Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kembali Ke Titik Nol

Aksi penolakan buruh atas revisi UU Ketenagakerjaan kian meluas. Pemerintah akhirnya mundur selangkah.

10 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
head0907.jpg

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAUTAN manusia itu menuju satu titik: Istana Merdeka, Rabu pekan lalu. Seperti sudah direncanakan, hari itu puluhan ribu buruh dari berbagai penjuru ”menyer-bu” Ibu Kota.

Dengan menumpang bus, truk, hingga sepeda motor, me-reka berdatangan dari sekitar Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, hingga Jawa Timur. Tuntutannya cuma satu: batalkan rencana revisi Undang-Undang Ketenagaker-jaan.

Demonstrasi ini merupakan pu-ncak gelombang aksi buruh sebelumnya yang merebak di berbagai daerah. Tak pe-lak, sejumlah jalan protokol di Jakarta m-acet dan lumpuh total. Puluhan pot dan rambu lalu-lintas di Jalan M.H. Thamrin pun turut jadi korban, hancur beran-ta-kan—sesuatu yang patut disesalkan.

Yanuar Rizky, Sekretaris Jenderal A-so-siasi Serikat Pekerja Indonesia, tak bisa menyalahkan sepenuhnya aksi be-ringas sebagian peserta demonstrasi itu. Me-nurut mantan karyawan Bursa Efek Jakarta ini, para buruh sebetulnya se-lama ini sudah cukup bersabar.

Mereka berusaha bertahan di tengah impitan biaya hidup yang kian melangit setelah harga bahan bakar minyak naik tajam pada 1 Oktober tahun lalu. ”Tapi, pemerintah memancing amarah buruh dengan rencana meniadakan pesangon,” katanya. ”Padahal, pemutusan hubung-an kerja ada di depan mata.”

Untuk meredakan letupan kejengkel-an itulah, Wakil Presiden M. Jusuf Kalla langsung menemui para buruh di kantor-nya di Jalan Merdeka Selatan. Mereka datang ke kantor Wakil Presiden setelah gagal menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka.

Kepada para buruh, Kalla menjanji-kan pemerintah akan mengkaji penolak-an bu-ruh atas rencana revisi U-ndang-Undang Ketenagakerjaan itu. Pemerintah pun sudah merancang pertemuan tripartit dengan wakil buruh dan peng-usaha pada 12 April.

Janji Kalla agaknya lekas diwujudkan. Dalam pertemuan di Wisma Negara, Jakarta, Jumat pekan lalu, pemerintah akhirnya memutuskan menarik draf revisi UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Keputusan itu merupakan hasil per-te-muan pemerintah dengan 11 peng-usa-ha dan 30 wakil serikat buruh. Rapat dipimpin langsung oleh Presiden Yudhoyono. Hadir pula Wakil Presiden J-u-suf Kalla beserta 12 menteri. ”Draf itu ha-nya akan dijadikan referensi,” kata Abu-rizal Bakrie, Menteri Koordi-nator Ke-sejahteraan Rakyat, seusai pertemu-an.

Lantas, soal perlu-tidaknya undang-undang itu direvisi baru akan ditentukan oleh forum tripartit pemerintah, pengusaha, dan buruh. ”Pembahasan tripartit dimulai dari nol,” kata Abdul Azis, Ketua Serikat Pekerja BUMN, menimpali.

Menurut informasi yang diterima Tempo, sebelum keputusan diambil, pe-merintah sesungguhnya sudah siap mundur selangkah. Sebagian tuntu-tan para buruh bakal dipenuhi. ”Salah satu-nya, mengembalikan ketentuan soal upah minimum ke aturan lama,” ujar sumber itu.

Presiden meminta penyelesaian soal perburuhan tetap mengacu pada tiga pilar: proteksi terhadap kesejahteraan dan hak-hak buruh, tumbuhnya dunia usaha, serta tumbuhnya ekonomi nasio-nal. Menurut Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri, M.S. Hidayat, peng-usaha pun menginginkan revisi tanpa mengabaikan kesejahteraan buruh.

Menanggapi perkembangan ter-baru ini, Ketua Konfederasi Serikat Buruh Se-luruh Indonesia, Rekson Silaban, tak menampik ajakan pemerintah untuk duduk bersama merumuskan Undang-Undang Ketenagakerjaan. ”Yang pen-ting, pemerintah jujur dan adil,” ujar-nya

l l l

Gelombang aksi unjuk rasa buruh di-picu oleh rencana pemerintah mendongkrak iklim investasi, yang hingga kini terus loyo. Rencana ini tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi, yang ditandatangani akhir Februari lalu.

Paket itu berisi lima kebijakan menyangkut reformasi birokr-asi, menghilangkan pungutan tak perlu, perce-patan perizinan, perbaikan perpajakan dan bea-cukai, serta soal perburuhan. Nah, dalam soal perburuh-an inilah pe-merintah kemudian menyiap-kan draf revisi UU Nomor 13/2003, yang selama ini dianggap menghambat inves-tasi a-sing.

Sejumlah pasal yang diubah dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan itu menyangkut ketentuan soal pesangon, upah minimum, tenaga kerja kontrak, cuti besar, dan tenaga kerja asing. Berbagai revisi itu dianggap cenderung me-rugikan pekerja dan pro-pengusaha, sehingga menyulut demonstrasi buruh di banyak wilayah di Indonesia (baca Tempo, 3 April 2006).

Menurut sumber Tempo di kabinet, pe-merintah merasa perlu merombak be-leid itu karena setiap kali presiden dan wakil presiden melakukan kunjungan ke luar negeri, pertanyaan yang selalu disorongkan investor adalah sep-utar U-ndang-Undang Ketenagakerjaan. Begitu pula setiap kali ada kunjungan de-legasi asing ke Indonesia. ”Undang-un-dang ini dinilai tidak ramah dan me-nakut-kan,” ujarnya.

Langkah itu pun dipandang perlu dengan alasan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi, mengatasi pengang-guran, serta mengurangi angka kemis-kin-an. Apalagi, janji-janji ini sudah di-tebar pasangan SBY-JK selama kampanye pemilihan umum pada 2004.

Menilik kenyataan sekarang ini, a-ngan-angan itu memang masih jauh dari kenyataan. Angka pengangguran, misalnya, dari tahun ke tahun malah terus membubung. Menurut data Badan Pusat Statistik, sementara pada 2001 jumlah penganggur masih 8 juta orang, tahun lalu sudah melonjak menjadi 10,8 juta.

Menteri Tenaga Kerja Erman Suparno yakin, jika iklim investasi bisa diperbaiki, angka pengangguran akan terpangkas. Tapi mewujudkan impian itu bukan perkara enteng. Bahkan, kata ekonom Universitas Indonesia, M. Chatib Ba-s-ri, pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dalam beberapa tahun ter-akhir tak dengan serta-merta mengurangi jum-lah penganggur.

Lihat saja pengalaman dua tahun belakangan ini. Pertumbuhan ekonomi tahun lalu, yang mencapai 5,6 persen, dan 5,1 persen pada 2004, tak mampu menyerap tenaga kerja sesuai dengan yang diharapkan.

Asumsi semula, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi akan menyerap angkatan kerja baru 400–500 ribu orang. Kenyataannya, yang diserap lebih rendah, hanya 200–300 ribu angkatan kerja. ”Jadi, untuk menyerap seluruh angkat-an kerja baru, perlu pertumbuhan ekonomi 7 persen per tahun,” kata Chatib.

Adapun salah satu penyebabnya, kata Chatib, adalah peraturan tenaga kerja yang kaku dan kurang menguntungkan. Ia mencontohkan, pesangon di Indonesia termasuk salah satu yang tertin-ggi di dunia. Sudarno Sumarto, peneliti SMERU, punya data pembanding tentang soal ini.

Ia memberi contoh, untuk buruh yang sudah bekerja 4 tahun, di Indonesia pesangon yang diberikan sebesar 12 bulan gaji. Sedangkan di Thailand 6 bulan gaji, di Cina 3 bulan gaji, di Malaysia 2,4 bulan gaji, dan di India 2 bulan gaji.

Padahal, kata Sudarno, jika jumlah pesangon bisa ditekan, perusahaan bisa lebih banyak menyerap tenaga kerja, termasuk para pekerja di sektor informal yang jumlahnya mencapai 66,5 juta atau 70 persen dari total angkatan kerja. Meski begitu, keduanya menyatakan tidak berarti pesangon harus dihapuskan. Besarannya saja yang perlu dikurangi.

Mereka yang berhak mendapat pesa-ngon pun jangan dibatasi hanya pekerja yang bergaji Rp 1,1 juta seperti dalam usulan revisi Undang-Undang Ketenaga-kerjaan yang baru. Tetapi, dinaikkan nilai-nya menjadi tiga atau empat kali-nya. ”Jadi, yang bergaji Rp 4 juta tetap dapat pesangon,” kata Chatib.

Kalangan pengusaha tentu sepakat de-ngan suara ini. Menurut Sekretaris Jen-deral Asosiasi Pengusaha Indonesia, Djimanto, ketentuan besaran pesangon yang tinggi amat membebani perusaha-an. Sebab, kebutuhan dana itu harus di-cadangkan di neraca keuangan perusahaan sebagai utang. ”Kami juga akan pin-dah ke luar negeri kalau pesangon tetap tinggi,” ujarnya.

Yanuar tak sepakat jika soal pesa-ngon dijadikan alasan pengusaha enggan berinvestasi ke Indonesia. Menurut dia, usul-an memangkas pesangon justru ibarat mengisap hak pekerja, yang selama ini sudah bertahan hidup dengan melakukan berbagai pengiritan. Itu sebabnya, pemerintah jangan mengutak-atik dulu soal pesangon. Lebih baik pemerintah menyusun rencana kerja untuk mendorong pertumbuhan industri strategis yang berdaya saing tinggi dan menye-rap banyak tenaga kerja.

Soal nilai pesangon di Indonesia yang lebih tinggi ketimbang di negara-negara lain, menurut Yanuar, itu mungkin-mungkin saja. Sebab, di negara-negara lain, pekerja dilindungi dengan asu-ran-si jaminan sosial yang memadai. ”Di Swe-dia malah tak ada pesangon, tetapi pemerintahnya mencarikan pekerjaan baru,” katanya.

Beda halnya dengan kondisi di Indonesia. Jaminan hari tua dari PT Jamsostek sangat jauh dari mencukupi. Apa-lagi, kata Yanuar, pada masa lalu dana Jamsostek banyak diselewengkan. Terlebih lagi, dana Jamsostek cenderung di-tanamkan di investasi jangka pendek, bukan di sektor produktif yang bisa menyerap tenaga kerja. Karena itu, ia pun menilai, ”Institusi Jamsostek harus dirombak.”

Terkait dengan itu, Sudarno meng-usul-kan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional segera diimplementasi-kan. Untuk itu, setoran dana pensiun dari pekerja dan pengusaha ke Jamsostek perlu dinaikkan. Pemerintah pun perlu ikut urunan.

Djimanto tak keberatan dengan usul ini. Menurut dia, asosiasi yang mewadahi 203 pengusaha itu akan bersedia menambah setoran dana pensiun buruh ke Jamsostek. ”Asalkan beban pesangon dialihkan ke Jamsostek,” ujarnya.

Heri Susanto, Yura Syahrul, Bagja Hidayat, Sunariyah


Menanggung Sarat Beban

MENURUT perkiraan Badan Pusat Statistik, jumlah angkatan kerja Indonesia pada Februari tahun lalu mencapai 105,8 juta atau hampir setengah dari total penduduk. Namun, dari jumlah itu, sekitar 10,8 juta belum mendapat pekerjaan alias menganggur. Mere-ka yang sudah bekerja pun, sekitar 70 persen ber-ada di sektor informal.

Untuk menyelesaikan persoalan itulah, pemerin-tah berniat merevisi UU Ketenaga-kerjaan dengan harap-an bisa menarik investasi asing- demi ketersediaan lapangan kerja baru. Namun, niat itu langsung me-nuai protes buruh. Jumlah buruh pun tak kecil. Mencapai 25,7 juta orang, dari sekitar 28 juta pekerja di sektor formal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus