Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MATAHARI di Seoul bersinar gahar, menciptakan warna putih di tengah lapang. Sejumlah anak muda dan fotografer berhamburan di depan Taman Sejong. Kebanyakan sibuk mengambil gambar patung besar Raja Sejong, yang sedang duduk di atas kursi kekaisarannya.
Patung itu berada di pusat Kota Seoul, tepatnya berada pada titik persilangan antara Istana Gyeongbok di sebelah utara, Kedutaan Amerika di sebelah barat, Gedung Sejong Center di sebelah selatan, dan Center Government Complex Anex di sebelah barat.
Patung Raja Sejong ini dibangun pemerintah Korea untuk menghormati jasanya dalam penciptaan Hangul, huruf yang hingga kini digunakan baik di Korea Selatan maupun Korea Utara. Museum Raja Sejong yang dibangun di bawah Sejong Park secara gratis menawarkan teknologi yang mempermudah mengingat sejarahnya, mulai film yang menceritakan perjuangan Raja Sejong menemukan huruf Hangul hingga lukisan Raja Sejong yang dapat berbicara. Lukisan itu dibuat animator Korea lengkap dengan jubah, mahkota, dan kursi kekaisaran. Sejong seolah-olah hidup, memiliki sorot mata, dan berkata-kata.
”Bahasa bangsa Han berbeda dengan bahasa bangsa Cina, huruf Hanja tidak sesuai dengan pengucapan bangsa Han. Karena itu, rakyat tercinta saya yang belum bisa membaca tidak bisa menuangkan perasaan mereka ke dalam tulisan,” ucap Raja Sejong dalam sebuah lukisan tiga dimensi yang seolah hidup.
Lahir pada 1397, Sejong, raja ke-4 di Dinasti Joseon, khawatir rakyatnya tak bisa mengekspresikan perasaan melalui huruf Hanja, huruf Cina yang biasa digunakan warga Korea saat itu untuk menulis. Kata-kata dalam lukisan hidup Raja Sejong itu merupakan pidato yang diucapkan Sejong saat pengesahan huruf Hangul pada 1443.
Dalam museum itu juga diceritakan bagaimana Sejong menciptakan huruf Hangul dengan meneliti fonetika dan cara pengucapan bahasa Korea oleh rakyatnya. Sejong kemudian menciptakan penampang kerongkongan manusia dari kayu, yang menggambarkan secara detail anatomi kerongkongan dan pita suara.
Sejak itulah Raja Sejong tidak kesulitan mengidentifikasi suara yang keluar dari mulut rakyatnya, dan diwujudkan dalam satu bentuk aksara. Misalnya ketika mengambil aksara Ka, sejong menggambarkannya dengan huruf berbentuk alur kerongkongan manusia. Alasannya, suara Ka keluar dari kerongkongan dan langit-langit mulut.
Selain lukisan hidup Sejong, ada game di museum tersebut yang menggunakan teknologi tiga dimensi. Permainan itu adalah mengayuh perahu yang menceritakan peperangan Panglima Angkatan Laut Yi Sun Sin melawan angkatan laut Jepang dengan kapal kura-kuranya.
Jarum jam menunjuk ke pukul 14.00 waktu Seoul. Sudah saatnya penjaga Istana Gyeongbok bertukar tugas jaga. Lima belas orang pengawal berpakaian merah-biru-kuning bersiap melakukan apel. Sebelum ganti jaga, mereka wajib melakukan patroli keliling istana dengan berbaris rapi, sambil memainkan musik tradisional Korea, Nongak Nori.
Irama musiknya tidak teratur, tapi langkah-langkah penjaga istana itu betul-betul rapi. Tidak ada satu pun kesalahan formasi yang terselip dari langkah mereka. Ekspresi peniup Daegeum (suling besar), pemukul Pungmul Janggo (genderang berbentuk jam pasir), dan Jing (gong) semuanya sama. Rata, tidak ada satu pun yang tersenyum.
Sekilas mata memandang, para penjaga istana terlihat sudah tua. Namun, ketika beberapa orang sudah berganti kostum, mereka terlihat sama sekali berbeda. Penjaga istana itu adalah anak-anak muda berusia 20-30 tahun. Rupanya mereka berdandan dengan kumis-jenggot tempelan serta baju yang berlapis-lapis agar terlihat lebih tua.
”Menjadi penjaga istana ini adalah kerja sampingan saya selain kuliah,” ujar salah satu penjaga istana bernama Han. Menurut Han, menjadi penjaga istana menghasilkan uang yang tidak banyak. Tapi keuntungan menjadi penjaga istana adalah dapat mengetahui lebih banyak soal sejarah dan budaya tradisional Korea.
Melamar sebagai penjaga istana, menurut Han, tidak mudah. Ada persyaratan tinggi dan berat badan yang harus dipenuhi, layaknya seleksi militer. ”Minimal tinggi badan harus 185 sentimeter dengan berat proporsional,” ujarnya.
Kesehatan fisik dan mental penjaga istana juga harus di atas rata-rata. Meski tidak dituntut untuk berperang atau menjaga istana dalam arti sebenarnya, para penjaga ini diwajibkan berdiri berjam-jam tanpa boleh bergerak sedikit pun. ”Harus diam, menggaruk pun hanya boleh kalau terpaksa,” ujar Han.
Han mengaku, yang paling sulit dilakukan adalah harus berdiri diam, sementara pengunjung perempuan yang seusia dengannya mencoba menggoda ketika mengambil foto.” Padahal tidak diperbolehkan menyentuh penjaga istana dan ada petugas yang bekerja untuk memperingatkan hal itu,” kata Han. ”Namun masih saja ada yang mencoba bergelayut manja,” ujarnya Han setengah tersenyum.
Kerja magang menjadi penjaga istana merupakan salah satu program pemerintah Korea Selatan melestarikan kebudayaan tradisional dan sejarah Istana Gyeongbok kepada anak muda di Seoul. Dampak globalisasi di Seoul menggeser sedikit cara berpikir muda-mudi di kota yang tidak terlalu heterogen itu. ”Sekarang anak muda di Seoul lebih senang budaya Amerika dan Eropa, daripada budaya sendiri,” ujar seorang kakek bernama Shin Hyun-jun.
Kehidupan muda-mudi Seoul yang simpel dan aktif memang membuat jarak dengan kebudayaan tradisional Korea yang cenderung ribet. Inilah yang dirasakan salah satu mahasiswi Universitas Chonnam bernama Lynn Jong. Ia salah satu gadis yang paling enggan memakai pakaian tradisional Hanbok.
Lynn beralasan harga Hanbok mahal sekali. Satu set bisa mencapai 400 ribu won. ”Kalau aku lebih memilih tidak punya Hanbok daripada menghabiskan uang yang dikumpulkan berbulan-bulan hanya untuk pakaian yang belum tentu setahun sekali dipakai. Sudah itu dipakainya susah sekali, berlapis-lapis,” ujar Lynn.
Toh, pemerintah Korea tidak kekurangan usaha untuk mengenalkan budaya tradisional Korea kepada anak muda di Seoul. Selain program magang sebagai penjaga istana, kunjungan gratis ke istana dan foto-foto dengan memakai Hanbok menjadi promosi paling moncer.
Lagi pula saat ini Istana Gyeongbok menjadi salah satu tempat pilihan paling romantis bagi muda-mudi Seoul untuk memadu kasih. Apalagi di depan salah satu bangunan Gyeongbok ada pendapa Hyangwonjeong, yang dikelilingi taman air, jembatan tua, dan pepohonan teduh. Padahal tempat itu tertutup untuk umum, tapi tetap saja banyak sekali pasangan yang nongkrong di situ.
Larangan itu sebenarnya karena jembatan yang melintang ke Hyangwonjeong sudah sangat tua. Istana Gyeongbok dibangun pada 1394 di atas lahan seluas 410 ribu meter persegi. Gyeongbok berarti istana yang mendapat berkah dari langit. Istana ini dibangun ketika Raja Taejo dari Dinasti Joseon memerintah.
Istana ini adalah satu-satunya istana Kerajaan Korea yang sejumlah bangunannya selamat dari aksi bakar-bakaran Jepang. Saat itu banyak sekali situs bersejarah di Korea yang dibakar Jepang dengan tujuan menghapus jejak D inasti Joseon.
Keluarga kerajaan terakhir yang menempati istana ini adalah Raja Gojong dan Ratu Myeongseong. Saat itu Ratu Myeongseong yang ikut menjalankan pemerintahan tidak pernah mau menurut pada Jepang. Akhirnya pada 1895 ia dibunuh oleh intelijen Jepang. Setelah insiden itu, Raja Gojong dan keluarga kerajaan lain tidak pernah balik lagi ke Istana Gyeongbok.
Istana ini memiliki enam gerbang utama. Gwanghwamun sebagai gerbang selatan. Heungnyemun dan Geunjeongmun sebagai gerbang dalam, Sinmumun sebagai gerbang utara, Geonchunmun sebagai gerbang timur, dan Yeongchumun sebagai gerbang barat.
Secara tidak langsung, Korea yang juga pernah berada di bawah kekaisaran Dinasti Tang, Cina, mengadopsi bentuk istana ini dari Kota Terlarang di Beijing. Hanya, Kota Terlarang lebih besar delapan kali bila dibandingkan dengan istana Gyeongbok.
Pemugaran pertama kali terhadap istana ini dilakukan pada 1989. Saat itu masih banyak bangunan di Istana Gyeongbok yang belum terekonstruksi. Pemugaran dilanjutkan pada 1995. Saat itu, dengan segala perdebatan, gedung pemerintahan Jepang, yang dulu sengaja dibangun di dalam kompleks Istana Gyeongbok, langsung dihancurkan.
Di atas bekas lahan gedung pemerintahan Jepang itulah rekonstruksi gerbang dalam Istana Heungnyemun dilakukan. Dari hasil pemugaran terakhir pada 2009, 40 persen bentuk asli Istana Gyeongbok sudah dapat dibangun kembali. Hampir sama dengan delapan abad yang lalu, ketika Raja Taejo membangun 330 bangunan dan 5.792 kamar di dalamnya.
Cheta Nilawaty
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo