudah kita pahami adalah lukisan Perlawanan Rakyat dalam Bantengan. Di Jawa Timur, terutama di Malang dan Batu, sampai saat ini kesenian rakyat bantengan sangat populer. Hampir di semua kampung di Batu tiap bulan ada “tanggapan” bantengan. Bila musim pertunjukan bantengan tiba, jumlah penonton membeludak. Area parkir padat. Bantengan menggabungkan unsur tari, bela diri, dan mantra. Syahdan, kesenian jelata ini hidup sejak zaman Kerajaan Singasari. Dalam tiap bantengan, ada seorang “tetua” yang membawa pecut. Para penari yang membawa tiruan kepala banteng seolah-olah kerasukan dan menirukan banteng mengamuk. Mereka setengah trance.
Menurut Sindhunata, seni rakyat bantengan bagian dari spirit harapan wong cilik. Ubrux melukiskan betapa saat menonton masyarakat begitu dekat. Intim. Mereka termangu, terperangah, dan takjub menyaksikan “tarung” banteng dengan seorang berkopiah membawa cambuk yang berada di tengahnya.
Lukisan berjudul Perlawanan Rakyat dalam Bantengan karya Budi Ubrux di Bentara Budaya Jakarta, 18 Januari 2024. Tempo/M Taufan Rengganis
Akan halnya lukisan yang menampilkan presiden pertama Sukarno menuntun sepeda menyapa rakyat yang tengah bekerja di sawah, Kelahiran Marhaenisme, dengan cepat bisa kita simpulkan bertalian dengan harapan Sukarno tentang sosialisme khas Indonesia. Sementara itu, dua lukisan bertema ayam jago, Memenangkan Harapan dan Mengelus-elus Harapan, cukup susah diraba bertalian dengan Ratu Adil bila kita belum menyimak buku Sindhunata.
Lukisan yang pertama menampilkan sekelompok orang bertelanjang dada mengelu-elukan ayam jagoan masing-masing. Tampak kepercayaan diri mereka meluap. Seorang yang tangan kanannya mengepal dan tangan kirinya mengangkat tinggi-tinggi jago aduannya terlihat paling optimistis. Lukisan ini menjadi sampul buku Sindhunata.
Lukisan berjudul Mengelus-elus Harapan karya Budi Ubrux di Bentara Budaya Jakarta, 18 Januari 2024. Tempo/M Taufan Rengganis
Lukisan kedua kurang-lebih sama, menggambarkan kerumunan rakyat jelata membawa ayam jago. Hanya, suasananya lebih tenang. Dunia ayam jago seolah-olah adalah dunia dalam orang Jawa. Menurut Sindhunata, ayam jago bagi wong cilik Jawa adalah metafora Ratu Adil. Kita boleh setuju atau tidak atas pendapat ini. Tapi harus diakui kemampuan Ubrux menyajikan dua karakter dengan ekspresi emosi yang berbeda itu cukup berhasil.
Pameran ini menandakan fase baru Ubrux. Sebelumnya Ubrux terkenal dengan lukisan berupa sosok-sosok orang dibungkus koran. Manusia koran menjadi trademark-nya. Ubrux dengan keterampilan realismenya dengan detail menyajikan lekuk-lekuk kertas dan huruf koran yang menjadi belitan kostum sosok-sosok anonim. Keluar dari zona nyamannya, kini Ubrux masuk ke tema teologi harapan rakyat kecil. Ubrux ternyata memiliki kepekaan dan gairah mengolah gagasan-gagasan eskatologis.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Delapan Lukisan ‘Mesianistik’ Ubrux"