Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Karya lukisan dengan medium garam dalam pameran Art.The.Fact 3.0 di Museum Bahari.
Lukisan yang menyuarakan kegelisahan para petani garam dan nelayan Desa Dasun.
DARI kejauhan, bentangan seperti karpet terhampar di sisi kiri lorong sebelum pintu masuk ruang pamer di Gedung B, Museum Bahari, Jakarta. Dasarnya hitam, di bagian pinggir diberi garis merah. “Karpet” dari garam ini menampilkan gambar tentang kemaritiman. Seorang nelayan bercaping dan bertelanjang dada dengan badan yang terlihat liat menggenggam jala yang siap ditebarkan. Wajahnya tersenyum, memancarkan aura positif, seperti harapan yang besar mendapatkan hasil. Di sekelilingnya ada udang-udang besar, ikan selar, atau ikan kakap putih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sisi kiri, terlihat gambar sebuah jukung atau perahu nelayan yang bagian haluannya diberi motif atau hiasan dan satu tiang layar. Penduduk Desa Dasun, Lasem, Rembang, Jawa Tengah, menyebut bagian haluan ini sebagai linggi. Jukung yang ditumpangi beberapa nelayan ini sedang berlayar di tengah gelombang. Gulungan ombak terlihat indah dalam lukisan. Di sekitarnya cumi-cumi yang sering disebut nus oleh warga desa dan kepiting rajungan bertebaran di sekeliling jukung. Di bagian atas, bertebaran pula bintang. Seakan-akan hal itu menggambarkan suasana ketika para nelayan berlayar jauh di tengah lautan mencari ikan pada malam yang cerah. Lukisan yang berteknik stilisasi itu tampak hidup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah fragmen kehidupan nelayan yang tengah mencari penghidupan di lautan digelar di lantai beralas busa eva foam berwarna hitam. Lukisan monokrom ini memang hanya menggunakan garam, material yang menjadi medium berkreasi bagi beberapa petani atau pemulia garam dari Desa Dasun. Lukisan itu hasil kolaborasi dengan seniman asal Rembang yang kini tinggal di Bekasi, Jawa Barat, Eggy Yunaedi.
Petani garam Desa Dasun, Kecamatan Lasem, membuat lukisan dari garam berjudul Kolam Susu yang dipamerkan dalam Art.The.Fact 3.0 di Museum Bahari, Jakarta, 4 September 2024. Tempo/Ilham Balindra
Karya yang memperlihatkan narasi gemah ripah dengan banyaknya hasil laut ini diberi judul Kolam Susu, Memory of the Future. Untuk melukis dengan medium berukuran 2,1 x 6,3 meter itu, mereka mengangkut 50 kilogram garam kasar atau garam krosok dari desa mereka ke Museum Bahari. Di atas hamparan lukisan itu diputarkan video yang memperlihatkan karya lukisan garam pada tahun lalu, yang diambil dari udara. Beberapa kardus kecil dan botol berisi garam diletakkan sedemikian rupa di rak di bawah tangga.
Judul karya lukisan ini mengingatkan kita pada lagu Koes Plus yang tenar pada 1970-an. Petikan lagu yang mengetengahkan kekayaan tanah dan laut Indonesia ini diperdengarkan saat dialog seniman di Museum Bahari pada Jumat, 23 Agustus 2024. “Kail dan jala cukup menghidupimu, tiada badai tiada topan kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu,” demikian lirik lagu berjudul “Kolam Susu” tersebut.
Piagam Rekor Muri yang didapatkan petani garam Desa Dasun, Kecamatan Lasem, diperlihatkan dalam pameran Art.The.Fact 3.0 di Museum Bahari, Jakarta, Rabu, 4 September 2024. Tempo/Ilham Balindra
Eggy Yunaedi membeberkan sedikit pesan dari karya yang dipamerkan itu. Karya tersebut menggambarkan betapa kayanya laut di Indonesia yang diperlihatkan dengan gambar udang, cumi, dan ikan yang berlimpah di sekitar jala dan perahu. Sebuah gambaran masa lalu yang indah dikenang dari kehidupan nelayan kita. Karya ini juga merupakan sebuah pesan yang cukup menohok. Imajinasi karya ini diharapkan bisa menjadi nyata. Kekayaan laut menyejahterakan nelayan dengan hasil yang berlimpah.
Eggy mengutip data laut Indonesia sebagai penghasil ikan terbesar kedua dunia dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia. Mirisnya, data Badan Pusat Statistik 2019 menunjukkan 90 persen dari 16 juta nelayan berada di garis kemiskinan. Dulu nelayan Dasun pun bisa hidup berkecukupan dengan bermodal perahu layar dan jala.
“Jadi ingatan masa lalu ini hendak diproyeksikan. Keinginan masa lalu yang menjadi harapan para nelayan yang digambarkan dalam karya kami,” ujar Eggy, yang hendak menyimbolkan kehidupan yang lebih berkelanjutan.
Karya berjudul Garis Ombak oleh seniman Iwan Yusuf yang ditampilkan dalam pameran Art.The.Fact 3.0 di Museum Bahari, Jakarta, Rabu, 4 September 2024. Tempo/Ilham Balindra.
Faktanya, kehidupan nelayan kini makin susah karena kerusakan alam yang disebabkan oleh teknologi seperti kapal dan jala penangkap ikan yang merusak. Hal inilah yang diungkapkan Angga Hermansyah, salah satu nelayan dan petani garam yang ikut melukis dalam karya itu. Angga menjadi nelayan sejak berusia 21 tahun. Mewarisi tradisi budaya dan kehidupan dari nenek moyangnya, ia menggunakan perahu tradisional jukung untuk mencari ikan. Ia berangkat pada sore ke laut dengan bantuan angin darat untuk mengarahkan perahu layar. Bintang dijadikan panduan untuk menentukan arah hingga waktunya ia pulang. “Bintang gubung penceng untuk arah selatan. Bintang kelapa ndoyong digunakan jika sudah waktunya pulang,” ucap Angga.
Sayangnya, perkembangan teknologi malah merusak alam, termasuk laut di area nelayan Dasun mencari penghidupan. Kini mereka harus melaut lebih jauh dan sering pulang tanpa hasil. Tiga bulan terakhir sering kali tidak ada tangkapan sama sekali. Karena itulah mereka mengekspresikan masalah tersebut dalam lukisan itu. “Ini ruang ekspresi kami tentang kekayaan laut. Tapi kami juga sangat berduka atas laut Indonesia dengan keberagaman hayatinya. Nelayan Dasun susah mendapat tangkapan dan tetap miskin,” tuturnya.
Replika Kapal dipamerkan dalam pameran Art.The.Fact 3.0 di Museum Bahari, Jakarta, Rabu, 4 September 2024. Tempo/Ilham Balindra
Di seberang karya garam ini terdapat sebuah karya yang terbuat dari jaring nelayan milik Iwan Yusuf. Kedua karya itu menebalkan tema pameran Art.The.Fact 03 kali ini, yakni “The Monumental Ships: Shared Cultural Heritage, Sharing The Memories”. Digelar di Museum Bahari sejak 22 Agustus hingga 26 Oktober 2024, pameran ini menitikberatkan jejak warisan dunia kapal dari berbagai dunia dan kisah perjalanannya.
Lukisan garam Kolam Susu merupakan karya ketiga kolaborasi petani garam dengan Eggy. Sebelumnya mereka melukis dengan ukuran medium yang cukup spektakuler, 34 x 22 meter, yaitu tambak bengkok desa jatah untuk Kepala Desa Dasun. Karya inilah yang divideokan dari udara. Terlihat betapa besar karya yang mendapat penghargaan dari Museum Rekor Dunia-Indonesia atau Muri ini. Karya kedua mereka, Pranata Banyu—sebuah konsep yang hampir menyerupai pranata mangsa. Ini adalah sistem penanggalan atau kalender pertanian.
Pranata Banyu pun berkaitan dengan penanggalan dalam aktivitas melaut para nelayan. Sistem kalender itu berguna untuk menghitung pergantian musim, mengamati perubahan pergerakan air sungai dan laut, menjadi tata cara mengelola tambak bandeng dan garam, serta melihat tanda alam yang mempengaruhi musim. Pranata Banyu dipamerkan di Sangkring Art Project, Yogyakarta, pada Maret 2024.
Perahu kayu khas Indonesia, pinisi, dipamerkan dalam pameran Art.The.Fact 3.0 di Museum Bahari, Jakarta, Rabu, 4 September 2024. Tempo/Ilham Balindra
Eggy melukis sketsa perahu ketika melihat sebuah perahu nelayan. Ia menambahkan linggi atau motif hiasan di haluan perahu. Saat ini sudah tidak banyak perahu nelayan yang dihiasi dengan motif-motif itu.
Dalam melukis dengan garam, Eggy mengimbuhkan, secara teknis para pemulia garam ini sudah sangat bagus. Mereka memahami bentuk-bentuk obyek lukisan dan makin mahir membuat gradasi lukisan yang berbeda. Mereka mampu mengukur tebal-tipisnya garam yang ditaburkan untuk membentuk obyek. Hasilnya, obyek seperti ikan, udang, cumi, gelombang, dan jala menjadi hidup. “Mereka cepat memahami dan sangat berkembang. Saya masih terlibat untuk komposisinya. Misalnya yang bagian ini kurang proporsional, kegedean, atau kurang,” ujar Eggy. Ia meyakini mereka sudah cukup mampu melukis di tempat, seiring dengan kemampuan mereka memberikan narasi atas temanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kolam Susu, Suara dan Harapan Warga Dasun"