Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Introspeksi Diri dalam Lukisan Ayurika

Pameran tunggal lukisan Ayurika menjadikan dirinya obyek berkarya. Mengintrospeksi diri.

21 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Temu karya Ayurika di galeri Ruang Dini, Bandung, Jawa Barat, 16 Januari 2024. Tempo/Prima Mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pameran tunggal lukisan Ayurika di Bandung yang memamerkan potret diri.

  • Terinspirasi upaya mengintrospeksi diri.

DUA wajah perempuan yang sama berhadapan dari tampak samping. Dengan rambut diikat ke belakang, mereka saling menatap dengan ujung hidung nyaris menempel. Berjudul Temu, lukisan cat minyak pada dua panel bernuansa cokelat muda itu masing-masing melekat pada kanvas berukuran 200 x 150 sentimeter.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di sebelahnya, pada sebuah kanvas yang berukuran sama, dua wajah sesosok perempuan juga bersemuka. Seakan-akan tengah becermin, seraut wajah berlumur noda hitam seperti hangus. Pembatas muka mereka ditandai latar garis datar serta bidang miring yang berwarna merah gelap dan hitam. Lukisan dengan olahan warna kental merah kecokelatan dari cat minyak itu berjudul Hitamku.    

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam pameran tunggalnya yang kedua di Galeri Ruang Dini, Bandung, 13 Januari-4 Februari 2024, Rika Ayu Nilasari alias Ayurika menyiapkan secara khusus karya terbarunya, buatan 2023. Kali ini dia menjadikan wajahnya sendiri sebagai obyek fokus dalam semua lukisan, termasuk dalam seri karya berjudul Intimate Collision yang ditata menempel dengan ukuran total 5 x 4 meter serta Kedok pada kanvas 200 x 235 sentimeter. Muka dan replikasinya dengan berbagai ekspresi dimunculkan lewat gaya realis yang ekspresif untuk mengusung tema pameran yang berjudul “Kaca Benggala”.

Intimate Collision. Tempo/Prima Mulia

Bertolak dari kehidupan pribadi dalam keseharian, juga pengalaman spiritualnya, Ayurika mengawali ide karyanya dari perjumpaan dengan diri sendiri. Misalnya pertemuan fisik dalam suatu kejadian misterius yang tak disangka dan berdialog dengan diri sendiri yang sengaja dilakukan saat becermin. Ayurika berusaha mengenali sosok diri, identitasnya, menyusuri kenangan riwayat sejak masa kecil yang masih ada di ingatan hingga kehidupannya sekarang yang terus bergelut dengan realitas sosial. 

Selain secara fisik, ujar Ayurika, pertemuan dengan diri secara internal terjadi berkali-kali dalam aneka peristiwa hidup. Misalnya lewat dialektika nurani atau kekokohan ego, juga penilaian diri yang tercampur dengan pengaruh luar dan kemudian dipercaya. Ayurika pun berupaya melihat diri secara obyektif dengan berjarak. Dalam karya, misalnya, hal itu ia tandai dengan memberi jarak 10 sentimeter dalam sepasang lukisan berjudul Temu. “Susah, ya, melihat diri secara obyektif, karena fitrahnya membela diri, menerima yang bagus saja, cenderung begitu,” kata Ayurika saat ditemui Tempo di Bandung, 13 Januari 2024.

Dalam konsep karyanya itu, ia pun menjumput kisah dan istilah “kaca benggala” yang merupakan cermin besar. Di kalangan masyarakat tempat kelahiran Ayurika di Grobogan, Jawa Tengah, ada yang memasang cermin dengan posisi digantung miring. Tujuannya adalah membuat orang yang becermin bisa terlihat secara utuh dari ubun-ubun di kepala hingga ujung kaki. Falsafahnya, dia menjelaskan, becermin untuk melihat keutuhan sampai ke dalam diri demi evaluasi atau introspeksi. “Itu sebenarnya wacana lama, kaca untuk introspeksi, tapi ini lebih ke bagaimana kita berani menyaksikan cela kita ketika berhadapan,” ucapnya.

Kaca benggala, bagi Ayurika, adalah metafora. Pameran karyanya kali ini menjadi semacam catatan pinggir dari proses membaca diri. Semua rasa yang terkembang dari dalam diri, menurut Ayurika, akan muncul dan terlihat pada wajah sehingga kerap disebut cerminan hati. Dia menambahkan, diperlukan keberanian untuk melihat wajah dan tubuh sendiri, termasuk yang dinilai tidak sempurna, sebagai suatu keutuhan. Kondisi seperti itu pula yang tengah dilakoninya sebagai seniman, istri, dan ibu seorang anak berusia dua tahun.

Menurut Ayurika, karyanya dalam pameran ini menandai kembalinya proses melukis dengan cat minyak dan sapuan kuas yang sebelumnya ia lakukan. Sebelumnya, dua tahun terakhir, ia hanya bisa menggosokkan pastel pada permukaan kanvas. Nuansa warna karyanya pun menjadi agak cerah dibanding lukisan cat minyaknya yang cenderung gelap dengan penggunaan warna alam seperti tanah dan dedaunan. 

Pilihan gaya itu terpengaruh latar belakangnya semasa kecil di desa. Bapaknya yang menyukai aneka seni, termasuk melukis, membuat cat pigmen racikan sendiri dari dedaunan dan tanah. Pengalaman dan kenangan yang membekas itu menjadi bagian dari praktik seninya. Saat ia beralih ke pastel, kecerahan warna karyanya dipengaruhi aneka mainan anaknya. Seniman yang lahir pada 28 Agustus 1996 itu bisa berdamai dengan suasana hatinya yang semula enggan melukis dengan warna cerah.

Fase perubahan itu adalah dampak penurunan kondisi fisik Ayurika yang terjadi setelah ia melahirkan anak pertamanya pada 2021 lewat operasi caesar. Seminggu setelah melahirkan, ia ingin segera melukis. Namun, apa daya, kedua tangannya sulit menggenggam benda seperti pensil, kuas, sendok, dan piring dengan kuat seperti biasanya. “Seperti enggak ada daya untuk mencengkeram,” ujarnya. Terapi pemulihannya yang masih berlangsung sampai sekarang dilakukan di rumah lewat aktivitas seperti mencuci piring, mencuci beras untuk dimasak, juga menyapu lantai.

Saat membantu usaha rumah makan mertuanya, Ayurika menggunakan abu sisa pembuatan nasi bakar di dapur. Abu itu menjadi inspirasinya untuk melukis dengan pastel, yang lalu ia gosok-gosokkan pada kanvas. Kondisi itu turut mengubah kebiasaan melukisnya yang tadinya seolah-olah tidak kenal lelah. Kini, setelah kembali melukis dengan kuas, Ayurika akan berhenti saat genggaman tangannya sudah gemetar. 

Pameran karya Ayurika di galeri Ruang Dini, Bandung, Jawa Barat, 16 Januari 2024. Tempo/Prima Mulia

Walhasil, produktivitas karyanya berkurang dan ia paling banyak mengikuti tiga acara pameran dari biasanya puluhan setiap tahun. Meski begitu, Ayurika merasa kerjanya melukis kini lebih terkendali, dari soal kematangan berpikir hingga goresan kuasnya. “Dulu berlebihan karena power saya besar, enggak gampang capek,” katanya. Selain itu, waktu pembuatan lukisannya pada kanvas menjadi lebih cepat. Sebelumnya, dia sering merasa karyanya punya banyak kekurangan sehingga perlu digarap hingga empat bulan per kanvas. Sekarang Ayurika cukup memerlukan empat hari untuk merampungkan lukisannya.

Sebelum pamerannya di Bandung ini, seniman yang lulus dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada 2021 itu menggelar pameran tunggalnya yang berjudul “Rong” di Kiniko Art Space, Yogyakarta, pada 2022. Saat itu Ayurika menampilkan tema ketubuhan yang ditampilkan telanjang. Adapun pameran bersama dengan seniman lain ia lakukan sejak 2017. Pada tahun itu juga ia masuk daftar Young Artist China Nomination di Beijing. Adapun pada 2018 lukisannya dinobatkan sebagai karya terbaik dalam acara melukis bersama “Titik Nol” yang digelar Museum Basoeki Abdullah di Benteng Vredeburg, Yogyakarta.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kaca Benggala Ayurika"

Anwar Siswadi (Kontributor)

Anwar Siswadi (Kontributor)

Kontributor Tempo di Bandung

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus