Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENYAIR, pemikir, sastrawan, dan budayawan Abdul Hadi W.M. berpulang. Diiringi hujan rintik-rintik dan disaksikan sejumlah kerabat, sahabat, dosen, dan mahasiswa, perlahan-lahan jasad Abdul Hadi yang semasa hidupnya begitu sederhana dan rendah hati itu kembali ke alam keabadian, Jumat, 19 Januari 2024. Di sebuah kompleks permakaman di Jati Asih, Bojong Kulur, Bogor, Jawa Barat, ia menempati peristirahatannya yang terakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita kehilangan pemikir yang begitu mumpuni mengungkapkan kekayaan terpendam khazanah kesusastraan klasik Nusantara. Meski begitu, Abdul Hadi telah meninggalkan warisan pemikirannya yang terhimpun dalam begitu banyak buku kajian, antologi puisi, esai tentang tokoh-tokoh muslim dunia, dan artikel lepas yang berserak di majalah Horison, Dewan Sastera (Malaysia), surat-surat kabar nasional, dan beberapa karya terjemahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lahir di Sumenep, Madura, Jawa Timur, 24 Juni 1946, pria bernama lengkap Abdul Hadi Wiji Muthari ini adalah pemikir yang konsisten membersihkan kesalahpahaman masyarakat terhadap citra, peran, dan sumbangan tasawuf bagi kesusastraan dan kebudayaan Indonesia. Ia sendiri mengakui, “Beberapa tahun lamanya saya menyangka bahwa Hamzah Fansuri adalah seorang sufi yang mengabaikan peribadatan formal atau syariah dalam menjalani kehidupan religiusnya.”
Pada mulanya Abdul Hadi memandang penulis “Syair Perahu” itu dalam kaitannya dengan dunia tasawuf. Boleh jadi pandangan tersebut seperti mewakili anggapan masyarakat terhadap kehidupan kaum sufi yang asketik, menjauhi segala yang berurusan dengan perkara duniawi, lebih mementingkan urusan akhirat, dan cenderung menjauhkan diri dari kehidupan sosial.
Setelah mempelajari syair-syair Hamzah Fansuri, menyelami pemikiran Ibnu Arabi, Al-Hallaj, dan Muhammad Iqbal serta khazanah sastra Arab, Persia, dan India juga memahami simbolisme dalam puisi-puisi penyair sufi, Abdul Hadi menyadari bahwa pandangan itu keliru.
Itulah salah satu pemantik guru besar Universitas Paramadina, Jakarta, ini mencoba menjelaskan kehidupan kaum sufi dan dunia tasawuf dari perspektif yang lebih luas. Salah satu mahakaryanya, Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri (2020), sebuah kajian yang mendalam dan komprehensif tentang Hamzah Fansuri, menegaskan dunia tasawuf tidaklah seburuk yang dicitrakan. Sejauh ini karyanya yang berasal dari disertasinya yang berjudul “Sastera Sufistik: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Syaikh Hamzah Fansuri” di University Sains Malaysia itu merupakan karya terlengkap yang membicarakan Hamzah Fansuri.
Peran Hamzah Fansuri memang sangat penting. Ia yang awal mula menyebarluaskan pemakaian huruf Jawi (Arab-Melayu) dalam dunia intelektual pada zamannya. Ali Hasjmi menyebut Hamzah Fansuri sebagai Bapak Tasawuf Nusantara dan Bapak Sastra Melayu. Sementara itu, A. Teeuw (1994) menyebut Hamzah Fansuri sebagai Sang Pemula Puisi Indonesia (1994). Abdul Hadi sendiri menyebut Hamzah Fansuri sebagai intelektual yang membawa bahasa dan kesusastraan Melayu naik ke tahap perkembangan baru yang sangat maju.
Kajian-kajian yang dilakukan Abdul Hadi tidaklah berhenti hanya pada Hamzah Fansuri dan para penulis dari khazanah sastra Melayu. Ia juga memperkenalkan kedalaman puisi-puisi Jawa yang ditulis Ronggowarsito, Yosodipura, bahkan karya-karya klasik Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga yang selama ini nyaris tak tersentuh. Dengan cara itu, ia laksana membuka cakrawala kultural bahwa karya-karya klasik itu merupakan bukti leluhur bangsa ini sudah menghasilkan produk literasi yang belakangan kemudian menjadi bahan kajian para peneliti asing.
Bermula pada awal 1970-an, Abdul Hadi melontarkan gagasan “Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber” yang belakangan dianggap sebagai gerakan (sastrawan) Angkatan 70. Tawarannya adalah memanfaatkan pilar kebudayaan Indonesia yang berakar pada animisme, Hinduisme, dan Islam sebagai sumber penciptaan. Dari sana muncullah polemik tentang sastra Islam, sastra sufistik, profetik, dan beberapa istilah lain yang erat hubungannya dengan dunia tasawuf. Abdul Hadi, Sutardji Calzoum Bachri, Fudoli Zaini, Kuntowijoyo, dan Taufiq Ismail—sekadar menyebut beberapa nama—adalah tokoh-tokoh yang terlibat dalam polemik itu. Lembaran Dialog harian berita Buana yang diasuh Abdul Hadi membuka peluang lebih luas polemik itu terus bergerak. Itulah beberapa sumbangan penting Abdul Hadi.
Sebelum itu, Abdul Hadi dikenal sebagai penyair. Puisinya yang berjudul “Tuhan Begitu Dekat” adalah salah satu puisi terbaik Indonesia. Beberapa antologi puisinya, seperti Laut Belum Pasang, Meditasi, Tergantung pada Angin, atau Anak Laut Anak Angin, menunjukkan pesan budayanya “Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber” sebagai panggilan tanah leluhur (Madura) yang tidak dapat dilepaskan dari tiga pilar yang dominan membangun kebudayaan Indonesia, yaitu animisme, Hinduisme, dan Islam. Puisi-puisinya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari delapan bahasa asing dan dialihwahanakan untuk berbagai kepentingan.
Di jagat puisi, ia menawarkan fondasi pengucapan yang berakar dan bersumber dari tradisi leluhur yang sesungguhnya menjadi kekayaan kultural penduduk Nusantara jauh sebelum bangsa-bangsa asing datang. Kesadaran pada akar dan sumber kultural itu justru makin meluaskan cakrawala budaya, pemikiran, dan filosofi kebudayaan bangsa pada dunia Timur, tanpa harus menolak atau membenturkannya dengan pengaruh pemikiran dunia Barat.
Perspektif budaya yang ditawarkannya menegaskan karakteristik budaya Nusantara yang tumbuh dan berkembang itu karena sikap hidup penduduknya yang terbuka, toleran, dan kreatif. Sesungguhnya, dari sana kita dapat menarik benang merah peta jalan terbentuknya kebudayaan Indonesia.
Sebagai akademikus, Abdul Hadi menawarkan berbagai kajian, terutama hermeneutika, atas karya-karya dunia Timur, khususnya model estetika Arab, India, Cina, dan tentu saja Nusantara. Dampaknya cukup luas. Berbagai kajian terhadap karya-karya kaum sufi mulai banyak dilakukan para peneliti di Tanah Air. Dunia tasawuf pun tidak lagi diperlakukan sebagai doktrin Islam yang dapat membawa seseorang dalam kehidupan asketik. Dalam kenyataannya, kaum sufi juga menghasilkan karya-karya yang berkaitan dengan antropologi, sosiologi, filsafat, dan lainnya.
Kuliah sastra Islam yang diselenggarakan Abdul Hadi di Fakultas Sastra—kini Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya—Universitas Indonesia entah bagaimana nasibnya sekarang. Padahal, dalam kuliah itu, ia mencoba membentangkan sungai besar terbentuknya kesusastraan Islam di Nusantara yang cikal bakalnya adalah sastra Arab zaman jahiliah hingga ke kesusastraan Arab modern yang banyak terinspirasi dari kisah-kisah Al-Quran. Kisah Dewaruci atau Pandawa Lima adalah contoh lain terjadinya persentuhan berbagai kesusastraan yang bersumber dari tradisi kebudayaan yang berbeda.
Bagaimanapun, pemikiran Abdul Hadi dalam sejumlah karyanya, terutama kajian-kajiannya pada khazanah kesusastraan klasik—Jawa, Melayu, Arab, Persia, India, Cina, dan Jepang—tidak hanya memberi warna lain dalam perkembangan kesusastraan Indonesia, tapi juga kesusastraan di kawasan Asia Tenggara. Itu tampak dari begitu banyaknya pemikirannya yang dikutip sebagai rujukan berbagai kajian tentang tasawuf atau yang berkaitan dengan hal tersebut. Abdul Hadi telah menjadi sosok intelektual penting di Asia Tenggara.
Di luar itu, sesungguhnya masih cukup banyak esai Abdul Hadi W.M. yang tercecer dan belum sempat dibukukan. Polemik tentang Angkatan 70, perdebatan sastra Islam, berbagai kajian khazanah sastra klasik, dan lainnya yang berupa artikel, makalah, dan bahan kuliah masih tersimpan dalam sebuah kardus besar. Ia tidak sempat menyusun, mengumpulkan kembali, dan menerbitkannya dalam bentuk buku. Entah bagaimana kelak nasib tulisan-tulisan yang tercecer itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Abdul Hadi: Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber"