Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DERING telepon menyela rapat di PT Dirgantara Indonesia, Rabu dua pekan lalu. Muhamad Nuril Fuad, pelaksana tugas Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia, segera mengangkat telepon. Di seberang sana terdengar suara Menteri Negara BUMN Sugiharto.
Dalam percakapan singkat itu Sugiharto menjelaskan, hak pensiun yang menjadi tuntutan mantan karyawan di-bahas di sidang kabinet sehari sebelum-nya. Jadi, ”Tolong kamu cari waktu agar bisa berdialog dengan teman-teman mantan karyawan hari ini.”
Siang itu juga Nuril turun dari Ban-dung- ke Jakarta. Tiba di Kemente-ri-an BUMN selepas magrib, ia langsung menuju ruang rapat di lantai dua. Di sana sudah menunggu Arif Minardi, Ketua Umum Serikat Pekerja Forum Komunikasi Karyawan PT Dirgantara Indonesia, bersama tiga rekannya.
Dibuka oleh Tommy Soetomo, staf khusus Menteri BUMN, kedua pihak memulai perundingan. Mulanya, Arif Minardi meminta direksi membayar tunai hak pensiun sebesar Rp 60 miliar. Duit itu diusulkan diambil dari dana talangan yang tersisa di rekening bersama PT Dirgantara dan PT Perusahaan Pe-ngelola Aset (PPA).
Namun Nuril menjelaskan, dana sudah- terkikis Rp 20 miliar untuk memba-yar utang PT Dirgantara ke PT Perusahaan Pengelola Aset. Tiga setengah jam berunding, kedua pihak akhirnya menandatangani kesepakatan. Tommy, yang menjadi saksi perundingan, turut membubuhkan tanda tangan.
Dalam kesepakatan disebutkan, direksi PT Dirgantara setuju membuka dialog untuk membayar hak pensiun yang menjadi tuntutan sekitar 3.500 mantan karyawan. Tapi, menurut Tommy, persoalan yang sudah membelit selama tiga tahun itu akan diselesaikan sesuai de-ngan kebijakan perusahaan.
Itu sebabnya pembayaran uang pen-siun- Rp 200 miliar, yang dikuasakan kepada Serikat Pekerja, tidak boleh membebani keuangan negara. ”Juga tidak boleh menimbulkan masalah internal di PT Dirgantara maupun BUMN lain,” kata Tommy.
Kedua pihak juga setuju membayar hak pensiun dengan berbagai opsi. Skema pembayaran yang paling memungkinkan, antara lain, membayar tunai hak pensiun Rp 40 miliar. Duitnya akan diambil dari dana talangan yang tersisa. ”Jadi, tidak akan memberatkan PT Dirgantara dan pemerintah,” kata Arif Minardi.
Sisanya dibayar melalui berbagai skema. Pilihannya, menggunakan aset PT Dirgantara yang tak terpakai, menyisih-kan laba perusahaan atau anak perusahaan, pemberian pekerjaan subkontrak, serta mendirikan unit bisnis yang khusus dibentuk untuk kepentingan Serikat Pekerja.
Kesepakatan ini hanya berselang dua hari setelah ribuan mantan karyawan PT Dirgantara mengepung Kementerian BUMN. Mereka mempertanyakan kembali janji Kementerian BUMN dalam menyelesaikan uang pensiun. Konvoi ini merupakan yang ke-18 kali sejak me-reka dirumahkan oleh manajemen pada 11 Juli 2003.
Itu sebabnya Menteri Sugiharto meminta waktu untuk membicarakan hal itu pada sidang kabinet. Di depan Presi-den Susilo Bambang Yudhoyono dan 24 menteri lainnya, Sugiharto memaparkan beberapa usul yang diajukan Kementerian BUMN.
Usul itu, antara lain, reformasi direksi di tubuh PT Dirgantara. Dua usul lainnya, yakni pembayaran tunai hak pensiun sebesar Rp 40 miliar dari dana talangan dan pemakaian aset yang tak terpakai, akhirnya masuk ke kesepakat-an yang ditandatangani.
Penyelesaian kasus ketenagakerjaan di pabrik pesawat terbang pelat merah itu memang berliku (lihat Tiga Tahun Tarik-Ulur). Satu sumber Tempo menuturkan, berbagai skema pembayaran yang diteken dua pekan lalu itu sebenar-nya mirip dengan skema yang dikemas pada Maret 2005. Saat itu, persoalan ditangani Lendo Novo—kini staf khusus Menteri BUMN bidang informasi dan pengolahan data.
Skema pembayaran itu dibawa ke pertemuan pada 9 Maret 2005. Di situ dicapai kesepakatan lisan antara serikat pekerja dan direksi PT Dirgantara. Pihak direksi diwakili Nuril Fuad, yang masih menjadi direktur umum.
Direksi setuju membayar tunai Rp 35 miliar hak pensiun. Sisanya dibayarkan dengan hak pengelolaan aset yang tak terpakai, berupa tanah dan bangunan, selama 20 tahun, serta satu helikopter jenis BO-105 selama 10 tahun. Kedua pihak juga sepakat melanjutkan penandatanganan.
Namun, pada 8 April 2005, Direksi PT Dirgantara membatalkan kesepakatan. Alasannya? ”Suara Nuril ditentang oleh komisaris dan direksi lainnya di rapat umum pemegang saham,” ujar sumber Tempo. Direksi PT Dirgantara, kata sumber itu, masih yakin bisa menang di meja pengadilan.
Kenyataan berbicara lain. Pada Juni 2005, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menetapkan pengabulan eksekusi putusan Panitia Penyelesaian Perselisih-an Perburuhan Pusat (P4P). Eksekusi penetapan dilimpahkan ke Pengadilan Ne-geri Bandung.
Mengenai kejadian tahun lalu, ”Secara pribadi, itulah pilihan yang paling memungkinkan,” kata Nuril. Sedangkan kesepakatan dibatalkan karena ia dianggap belum mendapat arahan dari pemegang saham. Sejak itu perunding-an maju-mundur.
Harapan kembali menyembul setelah penandatanganan kesepakatan. Pada Kamis pekan lalu, direksi melanjutkan pembicaraan dengan serikat pekerja di Kementerian BUMN. Mereka sepakat membentuk satu kelompok kerja, yang bertugas mencatat dan menyelesaikan kendala yang mungkin muncul saat kesepakatan dilaksanakan. Meski sadar bahwa kesepakatan belum tentu memuaskan semua rekannya, Arif menilai hasil ini sebuah langkah maju.
Yandhrie Arvian
Tiga Tahun Tarik-Ulur
Kesepakatan yang ditandatangani dua pekan lalu menandai babak baru perjuangan 3.500 mantan kar-yawan PT Dirgantara. Inilah tarik-ulur itu:
2003
11 Juli Manajemen mengeluarkan surat keputusan merumahkan semua karyawan perusahaan yang berjumlah 9.670 orang selama enam bulan.
21 Juli Serikat Pekerja menggugat surat keputusan merumahkan semua karyawan ke pengadilan.
19 Agustus Rapat umum pemegang saham luar biasa merasionalisasi 6.591 karyawan serta memerintahkan pelaksanaan seleksi ulang karyawan.
7 Oktober Pengadilan tata usaha negara memenangkan gugatan Serikat Pekerja dan meminta pencabutan keputusan merumahkan karyawan
23 Desember PT Dirgantara tidak mampu membayar gaji. Karyawan memblokir perusahaan.
2004
29 Januari P4P meluluskan rencana PHK terhadap 6.591 karyawan. Gaji bekas karyawan diputus pembayarannya. Salah satu putusannya di amar ketiga: manajemen membayar kompensasi pensiun bagi karyawan.
12 Februari Serikat Pekerja mengajukan banding atas putusan P4P.
18 Februari PTUN Jakarta Pusat mengabulkan gugatan banding Serikat Pekerja.
2005
14 Januari Direktur Utama PT Dirgantara, Edwin Sudarmo, divonis Pengadilan Negeri Bandung dua bulan kurungan.
27 Januari Permohonan kasasi PT Dirgantara terhadap keputusan P4P ditolak Mahkamah Agung.
13 Juni Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menetapkan pengabulan eksekusi putusan P4P, serta melimpahkan eksekusinya ke Pengadilan Negeri Bandung.
10 Agustus Pengadilan Negeri Bandung mengajukan permohonan sita eksekusi aset PT Dirgantara kepada Kantor Pertanahan Kota Bandung.
18 Agustus Pengadilan Negeri Bandung menerbitkan berita acara sita eksekusi terhadap aset PT Dirgantara.
2006
29 Maret Direksi dan mantan karyawan menandatangani kesepakatan skema pembayaran uang pensiun.
6 April Direksi dan mantan karyawan membentuk kelompok kerja gabungan untuk menyelesaikan kendala yang mungkin muncul saat kesepakatan dilaksanakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo